Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 13 Februari 2014

TAO TENTANG PENYELAMATAN OLEH ALLAH MELALUI KELAHIRAN, KEMATIAN DAN KEBANGKITAN YESUS (4)



BAGIAN KETIGA

Tao dalam hidup yang baru 

 Mengenai “hidup yang baru” bagi setiap orang yang percaya akan Yesus Kristus, Rasul Paulus berkata antara lain: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptiskan dalam Kristus, telah dibaptiskan dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Roma 6:3, 4).


       Dari uraian tentang Tao dan metamorfosa, khususnya Tao dalam dunia biologi, kita telah mengetahui bahwa apabila satu sel sperma bertemu dan menyatu dengan sel telur (ovum), maka akan terjadilah suatu proses kematian yang memungkinkan terwujudnya suatu metamorfosa yang luar biasa, yang melahirkan suatu kehidupan yang sama sekali baru. Dan dalam kehidupan yang baru itu faktor-faktor dominan akan menampakkan kecondongannya yang kuat, sedangkan faktor-faktor terdesak akan condong kepada dilenyapkan oleh kekuatan faktor-faktor dominan. Tao dalam dunia biologi ini dapat dianalogi-konversikan untuk memahami pandangan Rasul Paulus tentang “hidup yang baru”.

       Dibaptiskan dalam Kristus artinya dipertemukan dan disatukan dalam Kristus, dalam kematian dan penguburan Kristus (Roma 6:3). Penguburan adalah pembuktian dari kematian. Dalam proses kematian dan penguburan bersama Kristus ini terjadilah suatu “metamorfosa rohani” yang ajaib berdasarkan rahmat Allah, sehingga kita akan mengalami suatu proses kehidupan yang baru seperti kata Rasul Paulus: “..... supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Roma 6:4, dyb). Kita mengalami hidup yang baru, karena faktor-faktor dominan yang ada pada Kristus condong kepada menaungi kita yang memiliki faktor-faktor terdesak yaitu faktor-faktor tabiat hidup yang lama yang dikuasai oleh dosa. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan yang baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17). Dengan demikian kita dapat hidup dalam damai Allah; kita dapat beroleh jalan masuk kepada kasih karunia Allah; kita dapat bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah (Roma 5:1-11).

       Untuk mengadakan karya “hidup yang baru” sebagaimana dikemukakan di atas ini, Kristus (Yesus) tidak tetap tinggal di dalam kemuliaan-Nya di sorga sebagai Firman yang ada bersama-sama dengan Allah, melainkan Ia telah masuk ke dalam dunia kehidupan kita, menjadi sama seperti kita dalam bentuk kemanusiaan kita (Yohanes 1:14). Dan dengan menjadi sama seperti manusia inilah, karya “hidup yang baru” bagi dunia dan manusia dilaksanakan-Nya melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Ibrani 2:9, dyb; Roma 5, 6, 8, dyb). Ya, dengan proses ini sajalah, karya “hidup yang baru” yang diemban oleh Kristus (Yesus) dapat bermakna bagi dunia dan manusia, dan/atau sebaliknya dunia dan umat manusia baru bisa memperoleh makna karya “hidup yang baru” di dalam Kristus (Yesus). Tanpa ‘proses’ seperti ini, maka Kristus (Yesus) akan tetap tinggal/berada di dalam keberadaan-Nya  sebagai Firman yang ada bersama-sama dengan Allah di surga (Yohanes 1:1, 2), dan manusia akan tetap tinggal/berada di dalam keindividualannya sebagai manusia yang durhaka, berdosa dan lemah.

Tao dalam struktur manusia

            Pembicaraan mengenai Tao baik dalam hubungannya dengan metamorfosa, rencana penyelamatan oleh Allah, dan hidup yang baru sebagaimana diwedarkan di atas sangat erat kaitannya dengan persoalan mengenai akhir hidup manusia. Apakah akhir hidup manusia di dunia ini sama seperti kata orang-orang yang menganut ajaran Materialistis-Darwinisme: bahwasanya “kematian adalah akhir, dan hidup sesudah kematian adalah khayal, serta kebangkitan adalah suatu mitos?” Atau, apakah akhir hidup manusia di dunia ini seperti kata orang-orang beragama: “bahwa kematian bukan akhir, sebab di balik kematian (masih) ada hidup, dan kebangkitan itu akan ada?”

            Saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mempergunakan konsep Tao sebagai alat urai. Namun untuk itu, alangkah baiknya kalau terlebih dahulu saya ajak pembaca untuk melakukan tinjauan atas “struktur manusia”. Yang saya maksudkan dengan struktur manusia di sini yaitu, “cara bagaimana manusia disusun, atau cara bagaimana manusia dijadikan (dibentuk, atau diciptakan)”.

            Alkitab (Kitab Kejadian 2:7) mengisahkan kepada kita “cara bagaimana” Allah  menciptakan manusia. Di situ dikisahkan bahwa “Allah membentuk manusia dari debu tanah”. Demikianlah “cara/tahap pertama” Allah bekerja dengan mempergunakan bahan, unsur, atau zat, ketika menciptakan manusia. Kesaksian ini boleh kita anggap sebagai “suatu proses kerja secara kimiawi” yang Allah lakukan untuk membentuk tubuh manusia.

            Setelah itu, “Allah menghembuskan napas hidup (“nesyama”) ke dalam hidung tubuh manusia yang Allah bentuk itu”. Ini merupakan “cara/tahap kedua” Allah melakukan pekerjaan-Nya dalam menciptakan manusia. Dan sebagai hasil (akibat) dari “menyatunya napas hidup yang dihembuskan Allah” dengan “tubuh manusia yang dibentuk dari debu tanah itu”, terjadilah “suatu kehidupan yang sama sekali baru, atau sama sekali lain”, yaitu: “manusia (yang mulanya dibentuk dari debu tanah itu)” menjadi “makhluk yang hidup” (“nefesy khayya”). Dengan demikian, “manusia sebagai makhluk yang hidup” (“nefesy khayya”) adalah sintesis dari “pemberian napas hidup (“nesyama”) dari Allah” dengan “tubuh material (yang dibentuk dari  debu tanah)”.

            Uraian mengenai penciptaan (pembentukan) manusia sebagaimana diwedarkan di atas ini ternyata sejalan dengan prinsip Tao. Sebagaimana menyatunya sel telur dengan sel sperma menghasilkan suatu bentuk kehidupan baru, demikian juga penciptaan manusia oleh Allah yang disaksikan dalam Kejadian  2:7. “Tubuh (materi yang dibentuk dari debu tanah)” setelah menyatu dengan “napas kehidupan” (“nesyama”) menjadi suatu wujud kehidupan baru yang disebut “makhluk yang hidup” (“nefesy khayya”).

Analisis mengenai proses kematian

            Untuk menganalisis mengenai proses kematian manusia, di sini saya akan menganalisis kematian Yesus sebagaimana dikisahkan dalam Injil. Sebab, berkenaan dengan kematian Yesus, Injil memberikan uraian yang cukup terang bagi kita.

            Dalam Injil Lukas 23:46 dikisahkan bahwa ketika Yesus akan mati, Ia berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian, Yesus  menyerahkan nyawa-Nya. Yesus mati – benar-benar mati, dan bukan pingsan atau mati suri. Yesus benar-benar mati dan dikuburkan. Namun “Eksistensi-Nya yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir” tidak mati atau tidak dihancurkan oleh kematian. Sebab, setelah Yesus mati dan dikuburkan, Yesus “turun ke alam maut”

            Mengenai ungkapan “turun ke alam maut” ini ada banyak perbedaan pendapat. Di sini berbagai pendapat yang berbeda mengenai ungkapan ini tidak akan saya bahas, kecuali satu hal yang perlu diperhatikan yaitu, “Eksistensi Yesus yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir” tidak mati atau dihancurkan oleh kuasa kematian dan kuasa kubur. Dengan kata lain: hilangnya nyawa pada saat kematian tidak menghancurkan atau menghilangkan “Eksistensi Yesus yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir”. Tubuh Yesus tergantung di kayu salib, kemudian diturunkan dan dikuburkan. Namun Yesus dalam “Eksistensi-Nya yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir” turun ke alam maut. Perkataan “ turun” (“descend”) artinya  “to pass from a higher to a lower condition” (= berlalu [pergi] dari suatu taraf ketinggian ke suatu taraf kerendahan), atau “to lower oneself to” (=  merendahkan diri ke…). Sedangkan yang dimaksudkan dengan “alam maut” yakni “Hadēs” (Hades), yaitu “tempat orang-orang yang telah meninggal dunia”.

 Berdasarkan Injil, tempat ini  (Hades) terdapat dua kawasan yang dipisahkan oleh jurang yang tak terseberangi. Kawasan yang satu didiami oleh orang-orang mati yang diberkati, yang disimbolkan sebagai “pangkuan Abraham”. Teks Yunani yang transkripsinya berbunyi, eis ton kolpon Abram, artinya “ke pangkuan Abraham” dapat diterjemahkan juga secara dinamis fungsional dengan “ke tempat terhormat di samping Abraham” (Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Oleh B.F. Drewes, et.al., BPK GM 2008:257). Kawasan ini adalah “tempat kebahagiaan mula-mula sekali” (Paradeisos [Firdaus]), yang Yesus janjikan kepada salah seorang penjahat di Golgota yang mengalami keinsafan dan berserah kepada Yesus (Lukas 23:43). Paradeisos atau Firdaus inilah yang pernah dialami secara rohaniah oleh rasul Paulus (2 Korintus 12:4) melalui penyataan, atau wahyu dari Tuhan (2 Korintus 12:1).  Apakah Paradeisos atau Firdaus yang disebutkan oleh Paulus ini sama dengan ungkapan tritou ouranou (surga tingkat ketiga) yang disebutkan dalam 2 Korintus 12:2, saya tidak tinjau lebih jauh di sini. Dan kawasan lainnya yaitu kawasan yang disimbolkan dengan “(kawasan)  dalam nyala [lidah] api yang menyakitkan [sangat kesakitan]”, yang didiami oleh orang-orang mati yang tidak diberkati (Lukas 16:22 – 31).

            Ke tempat yang bernama Hades itulah, Yesus dalam “Eksistensinya yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir” turun (pergi) untuk memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu roh-roh mereka yang dahulu, pada waktu Nuh, tidak taat kepada Allah (1 Petrus 3:19,20). Yang perlu diperhatikan di sini ialah frasa ayat 19 yang berbunyi, “dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang ada di dalam penjara,” Jadi, Yesus bukannya “turun” (pergi) ke “ neraka” yang disebut “Tartarus”, yaitu “kawasan dunia orang mati yang dikhususkan untuk penghukuman orang-orang yang jahat. Kawasan yang disebut “Tartarus” ini dengan kata lain disebut “Thanatos”, yaitu kawasan dunia orang mati yang dikhususkan untuk pembinasaan yang disebutkan dalam Wahyu 20:13 dalam satu frasa dengan kawasan yang disebut “Hadēs” (Hades).

Dalam 1 Petrus 3:18 terdapat ungkapan “tetapi dibangkitkan menurut Roh”. Transkripsi Yunani ungkapan ini, zō(i)opoiētheis de pneumati, bisa juga diterjemahkan “dan dibangkitkan menurut kuasa pemberi kehidupan yang tak terlihat dari Allah”. Sehingga ayat 19 dan 20 dapat diterjemahkan secara parafrase: “dan di dalam kuasa pemberi kehidupan yang tak terlihat dari Allah itu juga Ia (Yesus) dalam “Eksistensi-Nya yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir” pergi memberitakan Injil kepada roh-roh (= eksistensi-eksistensi yang khas sebagai persona-persona) yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka (= eksistensi-eksistensi yang khas sebagai persona-persona) yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ……”

Mengapa terjemahan dalam bentuk parafrase di atas ini dimungkinkan? Jawabannya ialah, demi pemahaman yang lebih baik atas teks 1 Petrus 3:18 – 20 yang menurut beberapa teolog/ penafsir, teks tersebut tergolong sukar, banyak menimbulkan diskusi dan tafsiran yang berbeda-beda. Terjemahan dalam bentuk parafrase yang saya lakukan atas teks ini tentu akan menimbulkan diskusi pula. Namun perlu diperhatikan bahwa transkripsi kata Yunani, pneuma, pneumatos, dalam teks ini tidak saja berarti “Roh” (dari Allah)”, melainkan “Roh (= kuasa pemberi kehidupan yang tak kelihatan), di samping pneuma, pneumatos yang juga berarti “jiwa”, “kehidupan yang batin”, dan “diri pribadi”, yang saya sebut “eksistensi yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir”. Berdasarkan tinjauan ini  maka saya dapat membuat beberapa catatan berupa kesimpulan sebagai berikut:

Kematian bukanlah akhir, dan hidup sesudah kematian bukanlah sebuah khayal. Pada saat kematian, “napas kehidupan” (nesyama) atau nyawa kembali kepada Allah, dan tubuh dikuburkan di dalam liang lahat. Namun, “ada suatu bentuk kehidupan yang khas, yang terus berlangsung setelah kematian’. Bentuk kehidupan yang khas ini tetap mempertahankan identitas personal, atau identitas kepribadian dan eksistensi yang sadar dan berpikir. Dalam tulisan ini saya sebut dengan istilah “the self”, yaitu “eksistensi yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir”.

Hal ini terbukti dalam analisis di atas berkenaan dengan kematian Yesus. Bukti lain dapat kita lihat pada kisah Orang kaya dan Lazarus yang miskin (Lukas 16:19 – 31). Setelah mati dan ketika berada dalam kawasan orang-orang yang telah mati di Hades, si Orang kaya tetap mengenal Lazarus dan bahkan Abraham. Kisah tentang Orang kaya dan Lazarus yang miskin ini memberi petunjuk bahwa “eksistensi yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir” kedua orang ini terus berlangsung di Hades, sekalipun tubuh mereka telah hancur di dalam kubur.  Dalam Matius 17:1 – 4 – ketika Yesus dimuliakan di atas gunung – Petrus, Yakobus dan Yohanes melihat Musa dan Elia sedang berbicara dengan Yesus yang berubah rupa di depan mata mereka. Padahal, sesungguhnya Musa telah lama mati dalam kurun waktu abad ke-13 sebelum Masehi, dan Elia telah lama meninggalkan dunia (karena dikisahkan sebagai “naik ke surga dalam angin badai” [2 Raja-Raja 2:11]) dalam kurun waktu abad ke-9 sebelum Masehi. Petrus, Yakobus dan Yohanes dapat mengenali Musa dan Elia dalam penampakan di atas gunung ketika Yesus berubah rupa, padahal mereka tidak hidup sezaman, sudah tentu lantaran kuasa Ilahi (Roh) Allah yang membuka mata (rohaniah) mereka dan memberikan pengertian kepada mereka. Dalam Matius 11:13,14, Yesus berkata: “Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga tampilnya Yohanes (Pembaptis) dan – jika kamu mau menerimanya – ialah  Elia”. Mengenai Yohanes Pembaptis, malaikat Tuhan berkata kepada Zakharia: “dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia …” (Lukas 1:17). Teks-teks ini memberi petunjuk bahwa “eksistensi yang khas sebagai persona yang sadar dan berpikir” dari nabi ekstatik Elia yang hidup pada abad ke-9 sebelum Masehi hadir kembali dalam diri Yohanes Pembaptis. Dan ciri-ciri khas nabi Elia yang “memakai pakaian bulu, dan ikat pinggang kulit terikat pada pinggangnya” dikenakan pula oleh Yohanes Pembaptis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar