Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Rabu, 17 September 2014

Marginalia atas: 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur

Catatan Pengantar:
Atas permintaan pembaca, berikut ini saya muat di blog saya lima artikel yang terdapat di lampiran buku SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWARDALAM KONTEMPLASI (B You Publishing Surabaya 2011 halaman 179-243) masing-masing berjudul: 1. IMAJINASI DAN FANTASI MENURUT KONSEP PSIKOLOGI 2. Marginalia atas: 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur; 3. Sungguh Trenyuh (Catatan untuk Silvester Ule seputar “Perlukah ‘trenyuh’ itu?”); 4. Seputar Jurnalisme Sastrawi (Catatan untuk Isidorus Lilijawa); 5. Beberapa catatan atas opini Marsel Robot Tentang Fantasi: Sebuah pertengkaran yang menyembuhkan. Mudah-mudahan uraian dalam kelima artikel ini dapat dibaca oleh para pihak yang tidak memiliki buku saya sebagaimana judulnya telah disebutkan di atas. SELAMAT MEMBACA!
Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

Catatan pengantar

Pada mulanya saya bermaksud memperluas  marginalia (catatan pinggir) ini menjadi sebuah artikel untuk dimuat di media cetak (koran). Namun, setelah mempertimbangkan alinea terakhir Dari Editor yang menyatakan, “Akhirnya, kepada pembaca kami mempersembahkan buku ini. Segala kritik, koreksi dan saran akan diterima dengan tangan terbuka...”  (15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur. Kupang: PT Timor Media Grafika 2007 hlm.vi), maka langkah pertama saya memutuskan untuk menyederhanakan  marginalia ini untuk menyerahkannya secara langsung kepada Tim Editor buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur. Langkah berikutnya, bila ada perkembangan baru, saya akan memuat tulisan ini di media cetak (koran), mengingat buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur telah beredar luas di masyarakat (golongan menengah ke atas) di Nusa Tenggara Timur, bahkan (tentu saja)  di Jakarta dan kota-kota di luar daerah Nusa Tenggara Timur.
Setelah memperhatikan desaian & sampul serta membaca  buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur (1 + 354 halaman), maka saya terdorong untuk  mengemukakan beberapa marginalia (catatan pinggir) yang dapat dipandang sebagai kritik, koreksi, atau tanggapan sebagai berikut:

Marginalia pertama

Gambar sampul: tiga orang anak kecil (seorang anak yang mengacungkan jari telunjuknya ke atas [berusia kira-kira 4 atau 5 tahun] serta seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki [berusia kira-kira 8 dan 7 tahun] yang memegang, mengamati serta membaca koran Pos Kupang), pada hakikatnya tidak mencerminkan “core” (=inti) dan/atau isi buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur mulai dari halaman 1 sampai halaman 333, maupun pemikiran yang dituangkan oleh editor pada halaman v-vi, dan pandangan pengantar yang dituangkan pada halaman vii-ix. Gambar sampul itu pun tidak mencerminkan apa yang disajikan dalam halaman 337-354, kecuali sebagai ilustrasi yang terkait erat dengan ilustrasi halaman dalam, yakni halaman 133, namun berdasarkan riset yang disajikan oleh Prof. Dr. Alo Liliweri, M.S., (baca halaman 45-46), tidak ditunjukkan adanya kelompok pembaca Pos Kupang yang berasal dari kalangan anak-anak berusia antara 6 sampai 10 tahun.

Menurut pertimbangan saya, sangat serasi, apabila gambar sampul buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur dibuat seperti  desain sampul buku Indonesia Abad XXI Di Tengah Kepungan Perubahan Global  (PT Kompas Media Nusantara), Jakarta 2000, yang diterbitkan dalam rangka memperingati hari jadi ke-35 Harian KOMPAS 28 Juni 2000. Sudah tentu desain sampul buku Indonesia Abad XXI  tidak boleh dijiplak, tetapi dapat dijadikan perbandingan di dalam merancang desain sampul buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, mengingat Pos Kupang merupakan bagian dari Kelompok KOMPAS Gramedia (KKG).

Desain sampul buku Indonesia Abad XXI Di Tengah Kepungan Perubahan Global sangat serasi dan sangat jitu mencerminkan “core” (= inti) 77 opini yang dihimpun di dalam buku tersebut. Sedangkan gambar sampul buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur sama sekali tidak mencerminkan  “core” opini-opini yang terhimpun dalam buku 15 Tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, kecuali sebagai ilustrasi yang tidak realistik. Memang, dalam opini John Dami Mukese, “Mendongkrak Budaya Membaca di NTT” (hlm. 249-265, khususnya halaman 260-264), ada dijelaskan tentang pengembangan budaya membaca. Namun apabila sebagian kecil dari opini John Dami Mukese itu yang hendak ditonjolkan sebagai “core” yang diilustrasikan pada sampul buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, maka gambar sampul buku itu pun belum dan/atau tidak representatif, apalagi Harian Umum Pos Kupang bukan koran yang dikhususkan menjadi koran bacaan anak-anak.

Marginalia kedua

Mengenai “Perjalanan Pers di NTT” (hlm.1-11) yang ditulis oleh Agus Sape, terdapat satu bagian kalimat yang perlu saya koreksi, yaitu bagian kalimat yang berbunyi, “... Kupang Post berhenti terbit sekitar tahun 1983/1984” (hlm.6, alinea kedua di bawah sub judul Mingguan Kupang Post).  Keterangan/pernyataan ini tidak benar.

Mingguan Kupang Pos  berhenti terbit pada pertengahan tahun 1988. Alasan yang dapat saya ajukan yakni,  pada tahun 1988 tulisan-tulisan saya masih dimuat di Mingguan Kupang Pos, antara lain: (1) Mingguan Kupang Pos edisi tanggal 11-17 Januari 1988 memuat opini saya berjudul, “Beberapa Catatan Sekitar Puisi Lugu”; (2) Mingguan Kupang Pos edisi tanggal 11-17 Februari 1988 memuat puisi-puisi saya secara eksklusif tentang kota Kupang sebanyak 7 buah di bawah judul kolektif, “Parade Puisi-Puisi Prismatis Kota Kupang”; (3) Mingguan Kupang Pos edisi 1-10 Maret 1988 memuat opini saya berjudul, “Sekitar: Asosiasi, Interpretasi dan Sajak”. Kliping Mingguan Kupang Pos ada pada saya sebagai bukti. Pada waktu itu saya bekerja sebagai guru di pulau Rote, Kecamatan Rote Timur. Dan opini saya secara tetap saya salurkan melalui Mingguan Kupang Pos dan Majalah BUSOS Surabaya. Ketika menjelang akhir tahun 1988 saya datang ke Kupang, Mingguan Kupang Pos telah berhenti terbit.

Marginalia ketiga

Berkenaan dengan “Pos Kupang-ku, Suara Nusa Tenggara Timur” yang ditulis oleh Damyan Godho (hlm.13-23), ada “proverbs” yang disebutkan pada halaman 23 yang  salah diucapkan dan/atau salah dituliskan . “Proverbs” yang dimaksudkan ialah: “He who knows of he knows not, he is wise!” dan “He who knows not of he knows not, (because) he is fool!”  Dari sumber manakah “proverbs” ini dikutip? Jikalau ada orang yang mengatakan “proverbs” ini benar, buktikan kepada saya sumber aslinya. Bunyi “proverbs” yang sebenarnya ialah: “He that knows, and knows that he knows, is wise. Follow him.!” Dan “He that knows not, and knows not that he knows not, is stupid. Shun him.”  “Proverbs” ini terdapat dalam buku berjudul Salt Cellars. A Collection Of Proverbs, together with Homely Notes Thereon, halaman 93, yang disusun oleh Charles H. Spurgeon,  dicetak/diterbitkan oleh Moody Press – Chicago pada tahun 1947. Dengan demikian, “proverbs” yang tertulis dalam buku 15 tahun Pos Kupang …, halaman 23 itu, merupakan “salah kaprah”. Dua “proverbs” lainnya yang merupakan suatu kesatuan dengan dua “proverbs” yang telah saya kutip di atas, yaitu: “He that knows not, and knows that he knows not, is good. Teach him.” Dan “He that knows, and knows not that he knows, is asleep. Arouse him.”

Dalam buku berjudul, Kata-Kata Mutiara yang disusun oleh Kartono, S.H., dan diterbitkan oleh Pradnja Paramita, Jakarta, tahun 1971, halaman 64, keempat  “proverbs”  yang saya kutip dari buku Salt Cellars itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan urut-urutan aslinya dalam buku Salt Cellars, sebagai berikut: (1) “He that knows not, and knows not that he knows not, is stupid. Shun him” , diterjemahkan: “Orang yang tidak tahu, dan tidak tahu, bahwa ia tidak tahu: ia adalah orang tolol – jauhilah dia”;  (2) “He that knows not, and knows that he knows not, is good. Teach him.” , diterjemahkan: “Orang yang tidak tahu, dan tahu, bahwa dia tidak tahu: ia adalah orang yang bersahaja – ajarilah dia”; (3) “He that knows, and knows not  that he knows, is asleep. Arouse him.” , diterjemahkan: “Orang yang tahu, dan tidak tahu, bahwa dia tahu: orang itu tidur – bangunkan dia”; dan (4) “He that knows, and knows that he knows, is wise. Follow him”, diterjemahkan: “Orang yang tahu, dan tahu, bahwa dia tahu: orang itu adalah bijaksana – tirulah dia”.

“Proverbs” yang dikutip dari buku Salt Cellars yang disusun oleh Charles H. Spurgeon di atas ini, ada yang menyangkanya sebagai ‘filsafat tahu-tidak tahu’. Sangkaan ini pun merupakan salah kaprah. Pada tahun 2005 yang lalu, seorang penulis bernama Esra Alfred Soru pernah memuat sebuah tulisannya berjudul, “Jujur Pada Kebenaran” di Harian Pagi Timor Express edisi Sabtu, 29 Oktober 2005. Ia mengutip keempat “proverbs” tersebut di atas dalam versi bahasa Indonesia, namun juga salah kaprah, dan ia menyebutnya “filsafat tahu-tidak tahu”. Pada waktu itu saya tanyakan kepadanya, “Esra, coba tunjukkan kepada saya buku ‘filsafat tahu-tidak tahu’ itu dan siapa nama filsuf yang mengarang buku ‘filsafat tahu-tidak tahu’ tersebut?” Ia tersipu-sipu, ketika saya tunjukkan kepadanya buku Salt Cellars karya Charles H. Spurgeon dan buku Kata-Kata Mutiara susunan Kartono, S.H., yang berisi keempat “proverbs” tersebut di atas.

Marginalia keempat

Dalam tulisan berjudul, “Mendongkrak Budaya Membaca di NTT” (hlm.249-265) yang ditulis oleh John Dami Mukese, terdapat satu kesalahan kecil, namun patut mendapatkan perhatian, berkenaan dengan pengutipan data tahun kehadiran sekolah pertama berbahasa Melayu di pulau Rote. Pada halaman 250, tertulis: “…kehadiran sekolah pertama berbahasa Melayu di Pulau Rote pada tahun 1775, atau 170 tahun sebelum Indonesia merdeka.” Berdasarkan catatan kaki, John Dami Mukese mengutip data ini dari sumber: Bangun, Rikhard. 2006. JJ Fox dan Pendidikan di NTT, KOMPAS Online, Edisi Selasa, 04 Juli 2006. Website: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/04/Sosok/2778351.htm Tanggal download: 14 Juli 2007.

Ketika saya membaca kutipan di atas ini, saya berpikir bahwa angka tahun 1775 itu merupakan suatu kesalahan ketik dari angka tahun yang sebenarnya yakni 1735. Tetapi ketika saya memperhatikan frasa penjelasan yang berbunyi, “atau 170 tahun sebelum Indonesia merdeka”, maka saya berkesimpulan bahwa angka tahun 1775 itu bukan merupakan suatu kesalahan ketik, karena memang angka tahun 1945 dikurangi dengan angka tahun 1775, hasilnya adalah 170. Dengan demikian, rupanya sumber rujukan yang dipergunakan oleh John Dami Mukese sebagaimana dikutip di atas ini, sekali pun dari sumber yang sebenarnya tidak dapat dianggap remeh  lantaran memiliki kredibilitas yang tinggi,  terbukti tidak dapat dipercaya juga. Dan ini sebagai bukti yang memberi peringatan kepada kita, bahwa data yang tersaji di internet tidak selamanya 100% benar, dan karena itu tidak boleh dipercayai begitu saja, tetapi harus dibandingkan dengan data pustaka.

Data yang benar, yang tertulis dalam buku James J. Fox, ialah: Sekolah Kristen pertama didirikan di Rote pada tahun 1735 (James J. Fox. Harvest Of The Palm – Ecological Change in Eastern Indonesia. Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts and London, England 1977:106; banding pula dengan: james j. fox. bahasa, sastra dan sejarah – kumpulan karangan mengenai masyarakat pulau roti. Penerbit Djambatan, Jakarta 1986:10). Dan setahun kemudian, yakni pada tahun 1736, Rote telah memiliki 12 sekolah dalam 12 nusak  yang ada di pulau Rote pada waktu itu (James J. Fox. Bahasa, sastra dan sejarah…, Ibid. hlm.10). Tetapi apabila sumber rujukan yang dipakai oleh John Dami Mukese itu pun tidak salah mengutip data dari buku James J. Fox yang berjudul lain dari kedua buku sumber yang saya sebutkan di atas ini, maka kenyataan ini memberi petunjuk bagi kita bahwa data/informasi yang disajikan oleh peneliti/penulis ahli dari luar negeri pun tidak boleh dipercayai begitu saja.

Marginalia kelima

Dalam tulisan Deno Kamilus berjudul, “Pers, Jembatan Pemerintah dan Rakyat” (hlm.267-272), terdapat kesalahan kecil pada halaman 272 dalam kalimat yang berbunyi: “Oleh karena itu, bagi pers, kebebasan harus menjadi titik tolak (terminus ad quo) dan sekaligus, menjadi titik tuju (terminus ad quem).”  Kesalahan terdapat pada penulisan kata Latin, terminus ad quo. Yang benar ialah  terminus a quo. Mengenai penulisan kata Latin, terminus a quo dan terminus ad quem, baca kamus The Lexicon Webster Dictionary Vol. Two., 1978 Printed by The English-Language Institute of America, Inc. halaman 1014; Chambers Twentieth Century Dictionary. W & R Chambers Ltd. London 1972  hlm.1392; dan Roget’s Pocket Thesaurus. New York 1946 hlm.455.

Marginalia keenam

Yang membuat saya trenyuh, ialah ketika saya membaca tulisan Maria Matildis Banda (selanjutnya dalam tulisan ini akan saya sapa, Maria MB) yang diberi judul, “Imajinasi dan Hasrat Seorang Jurnalis” (Catatan tentang Jurnalisme Sastra) (hlm.167-181), khususnya paparan di bawah sub judul “Aspek Imajinasi dalam Jurnalisme Sastra” (hlm.174-177). Tulisan Maria MB ini benar-benar membuat saya trenyuh, karena Maria MB tidak memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang “imajinasi” , “khayalan”, dan “fantasi”, sehingga untuk beberapa saat lamanya saya tepekur seraya bergumam, “koq, bisa begitu…, ya…?!”

Maria MB katakan: “Imajinasi bukan khayalan. Imajinasi berbeda dari fantasi. Fantasi sama dengan khayalan yang tidak nyata, tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan. Fantasi adalah gambaran semu tentang sesuatu yang tidak bisa diubah menjadi kenyataan. Berfantasi sama dengan mengandai-andai yang hanya menimbulkan rasa lelah atau membawa si pengandai tenggelam dalam khayalan-khayalan hampa yang indah berbunga-bunga...; Fantasi adalah daya yang menghasilkan khayalan, berkaitan dengan gambaran objek yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan...”  (hlm.174, 175, 176)..

Untuk menjelaskan secara singkat mengenai apa itu imajinasi, fantasi, khayal, saya ingin mengutip hasil penelitian dua orang sarjana Prancis, Roger Fretigny dan Andre Viler yang mengatakan begini: “Ada empat macam kesadaran manusia yaitu kesadaran imajinatif, kesadaran refleksif, kesadaran aktif, dan kesadaran kontemplatif. Fantasi memainkan peranan sentral dan menentukan dalam perkembangan psikis manusia. Dan fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif. TANPA FANTASI, MAKA DAYA PEMIKIRAN KITA YANG KERJA SECARA DISKURSIF AKAN MENJADI PINCANG DAN TERKURUNG DALAM SEBUAH SISTEM YANG TERTUTUP DAN BEKU. Tetapi dengan fantasi, hidup manusia seutuhnya akan bergerak menurut suatu ritme tertentu antara kenyataan dan harapan” (L’imagerie Mentale, 1968:21).

Berpegang pada hasil penelitian kedua sarjana Prancis sebagaimana dikutip di atas inilah, maka saya sangat terperanjat (!) ketika membaca pandangan Maria MB yang mengatakan bahwa “Fantasi sama dengan khayalan yang tidak nyata, tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan. Fantasi adalah gambaran semu tentang sesuatu yang tidak bisa diubah menjadi kenyataan. Berfantasi sama dengan mengandai-andai yang hanya menimbulkan rasa lelah atau membawa si pengandai tenggelam dalam khayalan-khayalan hampa yang indah berbunga-bunga.”  Maaf, kalau saya berkata, “Rupanya Maria MB belum tahu banyak, atau sama sekali tidak tahu,  bahwa  fantasi (sebutan lain, khayal), adalah “kegiatan daya roh” yang terhisab kepada “kesadaran imajinatif”.

Mary Harrington yang mengutip hasil penelitian Bradbury mengatakan bahwa, “Bakat berfantasi merupakan bakat untuk hidup. Penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena fantasi, insprirasi, atau ilham” (Psychology today. Vol.I. No.1, 1968:28,37). Catatan tambahan: “inspirasi, ilham, angan-angan, impian”  juga terhisab kepada “kegiatan daya roh seperti fantasi” yang tak terpisahkan dari “kesadaran imajinatif”. J.R.R. Tolkien dalam Tree and Leaf 1964 mengatakan, “Fantasi tidak merusak akal budi dan tidak mengeruhkan ketajaman pengamatan ilmiah. Makin baik fantasi seseorang, makin terang dan hidup kegiatan inteleknya. Dan semakin terang dan hidup kegiatan intelek seseorang, semakin baik pula fantasinya.”

Harvey Cox dalam bukunya Feast of Fools (judul lengkap: The Feast of Fools, A Theological Essay on Festivity and Fantasy. Cambridge: Harverd 1969), sebagaimana dikutip dan dijelaskan pula oleh Dick Hartoko dalam tulisan berjudul “Kesenian Dalam Hubungannya Dengan Peranan Kaum Muda” antara lain mengatakan: “Oleh fantasi dibuka pandangan-pandangan baru yang tertutup bagi pengalaman empiris belaka, ia dibebaskan dari gaya hidup yang ‘borjuis, established, arrive’. Fantasi membuka kemungkinan untuk mengadakan pembaruan. Dengan fantasi, manusia mampu menyadari masa kini dengan lebih kaya,  intensif, dan kreatif. Penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena fantasi, karena inspirasi dan ilham. Direksi-direksi perusahaan sering mengadakan rapat-rapat ‘brainstorming’ yang merangsang daya fantasi.... Masyarakat membutuhkan pembaruan, dan pembaruan dapat dirintis oleh pemimpi (bukan pemimpin), yaitu oleh mereka yang menggunakan fantasinya” (TIFA BUDAYA. Sebuah Bunga Rampai. Penyunting: Kasijanto dan Sapardi Djoko Damono. Diterbitkan oleh Leppenas Jakarta 1981. Hlm.18,19).

Berkenaan dengan pandangan di atas ini, saya ingin mengutip ‘kesaksian’ Damyan Godho dalam bagian awal tulisannya “Pos Kupang-ku, Suara Nusa Tenggara Timur (Kilas-balik Singkat Perjalanan 15 tahun, 1 Desember 1992 – 1 Desember 2007), yang berbunyi sebagai berikut: “DALAM perjalanan ke Restoran Pantai Timor – Kupang, Senin sore 30 Nopember 1992 – tempat akan berlangsungnya Acara Peresmian POS KUPANG, Surat Kabar Harian pertama di Nusa Tenggara Timur, benak saya penuh khayalan. Namanya berkhayal. Macam-macam, meloncat sana meloncat sini, dengan hati yang berbunga-bunga, membayangkan koran yang akan terbit perdana esok hari Selasa 1 Desember 1992. ‘Suatu hari nanti, POS KUPANG seperti KOMPAS… beredar luas… dibaca banyak orang… dipercaya dan disayangi… di halte-halte, di bawah tiang listrik, di pasar dan di mana-mana terlihat orang asyik membaca … setidaknya membawa koran di tangan.’ koran itu adalah POS KUPANG yang telah menjadi kebutuhan…”  Lebih lanjut, Damyan Godho bersaksi: “Memang, khayalan tadi lalu menjadi impian dan cita-cita yang menjadi pemberi semangat dan inspirator dalam menapak perjalanan sejak 1 Desember 1992. Perjalanan, yang lebih tepatnya ‘perjuangan’ panjang 15 tahun, sungguh penuh kenangan…” (baca, 15 tahun Pos Kupang..., hlm.13-14).

“Khayalan”  yang disaksikan oleh Damyan Godho sebagaimana dikutip di atas ini adalah sebutan lain dari fantasi yang dijelaskan oleh Harvey Cox yang dikutip pula oleh Dick Hartoko, sebagaimana telah dipaparkan di atas, yang telah menjadikan Damyan Godho menoreh prestasi di dalam mengembangkan POS KUPANG memasuki usia ke-15 tahun pada 1 Desember 2007 yang lalu.  Khayalan atau fantasi yang dijelaskan di sini, menurut Cox, tidak lain adalah imajinasi yang diteruskan (dikembangkan), yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari.  Khayalan atau fantasi yang tak lain adalah imajinasi yang diteruskan itu, adalah khayalan atau fantasi kreatif, yang juga tidak lain adalah imajinasi kreatif yang diteruskan/dikembangkan berpangkal pada kenyataan dan pulang kepada kenyataan. Khayalan atau fantasi kreatif, yang tak lain adalah imajinasi kreatif yang diteruskan (dikembangkan) itu, lebih lanjut dijelaskan pula oleh Dick Hartoko, mengutip pandangan J. Bronowksi, “memampukan manusia dapat melihat ke depan, mempunyai ‘foresight’ (tinjauan ke masa depan), antisipasi (pikiran atau perhitungan yang dapat membayangkan apa yang nanti akan terjadi, atau yang diharapkan akan terjadi). Dan di sinilah kita berjumpa dengan peranan imajinasi dalam kehidupan manusia, syarat mutlak bagi terjadinya karya seni dan kemajuan ilmu pengetahuan, serta kemajuan di bidang apa saja Bronowksi mengumpamakan imajinasi dengan sebuah teleskop dalam arus waktu. Manusia dapat memandang ke depan, dan dapat menggambarkan apa yang akan terjadi” (Dick Hartoko. Manusia Dan Seni 1983:26-27). Imajinasi yang disebutkan oleh Bronowksi itu bukan meniadakan, tetapi mengukuhkan fantasi kreatif atau khayalan kreatif  yang membuat Damyan Godho berkata, “Suatu hari nanti, POS KUPANG seperti KOMPAS…”

Sangat disayangkan sekali bahwa konsepsi tentang “imajinasi, fantasi, khayalan” sebagaimana dipaparkan di atas ini belum dan/atau sama sekali tidak diketahui (!?) dan/atau tidak dipahami secara baik oleh Maria MB, sehingga Maria MB hanya memahami fantasi dan khayalan sebagai daya-daya roh yang semata-mata negatif, hampa, tidak masuk akal.  Ilustrasi pertama tentang “si tukang madu yang malas yang ingin mejadi kaya raya” dan ilustrasi kedua tentang “seorang wartawan yang bermimpi menjadi presiden, lantas mengalpakan tugasnya sehingga terperangkap dead line” (hlm.175) itu sesungguhnya adalah “lamunan kosong”. Kalau mau dikatakan “impian”, maka harus disebut “impian kosong”; kalau mau dikatakan “fantasi” atau “khayalan”, maka harus disebut “fantasi semu” atau “khayalan semu”. Kedua ilustrasi itu menjelaskan tentang arti “lamunan” dan “melamun”. “Lamunan” adalah “angan-angan yang menerawang dan bukan-bukan”; “melamun” adalah “termenung memikirkan sesuatu yang tidak tentu”. Kedua ilustrasi itu sama sekali  tidak ada hubungannya dengan “khayalan”, atau “fantasi”; apalagi “khayalan kreatif”, atau “fantasi kreatif”. Dan apabila kita pergunakan sebutan “imajinasi”, maka kedua buah ilustrasi itu dapat disebut sebagai “imajinasi negatif”, yaitu “imajinasi dalam pengertian “conception or mental creation baseless one” (bayangan/gambaran atau kreasi mental [pikiran, batin, rohaniah] yang tidak beralasan atau tidak berdasar sama sekali). Dengan demikian, lamunan kosong, atau impian kosong adalah imajinasi negatif yang diteruskan (dikembangkan) secara tidak menentu.  Sedangkan ilustrasi ketiga (juga pada halaman 175) yang dikemukakan oleh Maria MB, itu adalah ilustrasi yang benar untuk penjelasan  tentang “khayalan” (“khayalan kreatif”), atau “fantasi” (“fantasi kreatif”); dan apabila kita pergunakan sebutan “imajinasi”, maka ia disebut “imajinasi kreatif” atau “imajinasi positif” yang selaras dengan pandangan Harvey Cox dan Mary Harrington sebagaimana telah saya kemukakan di atas. Dan terhisab kepada “imajinasi kreatif” atau “imajinasi positif” ini adalah “the artist’s creative power” (daya kreatif seniman) yang ada atau dimiliki oleh seniman—seperti yang telah dibuktikan sendiri oleh Maria MB melalui kehadiran novelnya yang berjudul Surat-Surat dari Dili; dan  “the faculty of the producing ideal creations consistent with reality” (kemampuan menciptakan  kreasi-kreasi ideal yang selaras dengan kenyataan) yang ada atau dimiliki oleh para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu, arsitek, teknikus—bahkan ada atau dimiliki setiap insan (kecuali orang gila dan orang-orang yang mengalami cacat total)..

Lebih lanjut, Maria MB mengutip Subagio Sastrowardoyo yang “membedakan imajinasi dari fantasi, angan dari khayal”, seraya mengatakan bahwa “Sastra dibangun menurut daya angan (imajinasi) yaitu daya tangkap batin yang secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar dari pengalaman dan kenyataan konkret. Anggapan ini sanggup menangkap kebenaran sampai pada esensinya”. Pandangan ini sungguh rancu. Imajinasi dibedakan dari fantasi, dan angan dibedakan dari khayal tanpa disertai penjelasan sama sekali, tetapi serentak dengan itu, “angan” diartikan sebagai “imajinasi”; padahal “fantasi, khayal,  angan (angan-angan), impian, merupakan daya-daya roh yang terjalin-teranyam dengan kesadaran imajinatif,  di mana fantasi itu sendiri pada gilirannya adalah imajinasi yang diteruskan (dikembangkan),  yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari seperti yang dikatakan oleh Harvey Cox, dan/atau fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif seperti kata Roger Fretigny dan Andre Virel, sebagaimana telah saya kemukakan di atas.

Memperhatikan penjelasan di atas ini, maka menurut pertimbangan saya pandangan Rene Wellek yang mengatakan “Kesusastraan dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif. Jadi di sini sifat imajinasi menunjukkan dunia angan dan khayalan, sehingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu yang ditunjuk adalah dunia angan (fiction, imagination), merupakan pandangan yang lebih benar dari pandangan Subagio Sastrowardoyo (sic!), sebagaimana kutipan Maria MB. Baca selengkapnya, dalam buku Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (Rachmat Djoko Pradopo. 1994:35). Atau, pandangan Ignas Kleden yang mengatakan, “Sastra pada taraf terakhir merupakan hasil imajinasi seorang pengarang. Maka kenyataan yang dilahirkan sastra—dalam hubungan ini—adalah suatu karya imajiner. Dia merupakan kenyataan yang diolah dalam khayal sang pengarang sendiri… Umar Junus dengan meminjam istilah Harry Levin menyebut kenyataan imajiner sebagai ‘a reflected reality’ (realitas yang direfleksikan—pen.)” (Ignas Kleden. “Kesusastraan Tidak Harus Menjadi Cermin Keadaan Masyarakat”, dalam: Tifa Budaya, do.ib. hlm.47). Catatan: “imajiner” artinya hanya terdapat dalam angan-angan, atau khayalan, sebutan lain untuk “fantasi”. Begitu pula pandangan Friedrich Dürrenmatt—yang dikutip oleh Paul Budi Kleden—“Keseluruhan karya sastraku adalah usaha tanpa henti untuk bergumul dengan impian-impian yang mendatangi diriku”; dan berdasarkan kutipan ini Paul Budi Kleden lebih lanjut berkata, “Bersama Dürrenmatt, kita dapat mengatakan bahwa pada awal sastra ada impian. Sastra lahir dari rahim impian dan bernafaskan impian itu. Demikian pun akhir dari sastra adalah impian” (Surat-Surat dari Dili, 2005:12,13), adalah pandangan yang  benar dan selaras dengan Harvey Cox.

Memperhatikan uraian di atas ini, saya melihat dengan sangat jelas keterbatasan pemahaman Maria MB tentang konsepsi “imajinasi positif”—dalam hal ini tentang “the artist’s creative power” (daya cipta seniman). Mengapa saya berani katakan demikian? Karena pengertian tentang imajinasi yang Maria MB kemukakan selanjutnya pada alinea terakhir halaman 175 dan halaman 176 yang dikutip dari pandangan Tedjoworo, Ignas Kleden, H.B. Jassin, dan Ignatius Krishna Dharma yang mengutip C. Wright Mills, sebenarnya hanyalah merupakan “pengertian imajinasi secara umum” (perhatikan arti kata imajinasi dalam The Lexicon Webster Dictionary) yang dijabarkan sesuai dengan konteks-konteks tertentu, atau sama seperti kata J.C. Nesfield: “Imagination or the power to realize a situation not one’s own, is quite as necessary to an historian as to a novelist or even to a poet” (Prose and Poetry. Dalam, Manual English Grammar and Composition, hlm.271). “Imajinasi atau daya untuk menyadari, menginsafi serta mewujudkan suatu keadaan itu bukan milik sendiri, melainkan sama diperlukan bagi seorang sejarawan seperti diperlukan juga oleh seorang novelis atau bahkan bagi seorang penyair”.

Pengertian imajinasi dalam arti umum sebagaimana dijelaskan di atas ini sama sekali tidak meniadakan peranan segenap daya roh (fantasi, khayal, angan, impian, ilham, inspirasi) yang terjalin-teranyam di dalam kesadaran imajinatif. Sebab, bagi seorang penyair, Maritain berkata: “Puisi, lahir pada akar-akar kemanusiaan, di mana semua daya roh bersama-sama aktif dan giat. Syarat mutlak bagi terjadinya puisi yang baik, yaitu totalisme dan integritas, jiwa yang bulat dan utuh. Puisi bukan hanya hasil dari akal-budi maupun imajinasi, melainkan bertumbuh pada keseluruhan kemanusiaan, baik pancaindera, imajinasi, intelek, cinta, nafsu, naluri, darah dan roh…” (Dick Hartoko. “Kesenian Dalam Hubungannya Dengan Peranan Kaum Muda”, dalam: Tifa Penyair, do.ib. hlm.17).

Catatan akhir

Mengakhiri marginalia atas 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, teristimewa marginalia atas opini Maria Matildis Banda seputar “imajinasi, fantasi, khayalan” , sekali lagi saya tecara tulus menyatakan ketrenyuhan saya. Sebab, dalam  teori sastra, ternyata Maria Matildis Banda telah menyajikan suatu kajian yang bobotnya berada jauh di bawah bobot novel Surat-Surat dari Dili karya Maria Matildis Banda sendiri. Sehingga dengan demikian, teori sastra Maria Matildis Banda tentang imajinasi, fantasi, khayalan, pada gilirannya menciderai citra Maria Matildis Banda sendiri sebagai seorang dosen Fakultas Sastra dan novelis—sekaligus mempengaruhi bobot buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, lantaran posisi Redaktur Khusus Pos Kupang yang melekat pada diri Maria Matildis Banda. Dan inilah yang membuat saya trenyuh: “Mengapa sampai harus terjadi demikian?” ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar