Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 26 Februari 2018

Marginalia atas Kristologi Dalam Budaya Masyarakat NTT

 
(Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti)


Catatan awal
Setelah membaca buku Kristologi Dalam Budaya Masyarakat NTT (Cetakan Pertama, Maret 2013), Editor: Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan Zummy A. Dami, S.Th., M.Pd.; yang diterbitkan oleh Penerbit DIGNA Pustaka; ada sejumlah marginalia yang ingin saya wedarkan dalam tulisan ini. Yang dimaksudkan dengan marginalia di sini ialah “notes written on the margin”, bersinonim dengan catatan samping dalam bahasa Indonesia, yang artinya “catatan atau penjelasan yang ditempatkan pada margin [tepi] kiri atau kanan” [pada halaman buku, ketika buku itu dibaca]. Adapun marginalia atas buku Kristologi Dalam Budaya Masyarakat NTT yang akan saya wedarkan dalam tulisan ini  adalah sebagai berikut:

1. Kata Pengantar:
1.1. Kata Pengantar sebuah buku lazimnya dibuat oleh penulis, pengarang, penyusun, atau editor. Ternyata buku Kristologi Dalam Budaya Masyarakat NTT itu adalah sebuah kumpulan karangan yang dikerjakan oleh tujuh belas orang. Untuk menerbitkan kumpulan karangan ini, Pd. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan Zummy A. Dami, S.Th., M.Pd., berperan dan bertanggung jawab sebagai editor. Dengan demikian seharusnya Kata Pengantar dibuat oleh editor. Ketua STAKN Kupang—oleh karena dihargai sebagai pemimpin sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi Agama Kristen Negeri—seyogianya memberikan Kata Sambutan.

1.2. Pada kalimat baris pertama, alinea pertama, tertulis: “Kami menyambut baik penerbitan buku ini….” (hlm.iii).  Kata ganti orang pertama jamak, kami, pada awal baris kalimat pertama, alinea pertama itu, dipergunakan untuk siapa…?  Kemudian, pada alinea terakhir, kalimat kedua, pada baris kalimat yang berbunyi: “Untuk itu harapan saya…” (hlm.iv). Kata ganti orang pertama tunggal, saya, pada baris kalimat ini dipergunakan untuk siapa…? Dalam Kata Pengantar yang dibuat oleh Ketua STAKN Kupang ini, ada ketidakkonsistenan dalam penggunaan kata ganti orang pertama. Jikalau kata ganti orang pertama jamak, kami, dipergunakan untuk menyatakan “majesty” (keagungan, kemegahan, kebesaran, kekuasaan… orang pertama tunggal (dalam hal ini, Ketua STAKN Kupang yang menulis Kata Pengantar) dan/atau kata ganti, kami, dipergunakan untuk mengatasnamakan STAKN sebagai institusi pendidikan tinggi agama Kristen yang diketuai oleh (subjek) yang membuat Kata Pengantar, oke, dapat diterima. Dengan demikian, pada baris kalimat yang berbunyi: “Untuk itu harapan saya…”, harus ditulis, “Untuk itu harapan kami…”

2. Bab I “Mencari Jejak Kristologi Dalam Budaya Suku-Suku di NTT”
2.1. Terlepas dari corak  landasan teori kristologi yang dianut dan/atau yang hendak diimplementasikan oleh Dr. M.A.P. Dethan dalam budaya suku-suku di NTT, dalam tulisan ini saya lebih memfokuskan perhatian pada peranan dan tanggung jawab Dr. M.A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan juga Zumi A. Dami, S.Th., M.Pd., sebagai editor.

Editor bersinonim dengan penyunting, ialah orang yang mengedit atau menyunting naskah tulisan atau karangan yang akan diterbitkan dalam majalah, surat kabar, buku, dsb. Dalam konteks ini, Dr. M.A.P. Dethan, M.Th., M.A.,  dan Zumi A. Dami, S.Th., M.Pd., bertanggung jawab sebagai editor atau penyunting bahasa berkenaan dengan naskah tulisan atau karangan yang akan diterbitkan dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, bahasa, dan ejaan (kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi [kata, kalimat, dsb] dalam bentuk tulisan [huruf-huruf] serta penggunaan tanda baca) berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan; diksi (pilihan kata yang tepat dan selaras [dalam penggunaannya] untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu [seperti yang diharapkan]);  dan struktur kalimat (pengaturan pola dalam bahasa [kalimat]) sebagai kesatuan ujar yang mengungkapkan  suatu konsep pikiran dan perasaan. Ternyata peranan dan tanggung jawab sebagai editor sangat   kurang diperhatikan oleh Dr. M.A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan Zumi A. Dami, S.Th, M.Pd.

2.2. Perhatikanlah catatan-catatan yang saya tampilkan di bawah ini. Setiap diksi yang salah atau tidak baku dicetak dengan huruf miring tebal, dan yang benar atau baku dicetak dengan huruf miring tipis. Kata defenisi yang dipergunakan dalam judul: 1.1. “Defenisi Kristologi” (hlm.1) itu, salah. Yang benar ialah, definisi. Jadi, judul itu seharusnya ditulis, 1.1. Definisi Kristologi. Istilah Teeologi Sistimatis (hlm.2, baris kesepuluh dari atas), juga salah. Tidak ada huruf “e” rangkap dalam kata teologi, dan penulisan kata “sistimatis” yang benar ialah “sistematis”. Jadi, yang  benar ialah, Teologi Sistematis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  (KBBI) edisi keempat Tahun 2008, hlm.1322,  kata sistim  adalah kata  yang tidak disarankan pemakaiannya karena itu harus dipergunakan kata sistem yang dianggap baku.  Kata hakekat yang dicetak dalam tanda kurung (…) itu, salah. Yang benar ialah, hakikat. Selain itu, penulisan kata Identitas (Hakekat) dan Makna (Relevansi) dengan huruf besar “I, H, M, R” seyogianya ditulis dengan huruf kecil “i, h, m, r”, sehingga kata-kata itu tertulis: identitas (hakikat) dan makna (relevansi). Penulisan kata Alkiitab yang terdapat pada baris kedua alinea kedua, itu juga salah. Dalam kata “Alkitab”, tidak ada huruf “i” rangkap dua. Jadi, yang benar ialah Alkitab. Penulisan kata perjanjian Baru, seharusnya ditulis Perjanjian Baru. Kata nampaknya  (hlm.3 baris keempat dari atas”) itu , salah (tidak baku). Yang baku ialah, tampaknya.  Kesalahan berikutnya ialah kata munculah ditulis dua kali, “munculah munculah” (baris ke-15,16 dari atas). Selain itu, penulisan kata munculah, juga salah.  Kata dasar muncul + sufiks -lah  seharusnya ditulis  muncullah.

Jawaban Simon Petrus atas pertanyaan yang diajukan oleh Yesus, yang dapat dikatakan sebagai “pengakuan iman Simon Petrus” ialah: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Matius 16:16), bukan “Engkau adalah Kristus!”, sebagaimana tertulis pada halaman 3, baris ke-17 dari atas). Selain itu, penulisan frasa,  “Engkau adalah Kristus” , seharusnya  berada dalam rangkaian frasa “… muncullah pengakuan iman dari Simon Petrus: “Engkau adalah Kristus”. Jadi, frasa “Engkau adalah Kristus” tidak boleh ditulis seperti suatu “subjudul karangan” sebagaimana tertulis pada halaman tiga itu. Kata Pribadi Yesus, dalam kalimat, seyogianya ditulis pribadi Yesus. Apabila pada awal kalimat, barulah huruf “p” pada kata pribadi Yesus ditulis dengan huruf “P” kapital, Pribadi Yesus. Penulisan kata  kristologi dalam kalimat yang terdapat pada baris ketujuh dari bawah itulah yang benar. Pada awal kalimat atau judul karangan, barulah kristologi ditulis Kristologi.   Begitu pula dengan kata teologi dalam kalimat tidak perlu ditulis Teologi, kecuali pada awal kalimat atau judul karangan. Jadi, dalam kalimat, kristosentris tidak perlu ditulis Kristosentris dan teosentris tidak perlu ditulis Teosentris, kecuali pada awal kalimat atau judul karangan. Pada baris keenam dari bawah (hlm.3) terdapat frasa yang berbunyi, “kalau diperhatikan dan diselidik secara…” Kata diselidik dalam frasa itu seharusnya ditulis, diselidiki.

Kata nampak pada baris kelima dari bawah, seharusnya ditulis  tampak.  Pada baris keempat dari bawah terdapat frasa yang tertulis “ tentang pribadi tentang Kristus dalam theologi”, seharusnya ditulis  tentang pribadi Kristus dalam teologi”.  Penggunaan kata atau istilah “Theology” [Th] dianggap baku hanya pada gelar kesarjanaan: B.Th., Sm.Th., S.Th., M.Th., D.Th. Pada akhir  baris ketiga yang terkait dengan baris kedua dan pertama dari bawah terdapat frasa yang  tertulis, “Kristologi ini berisikan terutama tentang Pemahaman tentang Yesus, Karya-karyanya dan tindakannya”, sebaiknya ditulis, “Kristologi ini  berisikan terutama tentang pemahaman akan Yesus serta karya-karya dan tindakan-Nya” (sambungan kalimat ini  terdapat pada baris pertama, kedua, dan ketiga (hlm.4): “yang berhubungan dengan YHWH, Allah Israel, selain itu juga pemahaman tentang Yesus pada masa dulu maupun sekarang.”  Struktur kalimat ini—secara sintagmatis (hubungan linear antara unsur bahasa dalam tatarannya)—kurang baik dan kurang memuaskan. Saya memperbaiki struktur kalimat tersebut sebagai berikut: “yang berhubungan dengan YHWH, Allah Israel, yang disapa oleh Yesus sebagai Bapa-Nya; selain pemahaman tentang Yesus pada masa lampau maupun masa kini.” Berdasarkan perbaikan ini maka keutuhan kalimat yang diperbaiki itu berbunyi sebagai berikut: “Kristologi ini berisikan terutama tentang pemahaman akan Yesus serta karya-karya dan tindakan-Nya yang berhubungan dengan YHWH, Allah Israel, yang disapa oleh Yesus sebagai Bapa-Nya; selain pemahaman tentang Yesus pada masa lampau maupun masa kini.”

2.3.  Pada halaman 4 sampai halaman  11, kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan ejaan, diksi, struktur kalimat, dan penulisan kata atau istilah, tetap ada. Kata pre-existensi, seharusnya ditulis praeksistensi; kata hymne, seharusnya ditulis himne; kata symbol, seharusnya ditulis simbol kata anthroposentris, seharusnya ditulis antroposentris. Lucunya, di samping penulisan anthroposentris, terdapat pula penulisan  anthroppoentris.

2.4. Pada halaman 4 terdapat suatu kalimat yang berbunyi sebagai berikut: “Tipe-tipe kristologi apa saja yang muncul dalam sejarah kekristenan akan kita bahas secara lebih mendalam dalam di bawah ini.”  Struktur kalimat ini lebih baik diubah begini:  “Tipe-tipe kristologi apa sajakah yang muncul dalam sejarah kekristenan? Pertanyaan ini akan dijawab secara selayang pandang di bawah ini.” Atau, “Tipe-tipe  kristologi yang muncul dalam sejarah kekristenan akan dibahas secara singkat di bawah ini.”  Mengapa saya usulkan perubahan kalimat ini? Jawabnya: karena struktur kalimatnya lebih baik, serta sesuai dengan realitas faktual uraian yang penulis berikan mulai dari butir 1.3; 1.3.1 sampai butir 1.3.3; termasuk pula uraian pada butir 1.4 dan 1.5, yang menurut penulis merupakan  pembahasan yang lebih mendalam, padahal  kenyataannya (menurut penilaian saya), pembahasannya hanya bersifat selayang pandang dan/atau secara singkat saja.

2.5. Kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan ejaan, diksi, penulisan kata atau istilah, dan struktur kalimat, yang terdapat dalam bab ke-2 sampai bab ke-6 buku Kristologi Dalam Budaya Masyarakat NTT,  juga merupakan tanggung jawab  editor Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan Zummy A. Dami, S.Th., M.Pd., berkenaan dengan pengeditannya.  Apa yang telah saya uraikan  di atas terkait kata pengantar dan bab pertama buku Kristologi Dalam Budaya Masyarakat NTT, dapat saya ibaratkan sebagai sebuah cermin hadap diri buat Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th., M.A., dan  Zummy A. Dami, S.Th., M.Pd.  Mudah-mudahan  cermin hadap diri di atas dapat memantulkan kesadaran dan tekad untuk memperbaiki diri dalam dunia  karang-mengarang dan penerbitan buku. Gelar-gelar besar yang tercantum di depan dan di belakang nama, seharusnya dapat dipertahankan dan dibuktikan kebesarannya dalam dunia karang-mengarang  dan  penerbitan buku.


3. Bab II  Yesus Kristus “Fatu Putun Honis”
Setelah membaca Bab II, “Yesus Kristus Fatu Putun Honis", saya dapat memahami dan mengapresiasi upaya  kristologi kontekstualisasi yang dilakukan oleh Adriana Sole, Soleman Baun, S.Pd., Fenetson Pairikas, Bernadus Leo, Ayub Baok, Yonathan Leobisa, Daud Kase, Dorince Kabu, dan Karmelia Tamonob.  Namun ada beberapa catatan yang perlu saya berikan:

Pertama, Uraian pada “Latar Belakang” (butir 2.1.1), refleksi teologis Alkitabiah[-nya]  mengambang, dan kurang memuaskan. Selain itu, penulisan nama Dietrich Boenhoefer, salah. Yang benar, Dietrich Bonhoeffer. Bukunya bukan The Eties, melainkan Etics. Dalam buku ini Bonhoeffer tidak mengatakan bahwa “salah satu amanat yang di dalamnya Allah memanggil manusia adalah melalui kebudayaan”, melainkan yang ditekankan oleh Bonhoeffer ialah: “… the Church does not retire to a sacred existence but goes forth into the world to bear the presence of God. The Church must be in the world, working for the salvation of the world and reminding men that God loves the world. The task of the Christian is not to lead a pious life (i.e. majoring in the sacred area), but to be a witness to Christ in the world through life and action”  (Dietrich Bonhoeffer and Worldly Christianity; dalam: William E. Hordern. The Macmillan Co. New York 1968: 217).

Selain itu, pada “Rumusan Masalah” (2.1.2), terdapat uraian begini: “Bagaimana masyarakat suku Atoni Pah Meto menggunakan kebudayaan mereka untuk memuliakan Allah yang telah menemui manusia dalam kebudayaan Yahudi? Dalam tulisan ini kelompok hendak membawa pemahaman tentang Yesus Kristus ke dalam konteks sosio-kultural masyarakat asli Timor  atau suku Atoni Pah Meto. Proses inilah yang disebut oleh Richard Neiburh sebagai pertemuan antara Injil dan budaya” (huruf kursif, dari AGHN). Saya ingin memberi koreksi: (1)  Tidak ada teolog bernama Richard Neiburh. Yang ada hanyalah Reinhold Niebuhr.

“Reinhold Niebuhr—an American Neo-Orthodoxy—was a professor of Christian ethics at Union Theological Seminary, New York, from 1928 to 1960. He was primarily interested in applying Christianity to the social, economic, and political spheres. Reinhold Niebuhr’s thinking always begins with the human, the material, and the social…”  Perlu dicatat di sini bahwa perhatian terutama dari teologi Reinhold Niebuhr adalah penerapan kekristenan ke dalam lingkungan  hidup masyarakat, berkenaan dengan ekonomi, dan berkenaan dengan masalah negara, pemerintah, masalah umum, dan politik. Dan dijelaskan dalam kalimat kursif di atas ini “bukan pertemuan antara Injil dan budaya”, melainkan “penerapan kekristenan ke dalam lingkungan hidup masyarakat, ekonomi, masalah negara, pemerintah, politik, dan masalah umum” sebagaimana disebutkan di atas.

Kedua, Kajian tentang “Batu Karang” dalam Perjanjian Lama (2.3.1.), bisa diawali dari pernyataan Musa tentang Allah, Gunung Batu kita (Ulangan 32:3,4). Namun harus bedakan makna kias antara “gunung batu kita” dan “gunung batu orang-orang itu” (ayat 31), termasuk “Allah kita” (ayat 3) dan “allah mereka, gunung batu tempat mereka berlindung” (ayat 37).

Transkripsi kata bahasa Ibrani,  zur  [ṣur], tidak saja berarti  batu karang  yang besar  [“large rock”] melainkan juga berarti  potongan batu atau batu karang besar, terutama yang sudah membulat disebabkan oleh iklim atau air [“boulder”].

Mengenai gunung batu yang ditamsilkan untuk Allah sebagai tempat perlindungan, sebaiknya digambarkan terlebih dahulu peta tinggi Jerusalem pada masa kerajaan Daud dan Salomo. Peta tinggi Jerusalem memperlihatkan bahwa kota itu di sebelah barat, selatan dan timur dikelilingi oleh lembah-lembah, yakni: Lembah bani Hinom dan Lembah Kidron. Rangkaian bukit-bukit, tempat Jerusalem didirikan, dibagi oleh Lembah Kota dalam dua bagian. Yang tertinggi ialah bagian sebelah barat (760 m), di situlah Kota Atas. Tetapi Bukit Bait yang di sebelah timur lebih rendah lagi (740 m). Dan Bukit Ofel di sebelah tenggara, kira-kira 700 meter tingginya. Demikianlah Jerusalem didirikan atau dibangun di atas bukit-bukit. Oleh karena itu dalam Mazmur 87:1 tertulis: “Di gunung-gunung yang kudus ada kota yang dibangunkan-Nya…”  Pada peta tinggi Jerusalem terlihat Bukit Zaitun, Bukit Kekejian, dan Bukit Musyawarat Jahat.

Demikianlah bukit-bukit itu berdiri mengelilingi Jerusalem Laksana penjaga yang setia; dan ini menjadi tamsil perlindungan Allah terhadap umat-Nya, sebagaimana tertulis dalam Mazmur 125:2:  “Yerusalem, gunung-gunung sekelilingnya; demikianlah TUHAN sekeliling umat-Nya, dari sekarang sampai selama-lamanya.”  Berdasarkan latar belakang inilah penulis kitab Mazmur pasal 18 bermadah: “Ya, TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!”  (Dr. Van Deursen. Atlas Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1956. Hlm.8).

Berdasarkan catatan singkat di atas ini, saya ingin mengajukan pertanyaan untuk direnungkan: apakah pandangan, penghayatan, dan pengalaman spiritual masyarakat etnis Atoni Pah Meto yang mempunyai ikatan sakral dengan dewa air, buaya, mirip atau identik dengan pandangan, penghayatan, dan pengalaman spiritual umat Yahudi tentang  batu, batu karang, ­dan gunung batu dalam kaitannya dengan ALLAH  yang  mereka imani sebagai penyelamat, pelindung, dan pemelihara  mereka sebagai umat dalam sejarah  eksistensinya?  Perlu saya kemukakan di sini bahwa dalam berteologi kontekstualisasi berdasarkan “model semiotik” terutama “model metafora” bukan “kemiripan dan/atau keidentikan yang terdapat pada dua objek  yang diutamakan untuk dideskripsikan”, melainkan persamaan sifat, fungsi, atau keadaan yang terdapat pada dua objek yang diperbandingkan, yang diutamakan untuk dideskripsikan.

            Ketiga, Kajian tentang “Batu Karang dalam Perjanjian Baru” (butir 2.3.2) juga kurang memuaskan.  Mengapa? Karena pada halaman 22, 23, dan empat baris kalimat  pada halaman 24 bagian atas, sembilan peneliti dan penulis makalah berjudul “Yesus Kristus Fatu Putun Honis” hanya menguraikan  tentang batu karang [juga secara mengambang] berdasarkan “model praksis” (model praktik dalam bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia). Dan, yah…, refleksi teologis alkitabiah berkenaan dengan subjudul  “Batu Karang dalam Perjanjian Baru”, juga sangat dangkal. Oleh karena para peneliti dan penulis  mengawali kajian mereka  tentang batu karang dalam Perjanjian Baru berdasarkan  ilustrasi yang Yesus kemukakan dalam Injil Lukas 6:46-49; Matius 7:24-27, maka berikut ini saya akan memberikan sedikit gambaran  tentang  bagaimana orang-orang  di Palestina tempo  dulu [dahulu] mendirikan rumah.

            “… Rumah-rumah  itu didirikan di atas dasar balok-balok batu. Tembok dibuat dari batu dengan tanah liat atau dari tanah liat yang dijemur. Atap rumah dibuat datar. Orang di Palestina memakai beberapa batang kayu untuk menggalang atap rumah. Di atas atap ditaburkan potongan-potongan kayu dan  jerami, yang ditumbuk bersama-sama sampai halus, supaya dapat rapat. Tetapi atap gampang tiris jika turun hujan lebat.  Ketika  hujan lebat di musim dingin, air hujan menempuh pagar batu (tembok rumah) sehingga menghanyutkan tanah liat, sampai rumah itu roboh pada suatu ketika. Orang lalu mengambil balok-balok batu dari runtuhan tadi, dan runtuhan tanah liat itu diratakan untuk bangunan yang baru…”  (Dr. A. Van Deursen, op.cit. hlm.41).

Berdasarkan latar belakang praksis yang digambarkan di atas inilah, penulis Injil Lukas pasal 6:46-49 mencatat ilustrasi  “dua macam dasar  bangunan rumah” yang dikemukakan oleh Yesus: (a)  dasar bangunan rumah  yang diletakkan di atas batu yang ditempatkan dalam tanah yang digali dalam-dalam [ayat 48]; (b) rumah yang didirikan di atas tanah tanpa dasar bangunan rumah  [ayat 49]. Dengan ilustrasi ini Yesus menyatakan tentang  perihal tegak dan/atau rubuhnya bangunan kehidupan setiap orang yang menyatakan mengaku percaya  akan Yesus: (a) setiap orang yang mengaku percaya akan Yesus sebagai Tuhan dan melakukan apa yang Yesus katakan, mereka terhisab ke dalam kias yang dikatakan dalam ayat 47 dan 48; (b) setiap orang yang mengaku percaya akan Yesus sebagai Tuhan tetapi tidak melakukan apa yang Yesus katakan, mereka terhisab ke dalam kias yang dikatakan dalam ayat 49.

Berkenaan dengan catatan di atas ini saya ingin mengajukan pertanyaan: mengapa para peneliti dan penulis makalah  “Yesus Kristus Fatu Putun Honis  tidak membahas  lithos  (batu) yang dimetaforakan bagi Yesus sebagai “batu utama; batu yang terpenting, atau batu yang paling penting dalam suatu bangunan”?  Mengapa   petra (batu; batu karang), dan  kephalē gōnias (a corner stone = batu penjuru; batu yang paling utama; kepala sudut), yang  dimetaforakan bagi Yesus tidak dikaji?  Bukankah dalam Perjanjian Baru  lithos, petra, dan kephalē gōnias yang dimetaforakan untuk Yesus terdapat dalam 1 Petrus 2:6,7; Kisah Para Rasul 4: 11; 1 Korintus 10:4, dyb.? 

Keempat, Kajian tentang “Yesus Kristus Fatu Putun Honis bagi masyarakat suku Atoni Pah Meto “ (2.4).
Landasan kristologi kontekstual untuk menyebut Yesus sebagai Fatu Putun Honis sesungguhnya terdapat dalam 1 Petrus 2: 3,4: “jikalau kamu benar-benar telah mengalami bahwa Tuhan itu baik. Datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi dipilih dan dihormati di hadirat Allah.” Dan kita yang adalah jemaat-Nya, penulis surat 1 Petrus 2:5 katakan: “Biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.” Dalam ayat 4, Yesus dimetaforakan sebagai  lithon  zōnta (batu [yang] hidup) yang oleh tim peneliti dan penulis makalah telah mengontekstualisasikannya sebagai Fatu Putun Honis,  berdasarkan model penerjemahan  dalam Uab Atoni Pah Meto. Bahkan  indahnya, kita sebagai jemaat-Nya (umat-Nya) juga dipergunakan sebagai batu hidup [lithoi zōntes] untuk pembangunan suatu rumah rohani (ayat 5).  Berpangkal pada 1 Petrus 2:3,4 dan 5, kajian dapat dihubungkan lebih lanjut dan lebih luas dengan ayat 6,7,8; Roma 9:33; 1 Korintus 10:4; Kisah Para Rasul 4:11; Matius 16:18.

Sungguh sangat disayangkan[disesalkan]: sembilan peneliti dan penulis makalah “Yesus Kristus Fatu Putun Honis  sama sekali tidak menyinggung landasan kristologi kontekstual yang saya catat di atas.

Kelima, “Gelar kepada Yesus” dan “Kesimpulan (2.5)”
Selanjutnya,  bagaimanakah dengan perberian gelar kepada Yesus sebagai  Fatu Putun Honis yang disebutkan dalam kajian butir 2.4., dan butir 2.5?  Menurut pertimbangan saya, kata gelar, tidak usah dipergunakan. Sudah takzim [amat hormat dan sopan], jika Yesus disebut: Fatu Putun Honis. Dengan demikian , bagi Atoni Pah Meto dalam lingkungan nonot aslanit GMIT  dapat menyebut Yesus sebagai Fatu Putun Honis, karena di dalam 1 Petrus 2:4  Yesus disebut batu hidup. Dan kita sebagai jemaat-Nya , nonot aslanit GMIT etnis Atoni Pah Meto, dipergunakan pula sebagai “fatu putun honis”  untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus , setidaknya dalam persekutuan jemaat di mana kita berada [GMIT]. Catatan: sebagai suatu pemuliaan dalam penulisan fatu putun honis yang disebutkan untuk Yesus, huruf awal ketiga kata itu ditulis dengan huruf besar, Fatu Putun Honis; sedangkan bagi kita [jemaat-Nya] ditulis dengan huruf kecil, fatu putun honis. Sama halnya dengan kata anak bagi Yesus ditulis dengan huruf  A [besar] pada kata Anak Allah, sedangkan bagi setiap orang yang percaya kepada Yesus, penulisannya dengan huruf  a [kecil]  pada kata anak Allah. Akan tetapi jika ditulis dengan huruf kecil, fatu putun honis, bagi Yesus, tidak apa-apa.

Landasan teologis dan/atau kristologis berkenaan dengan penyebutan Yesus sebagai Fatu Putun Honis sangat jelas terdapat dalam kitab Perjanjian Baru. Dan untuk berteologi dan/atau berkristologi tentang Yesus sebagai Fatu Putun Honis, diperlukan keahlian dan keterampilan: bukan saja keahlian dalam bidang teologi yang komprehensif, melainkan juga pengetahuan kebudayaan yang mendalam, pengetahuan bahasa yang baik dan benar, serta keterampilan berbahasa untuk mewedarkan Yesus sebagai Fatu Putun Honis  secara baik dan benar pula. Dan menurut pertimbangan saya, penyebutan Yesus sebagai Fatu Putun Honis jauh lebih benar dari pada penyebutan Yesus sebagai Tiang Induk  yang didesain oleh Dr. B. Fobia (baca makalah saya, “Percaya Pada Allah Dalam Konteks NTT”. Kupang, 2004).



4. Bab IV Yesus Pohon Lontar Kehidupan
Sebenarnya, kristologi dalam budaya masyarakat etnis Rote juga sangat tepat jika Yesus disebut sebagai Batu Hidup. Dalam bahasa etnis Rote Ringgou, Batu Hidup   disebut Batu Masoda. Dan setelah berdiskusi dengan Drs. Herman Ebenhard Lay, maka kami sepakat untuk menyebut Yesus sebagai Batu Hidup, atau Yesus Batu Masoda. Latar belakang budaya yang menjadi dasarnya dapat saya uraikan  berdasarkan syair etnis Rote yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut:

1.  “Pada zaman dahulu atau pada masa yang silam/ orang-orang [di atas] masih tinggal dalam gua/ dan manusia [di bawah] masih menghuni dalam lubang batu./ Namun  pada suatu saat tertentu atau suatu waktu yang pasti/ orang-orang mulai berpikir membangun rumah tempat berteduh/ dan manusia bercita-cita mendirikan rumah tempat bernaung.” (SASTRA LISAN ROTE [halaman 78,195]. Disusun oleh: S. J. Mbuik; Tarno; Peter Manggut; A. Zacharias; Lanu Huandau. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Nusa Tenggara Timur Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1985). Dalam syair ini disebutkan tentang  gua  dan lubang batu sebagai tempat bernaung dan berlindung, sebelum  masyarakat etnis Rote mengenal dan mendirikan  rumah.

2. Ketika masyarakat etnis Rote sudah dapat membangun rumah untuk tinggal, bernaung, berlindung di dalamnya, rumah itu dipagari keliling dengan suatu pagar batu karang  yang kuat  yang berfungsi sebagai kubu pertahanan.  Pada masa lampau, suku-suku di Rote saling berperang. Oleh suatu sebab yang kecil saja sudah dapat menimbulkan perang yang dilakukan dengan gigih selama bertahun-tahun. Dalam keadaan demikian, siapakah yang aman dalam rumahnya sendiri? Dengan demikian, pagar sekitar rumah yang dibuat dari batu-batu karang yang disusun berlapis-lapis sehingga tebal, berfungsi sebagai kubu perlindungan atau kubu pertahanan yang dapat menahan musuh (F.H. van de Wetering. HET ROTENEESCHE HUIS, Hlm.20,21. [tahun penerbitan tidak jelas, namun Wetering bertugas di Rote pada tahun 1921, 1923-1925]). Pada perkembangan kemudian, pagar rumah dibuat dari dahan atau cabang kayu dan pelepah pohon lontar yang berfungsi  melindungi rumah dari gangguan ternak. Akan tetapi pada awalnya, pagar yang terbuat dari susunan batu berlapis-lapis yang diutamakan sebagai benteng atau kubu perlindungan.

3. Dalam buku SASTRA LISAN ROTE (Hlm. 149,185), dikatakan bahwa pada masa lampau masyarakat Rote belum melakukan penguburan orang mati dalam tanah yang digali. Pada masa itu, jasad orang mati hanya ditaruh di atas pohon ka dan/atau pohon beu. Perkembangan selanjutnya, masyarakat etnis Rote ketika masih kafir [dinitiu] mulai menguburkan jenazah dalam tanah, namun jenazah tidak ditaruh di dalam peti, melainkan hanya diletakkan saja di dalam lubang yang digali, lalu menimbun batu di atas kuburan. Ketika F.H. van de Wetering bertugas di Rote (1921; 1923-1925), ia menanyai orang-orang kafir, mengapa mereka hanya menimbun batu di atas kuburan, jawaban yang ia peroleh: “agar babi tidak menggali tanah kuburan itu.” (op.cit. hlm.21). Jawaban yang diterima oleh van de Wetering itu sesuai dengan syair yang dituturkan dalam buku SASTRA LISAN ROTE (Hlm.181) sebagai berikut: “… hingga matahari condong di pohon dupe/ yakni saatnya menguburkan jenazah/ dan sampai surya sembunyi di balik pohon kayu putih/ yakni waktunya menguburkan mayat// Mereka menimbun batu penutup mayat/ agar babi tidak mencungkilnya/ dan mereka menutup tulangnya/ agar ayam tidak mengaisnya/ lalu mereka membuat batu tempat duduk/ dan membuat kayu tempat bersandar.”  Di samping itu, ada keluarga Rote yang menguburkan mayat di bawah rumah pada kedalaman satu sampai dua meter (De Clercq. Serba-serbi mengenai Pulau Rote. Ambon, 20 November 1878, hlm.4).

 Dalam tulisan, “Asal-Usul Orang Rote” (Hlm.4), F.H. van de Wetering juga mencatat bahwa pada masa lampau “… orang belum mengenal kebiasaan menguburkan mayat di dalam tanah, tetapi meletakkannya begitu saja di pohon-pohon”. Dalam perkembangan kemudian, baru timbullah keinsafan untuk menguburkan orang mati. Dalam buku SASTRA LISAN ROTE (Hlm.186,187), dikisahkan bahwa keinsafan untuk menguburkan orang mati muncul ketika “mane Koli Oe Bo mati dengan waktunya Ndule/ dan tatkala mane Lepa Langa Sa  meninggal dengan saatnya Medi.// Maka orang berkata dan berbincang:/ apa sebab yang menyebabkan akibat/ sehingga kepiting punya tempurung kepiting/ yang kalau tengkurap masih dengan rumahnya/ sehingga tidak tersengat terik matahari/ dan tidak tersiram embun//  Tetapi raga kepiting manusia yang tengkurap kita taruh di pohon beu/ dan tubuh orang yang terlentang ditaruh di pohon ka/ padahal tubuh udang yang terlentang masih berlindung di bawah tempurungnya?”  

Berdasarkan keinsafan itu, “… mereka bermufakat dan bersepakat/ membuat penggalan pohon kelapa dan membuat potongan pohon lontar/ maka dibuatnyalah tempat tinggal rangka kepiting/ buat tertelungkupnya mane Lepa Langa Sa/ dan dibikinnya tempat berlindungnya tubuh udang/ bagi terlentangnya mane Koli Oe Bo.// Dan pada waktu matahari condong di atas pohon dupe/ mereka memasukkan jenazah mane Lepa Langa Sa ke dalam peti mati/ dan ketika sang surya bersembunyi di balik pohon kayu putih/ dikuburkannya mayat mane Koli Oe Bo ke dalam kubur tanah.”  Demikianlah kisah asal mula masyarakat etnis Rote melakukan penguburan orang mati yang ditaruh di dalam peti jenazah dan dikuburkan ke dalam tanah. Dan selanjutnya, dalam buku  SASTRA LISAN ROTE  (Hlm.187) dituturkan bahwa: “Dari saat itu, dibuatnyalah peti jenazah dari pohon lontar/ sehingga jenazah manusia dipetikan/ dan semenjak itu dibikinlah kubur tanah/ sehingga mayat manusia dikuburkan.// Lalu peti jenazah meluas seluas ladang seputar Lote/ dan kubur tanah memanjang sepanjang pematang sawah seluruh Kale/ sehingga tidak lagi ada yang meletakkan jenazah pada pohon  beu di Lote/ dan tidak lagi ada yang menaruh mayat pada pohon  ka di Kale/ sejak  hari itu sampai sekarang ini.”  Menurut catatan F.H. van de Wetering, kuburan-kuburan ini dibangun oleh mereka yang telah menjadi Kristen (op.cit. hlm.21).

Berdasarkan latar belakang budaya masyarakat etnis Rote yang mengandalkan batu sebagai kubu pertahanan, kubu perlindungan dalam menghadapi ancaman atau bahaya, maka  masyarakat etnis Rote yang beragama Kristen (GMIT) memiliki hak setara dengan jemaat Perjanjian Baru untuk menyebut Yesus sebagai Batu Hidup, yang dalam bahasa etnis Rote (Ringgou) disebut Batu Masoda; dan juga Yesus sebagai Batu Penjuru,  yang dalam bahasa etnis Rote Ringgou disebut Batu Natende.  Dan bersama-sama dengan jemaat kristen segala abad, dan dari berbagai bangsa, ras, dan suku bangsa, jemaat GMIT etnis Rote sangat layak menyanyikan pujian kepada Yesus yang adalah Batu Hidup bagi umat Kristen segala abad: “Batu Karang yang teguh, Kau tempat kuberteduh”. Dan, “Bila tiba saatnya/ kutinggalkan dunia/ dan Kaupanggil diriku/ ke hadapan takhta-Mu,/ Batu Karang yang teguh,/ Kau tempatku berteduh.” (Kidung Jemaat No.37a, ayat 1 dan 4); atau menyanyikan Kidung Jemaat No.440 [Yesus, Gunung Batu di dunia], dan Kidung Jemaat No.252 [Yesus, Batu Penjuru G’reja].

4. Apakah pohon lontar yang dipandang sebagai pohon kehidupan masyarakat etnis Rote tidak dapat dimetaforakan terhadap Yesus, sehingga Yesus disebut Pohon Lontar Kehidupan? Berkenaan dengan kristologi dalam budaya masyarakat Rote yang dilakukan oleh Benyamin Kanuk dan Diana A.C. Messakh, yang telah memunculkan sebutan terhadap Yesus [sebagai] Pohon Lontar Kehidupan (hlm.37-61), saya dapat memberikan beberapa catatan  berkenaan dengan latar belakang budaya masyarakat etnis Rote terkait dengan pohon lontar sebagai berikut.

4.1. Tinjauan ke masa lampau: Benar, hampir semua kebutuhan penduduk primitif etnis Rote pada masa lampau dipenuhi oleh pohon lontar. Sebab itu tidak mengherankan bahwa mereka sangat menaruh hormat pada pohon lontar yang agung ini. Mereka memuji dan mempersembahkan korban pada pohon lontar, seolah-olah “ia adalah suatu makhluk yang adikuasa” (Joh. Hessing. “Pos Timor” No.50, hlm.109-111, dikutip oleh F.H. van de Wetering, dalam Het Roteneesche Huis, hlm.3). Perlu dicatat bahwa penduduk primitif yang animistik di pulau Rote pada masa lampau, memiliki kepercayaan bukan kepada adanya satu Allah yang mahakuasa pencipta langit dan bumi dan segala isinya, melainkan percaya kepada ilah-ilah yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai/muara sungai, samudera atau lautan, gunung, hutan, tanah, dsb). Ilah yang menguasai tanah namanya Nengo Dae; ilah yang mendiami hutan disebut nitu nula; ilah pohon fuliha’a yang kuat untuk dijadikan tiang induk [tiang utama] rumah adat Rote namanya bere-bere muri; ilah pelindung yang menguasai tiang induk atau tiang utama yang dipancangkan dalam membangun rumah adat Rote namanya Elu tokos yang harus diperciki darah kambing, atau darah induk babi hitam; ilah tanah tempat rumah adat didirikan namanya daE labela; ilah penjaga dapur namanya Seseka Liun dan Lalae Sain; ilah pelindung batu tungku di dapur namanya Rao akilou; ilah yang menjaga tangga rumah adat Rote ada tiga, yaitu: Honda DaE [ilah penghentak kaki, yang menjaga agar tangga tetap terikat pada tanah], Soi Lai [ilah pembuka bagian atas yang mengawasi tiang pintu], Nale Bula [ilah pemohon keberuntungan, pemberi segala keberuntungan, yang selalu memohon keberuntungan], Fe Hai [ilah yang membawa keberuntungan, kelimpahan gula lontar, kelimpahan makanan, dan pemberi kekayaan], Eso Bula dan Oru Lai [ilah yang menghilangkan dan menjauhkan bahaya, supaya jangan terjadi kecelakaan]. Dan ilah yang memerintah kerajaan laut adalah Mane Tua Sain dan Langga Lena Liun (F.H. van de Wetering, Asal-Usul Orang Rote, hlm. 5). Dan De Clercq dalam tulisannya, “Serba-serbi mengenai Pulau Rote” (hlm.3), menyebutkan ilah yang mendiami pohon lontar yaitu Mantualain. Sebutan Mantualain berasal dari  Mane Tua Lain, yang berarti “laki-laki di atas pohon tuak [lontar]”. Laki-laki di atas pohon lontar, ialah laki-laki yang menyadap lontar. Laki-laki inilah yang disanjung, karena keuletannya memanjat pohon lontar, sebanyak [sekurang-kurangnya] lima belas sampai dua puluh pohon lontar yang disadapnya setiap pagi dan petang, di mana hasil sadapannya serta-merta dapat dikonsumsi dan mengenyangkan semua anggota keluarga. Oleh karena Mantualain sebagaimana dijelaskan di atas ini yang menguasai pohon lontar [yang menjadi raja di atas pohon lontar], maka ia disebut Lamatua atau Ramatua, yang artinya “pemilik”. Tua[k] ia ramatua-na maten so [artinya, pemilik pohon lontar ini telah mati].  Pada masa lampau, pemilik pohon lontar setiap saat memberikan sembahan kepada ilah pelindung yang bernama  Eso Bula atau Oru Lai agar memperoleh tenaga ekstra untuk memanjat pohon-pohon lontar yang disadap setiap pagi dan petang, dan agar terhindar dari kecelakaan [jatuh dari pohon lontar].

Ketika agama kristen mulai berkembang di Rote, ALLAH yang diajarkan oleh agama kristen serta-merta disebut Mane Tua[k] Lain; Lamatua[k] Lain; atau Ramatua[k] Lain. Kemudian, ketika J.C.G. Jonker melakukan penelitian bahasa dan cerita rakyat di Rote pada awal tahun 1900 kemudian menyusun kamus besar berjudul Rottineesch-Holandsch woordenboek. Leiden. E.J. Brill, 1908 dan Rottineesche sprakkunst. Leiden. E.J. Brill, 1915 [kedua buku ini telah saya baca: pertama, pada tahun 1965 dipinjamkan oleh Pastor Koning di Baa, Rote; kedua, pada tahun 1969 dipinjamkan oleh Pater Frans Lachner di Baa, Rote], barulah Jonker memperkenalkan sebutan Lamatuak lain-a ma dae-a untuk menyebut ALLAH sebagai Penguasa Langit dan Bumi.

Berdasarkan latar belakang kepercayaan masyarakat etnis Rote terhadap pohon lontar sebagaimana disebutkan di atas ini maka—dalam kaitannya dengan tokoh Yesus yang disaksikan dalam kitab Perjanjian Baru—tidak terdapat landasan yang memadai dan kuat untuk mengontekstualisasikan Yesus sebagai Pohon Lontar Kehidupan baik berdasarkan model penerjemahan, dan model semiotik, maupun menurut model pembebasan, dan model metafora.

4.2. Tinjauan atas makna Pohon Lontar sebagai Pohon Kehidupan bagi orang Rote.
Pada butir 4.1 di atas telah dikatakan bahwa hampir semua kebutuhan penduduk primitif etnis Rote pada masa lampau dipenuhi oleh pohon lontar. Akan tetapi patut dicatat bahwa pohon lontar bukan satu-satunya. Untuk membangun rumah tradisional, bukan semua bahan bangunan berasal dari pohon lontar. Tiang-tiang utama [apakah terdiri dari 2,4,6, atau 8 tiang] sebagai tumpuan berdirinya rumah bukan dari pohon lontar, melainkan dari pohon kayu besi [bahasa Rote, ai fuliha’a] yang kayunya keras, berat, sangat awet dan tidak dapat dimakan anai-anai. Atap rumah bukan melulu dari daun pohon lontar, melainkan juga dari daun pohon gewang dan rumput alang-alang.

Nira lontar dapat langsung diminum dan mengenyangkan. Nira lontar yang telah diproses menjadi gula lontar cair dapat disimpan sebagai bahan makanan di dalam kendi atau periuk tanah liat untuk jangka waktu yang lama. Akan tetapi sebagai bahan makanan, nira atau campuran gula lontar cair  dengan air [bahasa Rote, tua hopo] yang diminum, pasangannya ialah: sayur-sayuran (daun kelor, daun ubi, daun papaya), hasil dari laut antara lain udang, kepiting, kerang, siput, ikan, dan pado kecil [sejenis gurita, yaitu hewan laut, termasuk golongan hewan lunak] yang diolah untuk dimakan bersama-sama dengan nira atau tua hopo yang diminum.

Di samping pohon lontar yang menghasilkan nira dan gula lontar, masyarakat etnis Rote juga adalah masyarakat petani yang bercocok tanam. Sejak tempo dulu, masyarakat petani di Rote mengenal sembilan jenis tanaman pangan yang disebut Lakamola anan sio, yaitu: padi, jawawut [ bahasa Rote, betek], jagung, jagung Rote [sorghum vulgare], kacang turis, kacang panjang, kacang hijau, labu, dan wijen [bijan, atau sesam]. Selain itu, dalam tulisan berjudul, Serba-Serbi Mengenai Pulau Rote [1878, hlm.27], De Clercq menyebutkan bahwa masyarakat petani Rote sudah mengenal dan bercocok tanam beberapa jenis padi, yaitu: padi Sabu, padi Eko Era, padi Mangkasar, padi Bugis, padi Baekui, padi Anekase, padi Enggris, padi OEkoa, padi Mitak, dan padi pulut Mangkasar. Dengan demikian, sembilan jenis tanaman pangan yang disebut Lakamola anan sio adalah juga benih-benih tanaman kehidupan yang setara dengan pohon lontar yang disebut pohon lontar kehidupan. Bahkan, sayur-sayuran (daun kelor, daun ubi, daun pepaya), termasuk kepiting, udang, ikan, kerang, siput dan pado kecil  yang dimasak untuk dimakan sebagai pengantar minum nira atau tua hopo, adalah juga pangan kehidupan masyarakat Rote.

Berdasarkan analisis dan pertimbangan-pertimbangan di atas ini maka saya dapat katakan bahwa Benyamin Kanuk dan Diana A.C. Messakh telah melakukan suatu kajian kristologi  dalam budaya masyarakat Rote yang diskriminatif: pohon lontar diapresiasi setinggi-tingginya sebagai pohon kehidupan, lalu  Yesus dimetaforakan sebagai pohon lontar kehidupan,  padahal, realitas faktual, benih-benih tanaman pangan yang dijunjung oleh masyarakat Rote dengan sebutan Lakamola anan sio, pada hakikatnya setara dengan pohon lontar, bahkan sayur-sayuran daun kelor, daun ubi, daun papaya; kepiting, udang, ikan, kerang, siput dan pado kecil pun setara sebagai teman pengantar makan bersama nira dan tua hopo yang diminum.

5. Yesus Kenari Kehidupan
Victor Arnol dan Petrus Niron telah berkristologi dalam budaya masyarakat Alor, dan lahirlah sebutan dan/atau pengakuan: Yesus Kenari Kehidupan. Sama dan sebangun dengan kristologi dalam budaya masyarakat etnis Rote yang dilakukan oleh Benyamin Kanuk dan Diana A.C. Messakh: Yesus Pohon Lontar Kehidupan.

Sebelum agama Kristen berkembang di Alor, di sana [di pesisir Alor] sudah ada agama Islam, yang disebut sebagai pengikut nabi Muhammad. Sudah ada upaya dari para pengikut Muhammad untuk memperkenalkan agama Islam kepada orang-orang Alor yang disebut penduduk pegunungan pulau Alor, akan tetapi mereka tidak ingin menjadi Islam. Kampung-kampung di pegunungan Alor adalah pusat kultus kekafiran yang menyimpan banyak misteri. Di sanalah Injil Yesus Kristus diberitakan oleh para pemberita Injil.

Wilayah pegunungan di Alor sangat unik. Para pemberita Injil Yesus Kristus harus mendaki punggung bukit-bukit yang terjal. Di atas gunung ada sebuah kampung yang besar. Beberapa ribu orang kafir tinggal di sana. Kepada mereka Injil diwartakan. Mereka menerima Yesus; menyerahkan berhala-berhala mereka untuk dibakar; lalu mereka dibaptis.

Para pendeta dan/atau pekabar Injil tidak takut dan gentar membawa kabar keselamatan yaitu Injil Yesus Kristus kepada orang-orang Alor di pegunungan, karena mereka yakin dan bersandar pada Yesus yang adalah “Gunung Batu di dunia/ tempat berlindung yang teguh” [ Kidung Jemaat 440]; karena mereka yakin bahwa “Yesus adalah Batu Karang yang teguh/ tempat berteduh bagi setiap orang percaya” [Kidung Jemaat No.37];  karena mereka yakin bahwa “Yesus adalah Batu Penjuru Gereja” [Kidung Jemaat No.252]  bagi orang-orang pegunungan di Alor yang telah berimankan Yesus, yang telah dibaptis dalam nama Yesus, dan oleh karena itu serta-merta menjadi warga gereja Kristus.

Ya, karena orang-orang Alor di pegunungan telah meninggalkan kekafiran termasuk berhala-berhala mereka dan telah datang kepada Yesus yang adalah batu yang hidup itu [1 Petrus 2:4], maka orang-orang Alor di pegunungan yang telah menerima Yesus, dipergunakan juga oleh Yesus [Kepala Gereja] sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus… [1 Petrus 2:5].

Berdasarkan latar belakang pertemuan Injil Yesus Kristus dalam konteks kehidupan orang-orang Alor dan budayanya di pegunungan pulau Alor sebagaimana diuraikan secara garis besar di atas, maka sepantasnyalah Yesus disebut Batu Karang Kehidupan yang teguh; atau Yesus adalah Gunung Batu Kehidupan tempat perlindungan; atau Yesus adalah Batu Yang Hidup: Batu Penjuru.

Catatan penutup
Oleh karena saya sedang memfokuskan perhatian dan pandangan dalam kontemplasi untuk menanggapi paham Dr. Ioanes Rakhmat [seorang agnostik dan freethinker] yang telah menista ALLAH dan Yesus Kristus yang saya imani, maka saya tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencermati kristologi dalam budaya masyarakat etnis Sabu yang melahirkan pengakuan, Yesus Mone Ama Yang Sejati; dan kristologi dalam budaya masyarakat etnis Sumba yang melahirkan pengakuan, Yesus Sebagai Ibu-Bapa Segala Sesuatu.
Sebagai seorang warga GMIT saya hanya mau mengatakan: Gereja Masehi Injili di Timor [GMIT] tidak berada di sebuah pulau terpencil di samudra luas, melainkan berada dalam konteks yang dikelilingi oleh agama-agama lain yang bukan kristen dan juga agama-agama kristen denominasi lain. Karena itu, GMIT di dalam berteologi dan/atau berkristologi dalam konteks budaya, jangan asal-asalan; jangan hanya ingin memenuhi pencapaian target visi-misi yang sempit dan dangkal; jangan sampai mendiskreditkan keagungan dan kewibawaan ALLAH  dan Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja..

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar