Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Sabtu, 24 Februari 2018

Tentang Mukjizat dan Pengalaman Spiritual: Tanggapan terhadap Ioanes Rakhmat Bagian III Gamma



 
Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

Pengalaman spiritual pertama
PADA hari Sabtu, 6 Desember 2014 di gedung kebaktian Jemaat Imanuel Oepura, Kupang, dilakukan suatu acara bedah buku, AKAL BUDI & HATI NURANI, karya Pdt. Samuel Hakh. Samuel Hakh bergelar doktor teologi, dan menjadi dosen bidang Perjanjian Baru di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Saya menghadiri acara bedah buku tersebut, dan duduk bersampingan dengan teman saya, Pdt [Emeritus] ABE Poli, M.Th. Sementara menunggu dimulainya acara bedah buku, saya beli dua eksemplar buku dari panitia penyelenggara. Satu buku saya berikan kepada Pdt. ABE Poli [selanjutnya akan  saya sapa, ABE Poli]. Dan ABE Poli segera membuka buku tersebut, melihat daftar isi, kemudian membaca bagian-bagian tertentu dari buku itu, sementara saya masih memperhatikan dan membaca daftar isi. Ketika memperhatikan dan membaca Bab I, bagian A, yang berjudul “Akal Budi”, dengan tiga butir pokok bahasan, yaitu: 1. Pengertian Akal Budi; 2. Nous dalam dunia Yunani; dan 3. Pemakaian istilah nous dalam Alkitab; tiba-tiba saya mendengar suara bergema dalam kalbu saya begini: “bukalah buku yang kaupegang itu, dan baca uraian yang tertulis pada halaman delapan belas. Camkan baik-baik! Engkau akan menemukan kesalahan dan kekurangan paling fatal pada halaman tersebut. Pertanyakanlah secara langsung kepada penulis buku mengenai kesalahan dan kekurangan paling fatal yang kautemukan itu pada saat acara tanya-jawab nanti. Sesungguhnya, ada banyak kesalahan dan ketidakcermatan uraian pada halaman-halaman lain dalam buku tersebut. Namun pada kesempatan acara ini, cukuplah kaupertanyakan  kesalahan dan kekurangan yang terdapat pada halaman delapan belas itu.”  Demikianlah  suara yang saya dengar bergema dalam kalbu saya.

Segera saya buka halaman delapan belas dan mencermati uraian yang tertulis di situ. Ternyata benar, ada kesalahan dan kekurangan  yang fatal pada halaman tersebut. Saya langsung bertanya kepada ABE Poli, apakah ia sudah memperoleh sesuatu untuk dijadikan bahan percakapan pada acara tanya-jawab sebentar. ABE Poli katakan bahwa ia belum menemukan sesuatu, lalu saya katakan bahwa saya telah menemukan suatu kesalahan dan kekurangan  fatal yang akan saya kemukakan dalam acara tanya jawab nanti. ABE Poli langsung bertanya kepada saya: kesalahan dan kekurangan fatal tentang apa ? Saya katakan pada ABE Poli: bacalah dan cermatilah uraian pada halaman delapan belas. ABE Poli langsung membuka halaman delapan belas, dan setelah membaca beberapa saat kemudian, ABE Poli bertanya: kesalahan dan kekurangan yang dimaksudkan itu pada bagian mana?  Saya katakan: perhatikan dan camkan alinea ketiga. Di situ tertulis:  “Pertama, nous dapat berarti: akal budi atau pikiran…..[dst.]”  Kalau ada bagian “pertama”, sudah tentu ada bagian “kedua, ketiga, dan keempat”, dan mungkin kelima. Yang akan saya tanyakan nanti ialah: di mana uraian bagian kedua, ketiga, atau keempat, dan seterusnya? Jikalau nous saja yang diuraikan, mengapa harus disebut sebagai uraian bagian, “pertama”…?  ABE Poli bertanya: “Jadi, menurut bu [dialek Kupang, yang artinya abang], masih ada uraian lebih lanjut yang terlangkaui oleh penulis buku?”
“Ya. Sebentar, baru saya singkapkan dalam acara tanya-jawab.”  Begitulah jawab saya secara singkat kepada ABE Poli, karena acara bedah buku segera dimulai.
Ketika selesai acara bedah buku yang dilakukan oleh empat orang pembedah buku, yaitu:   Esthon Foenay dari sudut pandang politik; John C. Nelson dari sudut pandang teologi; J. Salean dari sudut pandang pendidikan; dan Sofia Malelak de Haan dari sudut pandang pelaku  politik, maka moderator membuka acara tanya-jawab termin pertama. Ada lima orang penanya pada termin pertama, termasuk saya. Pada waktu saya diberi kesempatan bertanya dan/atau menyampaikan tanggapan atas isi buku Akal Budi & Hati Nurani, saya langsung  mengatakan secara tegas kepada Pdt. Dr. Samuel Hakh sebagai penulis buku, sebagai berikut:  “Buku yang berisi tujuh bab ini terdapat banyak kekurangan. Namun kekurangan dan kesalahan yang sangat fatal terdapat pada halaman delapan belas. Pada alinea ketiga tertulis begini: Pertama, nous dapat berarti: akal budi, atau pikiran…… [baca saja penjelasan selanjutnya sampai alinea pertama pada halaman sembilan belas]. Pertanyaan saya ialah, di mana bagian kedua, ketiga, dan keempat dengan uraian selengkapnya? Bukankah apabila dikatakan, pertama, maka niscaya ada kedua, ketiga, keempat…, atau kelima, dan seterusnya? Bukankah dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani—di samping kata [saya tulis transkripsinya]: nous, noos, noi, noun, yang dapat berarti pikiran, akal, akal budi, nalar—terdapat pula kata dialogismos yang juga berarti pikiran, akal; dianoēma, dianoēmatos yang berarti pikiran; dianoia, dianoias yang berarti pengertian, hati, akal budi? Bukankah dalam Matius 22:37; Markus 12:30 dan Lukas 10:27 Yesus mempergunakan kata dianoia yang berarti akal budi, ketika Ia berkata: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budi-mu…? Dengan demikian, di manakah uraian atau penjelasan tentang kata-kata bahasa Yunani yang saya sebutkan itu? Saya sarankan agar [alangkah baiknya] buku Akal Budi & Hati Nurani yang sudah terlanjur diedarkan dan/atau dipasarkan, dan yang dibedah pada hari ini, ditarik dari peredaran untuk direvisi, demi menegakkan integritas dan/atau kewibawaan penulis buku.”

Apa yang saya kemukakan di atas ini bukan mukjizat [sesuai konsep sains modern yang diimani oleh Ioanes Rakhmat]. Namun fakta ini: dalam seketika saja saya dapat menunjukkan kesalahan dan kekurangan yang fatal dari sebuah buku yang belum saya baca [yang ditulis oleh seorang yang bergelar doktor, dosen bidang Perjanjian Baru di STT Jakarta, yang membahas makna istilah nous menurut Perjanjian Baru bahasa Yunani]. Hanya berdasarkan suara [yang menuntun saya] dan nous [daya batin untuk mengetahui atau mengerti sesuatu tanpa berpikir atau belajar] yang saya terima sebagai suatu karunia dari ALLAH yang saya imani di dalam Yesus Kristus, saya dapat menunjukkan kesalahan dan kekurangan sebuah buku yang mengagetkan dan kemudian diakui oleh pengarang buku itu sendiri. Apakah realitas faktual ini bukan merupakan suatu  mukjizat dan suatu pengalaman spiritual yang menakjubkan?

Pengalaman spiritual selanjutnya yang akan dikisahkan di bawah ini bukan pengalaman spiritual saya, melainkan pengalaman spiritual ABE Poli yang ia kisahkan setelah selesai seluruh acara bedah buku Akal Budi & Hati Nurani yang berlangsung di gedung kebaktian Jemaat Imanuel Oepura, Kupang. ABE Poli meminta kesediaan panitia acara bedah buku pada saat itu agar ia dapat mengisahkan pengalaman spiritual yang dialaminya sebagai suatu pergulatan spiritual, ketika ia menjalani proses operasi kanker ganas usus besar pada tahun 2007. Ketika ABE Poli mengisahkan pergulatan dan pengalaman spiritualnya, semua peserta acara bedah buku pada saat itu hanya melongo dan melotot saja. Kepada Pdt. ABE Poli, M.Th., saya minta kesaksiannya secara tertulis sebagaimana saya turunkan di bawah ini.

Pergulatan Spiritual
Sesuai permintaan teman saya (Sdr. A. G. Hadzarmawit Netti, penulis buku: Kristen Dalam Sastra Indonesia, terbitan BPK Gunung Mulia Jakarta, 1977), maka berikut ini saya tuliskan perjalanan dan sekaligus pergulatan spiritual saya ketika menjalani perawatan medis di RS PGI Cikini – Jakarta.

Seperti diketahui, mengalami serangan penyakit kanker ganas usus besar selama bertahun-tahun sulit dilukiskan deritanya yang dialami dalam senyap kesadaran serta gelap pengetahuan karena tak diketahui sebelumnya (tak terdeteksi) oleh pemeriksaan medis yang dilakukan oleh sejumlah dokter spesialis, baik di Kupang, khususnya ketika menjalankan tugas sebagai Pendeta di GMIT—Jemaat Shalom Kupang (1997-2005) kemudian bolak-balik Bogor--Jakarta--Kupang (2006-2007). Akhirnya, justru secara tak terduga terdeteksi oleh seorang dokter (radiologi) di Kupang. Puncak penderitaan yang saya alami adalah pada bulan Mei sampai dengan Juni 2007. Inilah bulan-bulan yang menurut saya adalah bentangan waktu pergulatan yang tidak saja secara fisik tapi juga mental: perjuangan antara hidup atau mati.

Sebagai hamba TUHAN tentu sudah terbiasa menghibur, menguatkan serta berdoa bagi orang-orang sakit, tapi sekarang saatnya saya belajar menghibur dan menguatkan diri lewat pergumulan doa saya. Tidak mudah, memang. Tapi tidak berarti harus putus asa dan menyerah. Tidak terkatakan serta tidak pula tertahankan sakitnya, tentu. Namun, apa sebenarnya yang terjadi dalam perut saya tak terjawab. Diduga sakit lambung, diberikan obat sakit lambung; begitu seterusnya, obat diresepkan sesuai dugaan dokter, dan ternyata tidak mempan. Saya pun ikut mengira-ngira. Sebuah durikah sebagai utusan setan, kalau boleh meminjam ungkapan rasul Paulus, yang mengaduk-aduk dan mengoyak-ngoyak di kedalaman perut saya? Di sinilah peranan besar keluarga serta istri, anak dan menantu serta cucu, dan lain-lain yang berempati merupakan keunikan obat lain dalam iman, pengharapan dan kasih. Sebab dalam iman, kita melihat penyertaan TUHAN lebih dalam. Sedang dalam pengharapan, kita melihat lebih jauh kepedulian yang dirancang TUHAN bagi kita. Lalu dalam kasih, apa yang kita lihat? Jawab saya: Melihat SEMUANYA ! Melihat mahakarya Yesus yang disebut Kristus: Firman yang telah menjadi manusia dan disalibkan ganti kita.

Ya. Dalam derita saya, Yesus adalah SEMUANYA! Sebab, Ia telah terlebih dahulu memberikan apa yang saya perlukan,  yakni kehadiran Anak Allah yang tidak butuh untuk didoakan bahkan dengan dan di dalam kasih-Nya yang begitu besar telah mendoakan dan menyelamatkan saya melalui penderitaan serta kematian-Nya di kayu salib. Itulah kekuatan penghiburan yang saya yakini, dan sekaligus merasakan bagaimana penderitaan yang saya alami tidak membawa saya ke dalam pencobaan keputus-asaan dengan kejahatan menyangkal Dia, tetapi sebaliknya kehidupan yang kekal telah boleh saya alami kembali pada hari ini, di situ, dalam derita pada waktu itu.

Singkat cerita, peristiwa tragis ini dimulai pada suatu mala di Bukit Horgen, Sikumana – Kupang. Karena tak tertahankan lagi, saya pun meminta istri saya berdoa: “doa penyerahan”, agar kalau boleh Sang Bapa mengakhiri hidup saya. Sambil menangis ia berdoa tapi bukannya doa yang saya minta melainkan yang ia mohonkan: “Ya Bapa, kami masih membutuhkan hamba-Mu, tetapi kalau Engkau mau mengambilnya, kami mohon, persiapkan kami supaya kami kuat untuk menghadapinya. Amin.” Luar biasa! Saya masih bisa bertahan! Esoknya saya segera dibawa ke rumah sakit. Seperti yang telah disebutkan, kuat dugaan ada “sesuatu” dalam usus besar saya. Segera dirujuk ke RS Abdi Waluyo di Jakarta. Beberapa hari kemudian baru kami bisa berangkat dan segera dibawa ke RS yang dimaksud. Saat itu, seingat saya hari Kamis, tanggal 5 Juli 2007. Di sini, dengan peralatan yang serba canggih, kepastian diperoleh. Tanpa sepengetahuan saya, istri saya dipanggil dokter. Begini percakapan mereka yang kemudian diceritakan kepada saya. “Rupanya,” kata dokter memulai percakapan. “Sesuatu itu adalah tumor,” lanjut dokter. “Tapi tumor ada yang jinak, ada juga yang ganas, dok.”  kata istri saya, tak sabar. Sesaat suasana sepi. Namun, dengan suara pelan tapi pasti sang dokter menjawab. “Sepertinya, ganas!” Bayangkan! Sekali lagi, ganas!

Esoknya, atas saran dari dokter yang telah memastikan kebenaran dugaan penyakit yang saya derita, saya pun dipersiapkan untuk dioperasi di RS PGI Cikini Jakarta., dan sesuai dengan kesepakatan, yaitu hari Senin, 9 Juli 2007 jam 12 siang tindakan untuk mengangkat biang penyakit tersebut dilakukan. Sehari sebelumnya, kepada istri saya dan adik perempuannya, saya menanyakan, apakah kalian siap menghadapi keadaan terburuk dari tindakan tim dokter ? “Siap,” jawab keduanya serempak. Pengakuan yang tidak dibuat-buat dan terus terang, saya agak kaget juga. Kalau mereka berdua yang merupakan orang terdekat saya sudah mengatakan seperti itu, berarti saya harus lebih siap dari mereka. Ternyata, diketahui kemudian, malamnya keduanya menangis berpelukan. Keduanya menangis karena bergulat dengan jawaban “siap” tersebut. Memang itu cuma sebuah kata, tapi sekaligus ia adalah seluruhnya, yakni keutuhan hubungan persaudaraan yang menyaudara dan memanusia apalagi selaku keluarga. Jadi sebenarnya kata tersebut telah keluar dari pikiran yang menyatu dengan perasaan mereka tanpa meninggalkan mereka. Itu berarti yang siap bukanlah kata siap tapi diri mereka. Atau kata siap yang berbasis kasih telah ada bersama-sama mereka dan selalu menjadi mereka dalam dimensi ruang …………………………………..dan……………………. …………………………waktu……………………………………………………………………………………………………?!?!?!?!?!?!?!

Apa arti tanda-tanda baca ini? Sebagai manusia yang terikat oleh dimensi ruang dan waktu tentu saya harus bergumul dan bergulat di situ. Berjuang sebisanya karena ini sebuah operasi besar. Saat itu pukul 09.00 WIB  tanggal 9 Juli 2007, persiapan diri yang dipertegas dengan berserah diri. Sebelum dibawa ke ruang penentuan, saya bertanya kepada dokter bedah sekaligus kepala tim dokter yaitu Dr. Arnold Simanjuntak: “Dok, maaf dokter, bagaimana kans hidup saya?”, “maksud saya, tingkat keberhasilannya”. Ramah dan lembut tapi juga pasti ia menjawab: “fifty-fifty!” dan sambil menunjuk ke atas ia katakan dengan yakin “selebihnya serahkan kepada TUHAN!”. Jawab saya “Terima kasih, dokter!”, kata saya, dan dengan senyum, ia pergi meninggalkan saya yang terus terngiang-ngiang dengan ucapan “fifty-fifty”. Ya, masih ada kemungkinan hidup betapapun kecil. Andaikan sebaliknya pun, saya harus tetap lebih siap. Masih lebih baik bersiap dari pada tanpa persiapan sama sekali. Begitulah seharusnya kita bersikap, kita yang telah diselamatkan oleh Yang berkuasa di dunia dan di akhirat, yaitu Tuhan Yesus Kristus yang akan datang kembali untuk menghakimi semua orang yang percaya mau pun yang tidak percaya kepada-Nya.

Kondisi fisik saya semakin menurun apalagi setelah saya menelan obat yang salah diberikan suster. Kaki saya membengkak dan mengeras perlahan-lahan menuju ke perut. Saya tidak bisa menggerakkan tubuh saya. Leher saya sesaat seperti tercekik dan hampir-hampir tak bisa bernapas. Juga tak bisa membuka mulut untuk minta tolong teman saya yang lagi duduk berdoa di samping saya. Dalam keadaan tidak berdaya terasa ada yang aneh di sekujur tubuh saya. Beruntung saya masih sadar dan  berpikir jernih.  Yang aneh tersebut menurut saya adalah “roh saya yang sementara keluar meninggalkan tubuh saya”. Segera saya pastikan bahwa saya lagi mendekati ajal. Saya masih sempat memikirkan istri saya yang disarankan pulang beristirahat di penginapan oleh teman saya karena sudah terlalu lelah dan kurang tidur. Juga masih terpikir anak serta cucu dan menantu. Dalam waktu yang sangat singkat tersebut, saya pun berdoa “Ya Bapa, ampunilah saya, dan terimalah roh saya. Amin!” Saya merasa “roh saya digerakkan dan diterbangkan” oleh suatu “kuasa” yang tidak kelihatan dengan kecepatan tak terhingga menembus dimensi ruang dan waktu serta dengan sukacita yang luar biasa. “Saya” tidak bisa melawan apalagi bergulat dengan “kuasa” tersebut. “Saya” sama sekali tidak bisa melihat “Dia” yang membawa saya atau pun TUHAN atau malaikat. Sekali lagi saya tidak berjumpa dengan yang disebut TUHAN. Namun sukacita merasakan dan mengalami kemuliaan-Nya sudah lebih dari cukup. “Saya” bisa berada di jarak yang “dekat” dengan tubuh saya dari “jauh”. Memandang ke atas atau ke bawah sama saja. Semuanya tak bertepi. Singulariskah alam semesta ini? Tidak tahu ! Tidak bisa diterangkan ! Saya hanya menikmati saja dalam ketakjuban ! Dalam puji-pujian ! Barangkali karya agung Haendel “Haleluya Besar” cocok untuk kekaguman “saya”.
“Saya” pun tak berhasrat untuk kembali. Tetapi entah mengapa “Kuasa” tersebut membawa saya pulang dengan cara tadi yakni dengan “diterbangkan”. Setelah dekat dengan tubuh “saya”, pelan-pelan tapi pasti “saya” masuk kembali ke tubuh “saya”! kedua kaki saya tidak lagi membengkak dan pelan-pelan bisa bergerak lagi. Saya tetap penuh dengan sukacita meskipun tubuh saya masih lemah. Saat itu terlihat istri saya masuk. Tepat pukul 18.00 WIB (jam 6 sore) waktu bumi. Pergi dan pulang cuma sesaat  tapi waktu bumi lima jam !

Pengalaman dekat ajal dengan judul Pergulatan Spiritual menekankan ketidakmampuan saya untuk melawan apalagi bergulat dengan “kuasa” yang tak terlawankan. Jadi yang bergulat bukanlah saya yang sama sekali tidak berdaya tapi pikiran saya yang meronta dan tak ingin “sesuatu” yang sementara keluar dari seluruh tubuh saya begitu pelan-pelan pergi. Namun pikiran pun tentu tidak berdaya terhadap “kuasa” yang menyatu dengan “sesuatu” yang sementara keluar meninggal(kan) tubuh saya. Saat-saat yang genting tersebut dalam ketidakberdayaan, seperti yang saya kemukakan sebelumnya, saya pun memastikan bahwa “sesuatu” itu adalah kematian yang lagi terjadi. Begitulah dalam sekejap “saya” pun “digerakkan” dan “diterbangkan” oleh “Kuasa” yang tak terlihat dan yang menakjubkan serta dengan kecepatan yang tak terhingga. Penuh sukacita! Tak terjelaskan ! Nikmati saja! “Sang Pembawa” “saya” yang serba misterius itu sama sekali tidak berbicara dengan saya. “Nikmati saja perjalan spiritual tersebut,”  begitu pikiran saya. Cuma sekejap menembus ruang dan waktu sekejap itu pula “saya” kembali memenuhi tubuh “saya” pada pukul 18.00 WIB (jam 6 sore), waktu bumi, tepatnya, Senin, tanggal 16 Juli 2007. Jadi, apa itu ajal atau kematian? Apa itu mujizat?    

 Telah saya kisahkan secara singkat pengalaman dekat ajal di mana roh saya meninggal(kan) saya (tubuh saya). Jadi ketika peristiwa itu terjadi maka itu berarti saya telah “meninggal” atau “mati”. Boleh saya katakan berdasarkan pengalaman pribadi yang bersifat spiritual ini, kematian terjadi saat roh seseorang meninggalkan tubuhnya. Kita tahu sewaktu Tuhan Yesus akan meninggal saat disalibkan, Ia berkata: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu, Kuserahkan nyawa-Ku”. Saat itu juga Ia mati. Nyawa-Nya atau Roh-Nya tidak lagi menyatu dengan tubuh-Nya. Yang mati adalah tubuh kemanusiaan-Nya. Nyawa-Nya atau Roh-Nya segera menyatu dengan Allah yang Ia sapa Bapa karena Ia berasal dari Allah yang adalah Roh. Mengapa saya beri tanda petik pada kata “mati” untuk peristiwa saya ? karena hal tersebut berlangsung dalam sekejap walau waktu bumi adalah 5 jam. Itu adalah misteri. Juga karena saya mengalami dalam kesadaran penuh terhadap faktor keberadaan diri saya dalam “kedirian” yang bagaimanakah? Lalu bagaimana pula logika atau nalar menerangkan hal ini?

Dalam sembilan tahun terakhir ini saya sering merenungkan hal yang diliputi misteri yang memberikan sukacita sekaligus memberikan kekuatan spiritual bagi saya. Ini pun bagi saya merupakan mujizat tersendiri. Mengalami perjumpaan dengan suatu “kekuatan” pemberi kehidupan yang meskipun tak terlihat oleh saya tapi sudah sangat menambah wawasan tentang cara berbeda lewat kehadiran-Nya yang unik dan menakjubkan tersebut! ….***
           
Demikianlah pergulatan dan pengalaman spriritual Pdt. ABE Poli, M.Th., ketika menjalani operasi kanker ganas usus besar pada bulan Juli 2007. Dan kini, tahun 2016, ABE Poli masih diperkenankan oleh ALLAH yang ABE Poli imani di dalam Yesus Kristus untuk menjalani kehidupan normal dalam usia 72 tahun bersama istri, anak-anak, dan cucu-cucu.

Pengalaman spiritual ketiga
Di bawah ini akan saya turunkan pengalaman spiritual yang dialami oleh seorang purnawirawan Polri bernama Markus Reinnamah, S.H.; lahir pada 6 Mei 1948. Ia menjadi Polisi pada 14 Februari 1970, bertugas di Polda Provinsi NTT, dan pensiun dengan pangkat Mayor Polisi pada 1 Juni 2004. Ketika sedang aktif menjalankan tugas kepolisian, ia terpanggil untuk menjadi Penatua di Jemaat Imanuel Oepura, Kupang [denominasi Gereja Masehi Injili di Timor] masa pelayanan 1983-1987 dan 1987-1991. Dalam jabatannya sebagai seorang anggota Polisi, ia dipindahkan ke kota Atambua, Belu pada tahun 1991. Di Atambua ia terpilih menjadi Penatua di Jemaat Polycarpus [denominasi Gereja Masehi Injili di Timor]pada tahun 1992 sampai tahun 2000, karena tugaskan kepolisian, pada tahun 2000 ia dipindahkan kembali ke Kupang. Di Kupang ia terpilih lagi menjadi Penatua di Jemaat Imanuel Oepura Kupang pada tahun 2001—2005. Pada tahun 2005, Rayon 18 Jemaat Imanuel Oepura dijadikan Pos Kebaktian menuju terbentuknya suatu Jemaat yang disebut Jemaat Gunung Sinai Naikolan. Karena ia seorang sarjana hukum, maka kira-kira setahun atau dua tahun setelah pensiun, ia menempuh ujian Advokat. Ia lulus ujian, dilantik menjadi Advokat, dan melaksanakan tugas advokasi di Pengadilan Negeri Kupang.  Di samping itu, ia juga aktif melayani jemaat sebagai seorang penatua: pada tahun 1983 menjadi Penatua di Jemaat Imanuel Oepura, Kupang; kemudian menjadi Penatua di Jemaat Gunung Sinai Naikolan, Kupang (denominasi Gereja Masehi Injili di Timor [GMIT]) hingga kini, tahun 2016. Dengan demikian, ia telah menjalankan tugas pelayanan sebagai seorang Penatua selama hampir 30 tahun. Berikut ini, pengalaman spiritual yang dikisahkan  oleh Markus Reinnamah, S.H.

“Pada tahun 1974, suatu malam, kira-kira pukul 01.00 – 03.00 dini hari, saya keluar dari rumah untuk ke kamar kecil. Ketika kembali ke rumah, di depan pintu, tiba-tiba suatu cahaya terpancar dari lukisan Yesus bermahkota duri yang saya pajang pada dinding rumah bagian tengah. Cahaya yang terpancar ke arah wajah saya sangat menyilaukan mata. Saya berusaha untuk mengelakkan muka ke kiri dan ke kanan, tetapi cahaya itu tetap menyoroti wajah saya. Saya terpaksa berdiri di tempat beberapa menit seraya menutupi wajah dengan kedua telapak tangan, kemudian  saya masuk ke rumah, langsung ke kamar tidur. Setelah berada di kamar tidur saya duduk dan berdoa berkenaan dengan pancaran cahaya menyilaukan mata yang saya lihat tadi. Setelah selesai berdoa saya keluar dari kamar tidur untuk melihat lukisan Yesus bermahkota duri yang terpajang pada dinding rumah bagian tengah itu. Ternyata, tidak ada lagi cahaya. Saya lalu masuk ke kamar dan tidur. “

“Berikut, berselang beberapa waktu kemudian, pada suatu malam, ketika tidur, saya bermimpi melihat iblis bertubuh manusia tetapi berkepala babi datang dari pekuburan. Iblis itu berjalan ke arah saya, seolah-olah hendak menantang dan/atau mencobai saya. Saya langsung menghardik iblis itu dalam nama Tuhan Yesus namun iblis itu tetap maju ke arah saya. Akhirnya, dengan penuh semangat dan kepastian iman, saya menghardik iblis itu dalam nama Tuhan Yesus sebanyak tiga kali, sehingga iblis itu pergi meninggalkan saya.”

“Berkenaan dengan dua pengalaman di atas, sekitar lima tahun lamanya saya belum dapat memahami maknanya. Akan tetapi saya terus bergumul dan bertanya-tanya di dalam hati mengenai makna tersembunyi dari pengalaman melihat cahaya menyilaukan mata yang terpancar dari lukisan Yesus bermahkota duri itu, dan juga tentang mimpi melihat iblis bertubuh manusia tetapi berkepala babi.”

“Pada tahun 1980, ketika saya kembali ke Kupang setelah selesai mengikuti Pendidikan Sekolah Calon Bintara Polri di Singaradja, barulah saya mulai merasakan suatu dorongan  dalam benak saya. Ada kerinduan yang berkembang di benak saya untuk menekuni doa dan membaca Alkitab. Lalu saya mulai bergabung dengan kelompok Persekutuan Doa pada setiap hari Rabu malam. Di samping melaksanakan tugas kedinasan setiap hari sebagai seorang anggota Polri, saya senantiasa rindu untuk bergabung dengan kelompok Persekutuan Doa pada setiap hari Rabu malam. Pada waktu itu saya sedang mengidap penyakit dada. Upaya penyembuhan oleh dokter dan perawat di Rumah Sakit di Kupang telah saya lakukan berulang kali namun tidak mengalami kesembuhan. Akhirnya, hanya dengan melalui pelayanan doa yang dilakukan oleh hamba Tuhan dalam kelompok Persekutuan Doa, saya mengalami kesembuhan. Penyakit di dada saya hilang sejak tahun 1980 hingga sekarang [tahun 2016].”

“Lantaran ketekunan dan penyerahan diri sepenuhnya dalam aktivitas kelompok Persekutuan Doa, maka saya memperoleh karunia untuk menyembuhkan orang yang menderita sakit hanya melalui berdoa dan berpuasa. Karena perkenanan Tuhan, seorang yang sakit gila (kerasukan setan) bernama David Abineno dapat disembuhkan hanya melalui berdoa dan berpuasa. Saya membentuk suatu Persekutuan Doa yang saya namai Persekutuan Doa Roti Hidup di rumah saya guna melakukan pelayanan doa bagi orang-orang yang sakit. Orang-orang yang mengalami sakit berat, Tuhan berkenan memberikan kesembuhan hanya lewat doa, sekali pun orang sakit itu tidak dapat datang menghadiri persekutuan doa untuk kesembuhannya di rumah saya. Seorang ibu bernama Nelci Pasutan [bidan di Rumah Sakit Umum Kupang] yang menderita penyakit asma kronis, mengalami kesembuhan permanen hanya dengan berdoa. Pada tahun 1983, ibu Nelci Pasutan ini pernah diangkat ke angkasa oleh kuasa roh kegelapan dan diterbangkan ke lokasi pekuburan umum di Mapoli dan Kapadala, Kupang. Dan berselang 15 atau 20 menit kemudian barulah ia diturunkan kembali di atas sebatang pohon kapuk di belakang rumahnya di Hubibi, Naikolan, Kupang. Peristiwa ini dilihat dan disaksikan oleh keluarga ibu Nelci Pasutan, dan dituturkan kepada saya yang pergi untuk mendoakan ibu Nelci Pasutan yang sakit.” Apakah peristiwa ibu Nelci Pasutan diangkat ke angkasa oleh kuasa roh kegelapan dan diterbangkan ke lokasi pekuburan umum di Mapoli dan Kapadala Kupang bukan merupakan mukjizat? Jikalau penguasa kegelapan bisa membuat mukjizat, mengapa ALLAH yang Mahakuasa yang saya imani di dalam Yesus Kritus tidak bisa membuat mukjizat?

“Demikian pula seorang ibu yang dipanggil Ibu Rupiasa, penyakit asma konisnya sembuh permanen hanya melalui doa. Seorang anggota Persekutuan Doa mengalami kerasukan roh jahat sampai menelanjangi dirinya jika tidak diawasi oleh keluarganya. Orang ini dapat disembuhkan secara permanen hanya melalui doa, dan kini orang tersebut telah menjadi seorang Penginjil. Seorang Ibu Guru di Atambua, Belu yang mengalami sakit perdarahan dapat disembuhkan secara permanen hanya melalui doa dan penumpangan tangan di atas kepalanya.”

“Berkenaan dengan semua realitas faktual penyembuhan orang-orang sakit hanya melalui berdoa dan berpuasa sebagaimana dikemukakan di atas, saya menyadari sedalam-dalamnya bahwa ALLAH dengan perantaraan Yesus Kristus dan kuasa Roh Kudus telah memberikan kepada saya karunia untuk menyembuhkan orang sakit, dan mengusir roh-roh jahat yang merasuki tubuh manusia. Dan karunia yang saya peroleh ini adalah merupakan penggenapan dan kegenapan atas peristiwa penglihatan yang saya alami pada tahun 1974, yaitu cahaya yang menyilaukan mata yang terpancar dari Lukisan Yesus bermahkota duri. Dan juga merupakan suatu penggenapan dan kegenapan berkenaan dengan mimpi tentang iblis bertubuh manusia tetapi berkepala babi yang berhasil saya enyahkan dengan hardikan dalam nama Tuhan Yesus, sebagaimana telah saya kemukakan di bagian awal kesaksian tentang pengalaman spiritual yang saya alami.”

Demikianlah pengalaman spiritual yang dialami oleh Markus Reinnamah, S.H., seorang purnawirawan Polri, yang juga berprofesi sebagai Advokat, dan seorang Penatua yang sekarang ini sedang menjalankan tugas kepenatuaan di Jemaat Gunung Sinai Naikolan, Kupang [denominasi Gereja Masehi Injili di Timor]. ***

1 komentar:

  1. Can I win a slot machine at a casino? - TrickToAction
    How To Win a Slot Machine Slot Game: 바다이야기 사이트 Here's what 토토 사이트 홍보 the pros 유출 픽 of slot machines 벳 페어 know and love about 스포츠 토토 배트맨 넷마블 the slot game, and their rules.

    BalasHapus