Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Pengalaman spiritual pertama
PADA
hari Sabtu, 6 Desember 2014 di gedung kebaktian Jemaat Imanuel Oepura, Kupang,
dilakukan suatu acara bedah buku, AKAL
BUDI & HATI NURANI, karya Pdt. Samuel Hakh. Samuel Hakh bergelar doktor
teologi, dan menjadi dosen bidang Perjanjian Baru di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Saya menghadiri acara bedah buku tersebut, dan duduk bersampingan dengan teman
saya, Pdt [Emeritus] ABE Poli, M.Th. Sementara menunggu dimulainya acara bedah
buku, saya beli dua eksemplar buku dari panitia penyelenggara. Satu buku saya
berikan kepada Pdt. ABE Poli [selanjutnya akan
saya sapa, ABE Poli]. Dan ABE Poli segera membuka buku tersebut, melihat
daftar isi, kemudian membaca bagian-bagian tertentu dari buku itu, sementara
saya masih memperhatikan dan membaca daftar isi. Ketika memperhatikan dan
membaca Bab I, bagian A, yang berjudul “Akal Budi”, dengan tiga butir pokok
bahasan, yaitu: 1. Pengertian Akal Budi; 2. Nous
dalam dunia Yunani; dan 3. Pemakaian istilah nous dalam Alkitab; tiba-tiba saya mendengar suara bergema dalam kalbu
saya begini: “bukalah buku yang kaupegang itu, dan baca uraian yang tertulis
pada halaman delapan belas. Camkan baik-baik! Engkau akan menemukan kesalahan dan
kekurangan paling fatal pada halaman tersebut. Pertanyakanlah secara langsung
kepada penulis buku mengenai kesalahan dan kekurangan paling fatal yang kautemukan
itu pada saat acara tanya-jawab nanti. Sesungguhnya, ada banyak kesalahan dan
ketidakcermatan uraian pada halaman-halaman lain dalam buku tersebut. Namun
pada kesempatan acara ini, cukuplah kaupertanyakan kesalahan dan kekurangan yang terdapat pada
halaman delapan belas itu.” Demikianlah suara yang saya dengar bergema dalam
kalbu saya.
Segera
saya buka halaman delapan belas dan mencermati uraian yang tertulis di situ. Ternyata
benar, ada kesalahan dan kekurangan yang
fatal pada halaman tersebut. Saya langsung bertanya kepada ABE Poli, apakah ia
sudah memperoleh sesuatu untuk dijadikan bahan percakapan pada acara
tanya-jawab sebentar. ABE Poli katakan bahwa ia belum menemukan sesuatu, lalu
saya katakan bahwa saya telah menemukan suatu kesalahan dan kekurangan fatal yang akan saya kemukakan dalam acara
tanya jawab nanti. ABE Poli langsung bertanya kepada saya: kesalahan dan kekurangan
fatal tentang apa ? Saya katakan pada ABE Poli: bacalah dan cermatilah uraian
pada halaman delapan belas. ABE Poli langsung membuka halaman delapan belas,
dan setelah membaca beberapa saat kemudian, ABE Poli bertanya: kesalahan dan kekurangan
yang dimaksudkan itu pada bagian mana?
Saya katakan: perhatikan dan camkan alinea ketiga. Di situ
tertulis: “Pertama, nous dapat
berarti: akal budi atau pikiran…..[dst.]”
Kalau ada bagian “pertama”, sudah
tentu ada bagian “kedua, ketiga, dan keempat”, dan mungkin kelima. Yang akan saya tanyakan nanti
ialah: di mana uraian bagian kedua, ketiga, atau keempat, dan seterusnya?
Jikalau nous saja yang diuraikan, mengapa harus disebut sebagai uraian
bagian, “pertama”…? ABE Poli bertanya: “Jadi, menurut bu [dialek
Kupang, yang artinya abang], masih ada uraian lebih
lanjut yang terlangkaui oleh penulis buku?”
“Ya. Sebentar,
baru saya singkapkan dalam acara tanya-jawab.”
Begitulah jawab saya secara singkat kepada ABE Poli, karena acara bedah
buku segera dimulai.
Ketika
selesai acara bedah buku yang dilakukan oleh empat orang pembedah buku,
yaitu: Esthon Foenay dari sudut pandang
politik; John C. Nelson dari sudut pandang teologi; J. Salean dari sudut
pandang pendidikan; dan Sofia Malelak de Haan dari sudut pandang pelaku politik, maka moderator membuka acara
tanya-jawab termin pertama. Ada lima orang penanya pada termin pertama,
termasuk saya. Pada waktu saya diberi kesempatan bertanya dan/atau menyampaikan
tanggapan atas isi buku Akal Budi &
Hati Nurani, saya langsung
mengatakan secara tegas kepada Pdt. Dr. Samuel Hakh sebagai penulis buku,
sebagai berikut: “Buku yang berisi tujuh bab ini terdapat banyak kekurangan. Namun
kekurangan dan kesalahan yang sangat fatal terdapat pada halaman delapan belas.
Pada alinea ketiga tertulis begini: Pertama, nous dapat berarti: akal
budi, atau pikiran…… [baca saja
penjelasan selanjutnya sampai alinea pertama pada halaman sembilan belas].
Pertanyaan saya ialah, di mana bagian kedua, ketiga, dan keempat dengan uraian
selengkapnya? Bukankah apabila dikatakan, pertama,
maka niscaya ada kedua, ketiga,
keempat…, atau kelima, dan seterusnya? Bukankah
dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani—di samping kata [saya tulis transkripsinya]:
nous, noos, noi, noun, yang dapat
berarti pikiran, akal, akal budi, nalar—terdapat pula kata dialogismos yang juga berarti pikiran, akal; dianoēma, dianoēmatos yang berarti pikiran; dianoia, dianoias yang berarti pengertian, hati, akal budi?
Bukankah dalam Matius 22:37; Markus 12:30 dan Lukas 10:27 Yesus mempergunakan
kata dianoia yang berarti akal budi, ketika Ia berkata:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan
dengan segenap akal budi-mu…? Dengan
demikian, di manakah uraian atau penjelasan tentang kata-kata bahasa Yunani
yang saya sebutkan itu? Saya sarankan agar [alangkah baiknya] buku Akal Budi & Hati Nurani yang sudah
terlanjur diedarkan dan/atau dipasarkan, dan yang dibedah pada hari ini,
ditarik dari peredaran untuk direvisi, demi menegakkan integritas dan/atau
kewibawaan penulis buku.”
Apa
yang saya kemukakan di atas ini bukan mukjizat [sesuai konsep sains modern yang
diimani oleh Ioanes Rakhmat]. Namun fakta ini: dalam seketika saja saya dapat
menunjukkan kesalahan dan kekurangan yang fatal dari sebuah buku yang belum
saya baca [yang ditulis oleh seorang yang bergelar doktor, dosen bidang
Perjanjian Baru di STT Jakarta, yang membahas makna istilah nous menurut
Perjanjian Baru bahasa Yunani]. Hanya berdasarkan suara [yang menuntun saya] dan nous [daya batin untuk
mengetahui atau mengerti sesuatu tanpa berpikir atau belajar] yang saya
terima sebagai suatu karunia dari ALLAH yang
saya imani di dalam Yesus Kristus, saya dapat menunjukkan kesalahan dan
kekurangan sebuah buku yang mengagetkan dan kemudian diakui oleh pengarang buku
itu sendiri. Apakah realitas faktual ini bukan merupakan suatu mukjizat dan suatu pengalaman spiritual yang
menakjubkan?
Pengalaman
spiritual selanjutnya yang akan dikisahkan di bawah ini bukan pengalaman
spiritual saya, melainkan pengalaman spiritual ABE Poli yang ia kisahkan setelah
selesai seluruh acara bedah buku Akal
Budi & Hati Nurani yang berlangsung di gedung kebaktian Jemaat Imanuel
Oepura, Kupang. ABE Poli meminta kesediaan panitia acara bedah buku pada saat
itu agar ia dapat mengisahkan pengalaman spiritual yang dialaminya sebagai
suatu pergulatan spiritual, ketika ia menjalani proses operasi kanker ganas
usus besar pada tahun 2007. Ketika ABE Poli mengisahkan pergulatan dan
pengalaman spiritualnya, semua peserta acara bedah buku pada saat itu hanya
melongo dan melotot saja. Kepada Pdt. ABE Poli, M.Th., saya minta kesaksiannya
secara tertulis sebagaimana saya turunkan di bawah ini.
Pergulatan
Spiritual
Sesuai
permintaan teman saya (Sdr. A. G. Hadzarmawit Netti, penulis buku: Kristen Dalam Sastra Indonesia, terbitan
BPK Gunung Mulia Jakarta, 1977), maka berikut ini saya tuliskan perjalanan dan
sekaligus pergulatan spiritual saya ketika menjalani perawatan medis di RS PGI
Cikini – Jakarta.
Seperti
diketahui, mengalami serangan penyakit kanker ganas usus besar selama
bertahun-tahun sulit dilukiskan deritanya yang dialami dalam senyap kesadaran
serta gelap pengetahuan karena tak diketahui sebelumnya (tak terdeteksi) oleh
pemeriksaan medis yang dilakukan oleh sejumlah dokter spesialis, baik di
Kupang, khususnya ketika menjalankan tugas sebagai Pendeta di GMIT—Jemaat Shalom
Kupang (1997-2005) kemudian bolak-balik Bogor--Jakarta--Kupang (2006-2007).
Akhirnya, justru secara tak terduga terdeteksi oleh seorang dokter (radiologi)
di Kupang. Puncak penderitaan yang saya alami adalah pada bulan Mei sampai
dengan Juni 2007. Inilah bulan-bulan yang menurut saya adalah bentangan waktu
pergulatan yang tidak saja secara fisik tapi juga mental: perjuangan antara
hidup atau mati.
Sebagai
hamba TUHAN tentu sudah terbiasa menghibur, menguatkan serta berdoa bagi
orang-orang sakit, tapi sekarang saatnya saya belajar menghibur dan menguatkan
diri lewat pergumulan doa saya. Tidak mudah, memang. Tapi tidak berarti harus
putus asa dan menyerah. Tidak terkatakan serta tidak pula tertahankan sakitnya,
tentu. Namun, apa sebenarnya yang terjadi dalam perut saya tak terjawab. Diduga
sakit lambung, diberikan obat sakit lambung; begitu seterusnya, obat diresepkan
sesuai dugaan dokter, dan ternyata tidak mempan. Saya pun ikut mengira-ngira. Sebuah
durikah sebagai utusan setan, kalau boleh meminjam ungkapan rasul Paulus, yang
mengaduk-aduk dan mengoyak-ngoyak di kedalaman perut saya? Di sinilah peranan
besar keluarga serta istri, anak dan menantu serta cucu, dan lain-lain yang
berempati merupakan keunikan obat lain dalam iman, pengharapan dan kasih. Sebab
dalam iman, kita melihat penyertaan TUHAN lebih dalam. Sedang dalam
pengharapan, kita melihat lebih jauh kepedulian yang dirancang TUHAN bagi kita.
Lalu dalam kasih, apa yang kita lihat? Jawab saya: Melihat SEMUANYA ! Melihat
mahakarya Yesus yang disebut Kristus: Firman yang telah menjadi manusia dan
disalibkan ganti kita.
Ya.
Dalam derita saya, Yesus adalah SEMUANYA! Sebab, Ia telah terlebih dahulu
memberikan apa yang saya perlukan, yakni
kehadiran Anak Allah yang tidak butuh untuk didoakan bahkan dengan dan di dalam
kasih-Nya yang begitu besar telah mendoakan dan menyelamatkan saya melalui
penderitaan serta kematian-Nya di kayu salib. Itulah kekuatan penghiburan yang
saya yakini, dan sekaligus merasakan bagaimana penderitaan yang saya alami
tidak membawa saya ke dalam pencobaan keputus-asaan dengan kejahatan menyangkal
Dia, tetapi sebaliknya kehidupan yang kekal telah boleh saya alami kembali pada
hari ini, di situ, dalam derita pada waktu itu.
Singkat
cerita, peristiwa tragis ini dimulai pada suatu mala di Bukit Horgen, Sikumana
– Kupang. Karena tak tertahankan lagi, saya pun meminta istri saya berdoa: “doa
penyerahan”, agar kalau boleh Sang Bapa mengakhiri hidup saya. Sambil menangis ia
berdoa tapi bukannya doa yang saya minta melainkan yang ia mohonkan: “Ya Bapa,
kami masih membutuhkan hamba-Mu, tetapi kalau Engkau mau mengambilnya, kami
mohon, persiapkan kami supaya kami kuat untuk menghadapinya. Amin.” Luar biasa!
Saya masih bisa bertahan! Esoknya saya segera dibawa ke rumah sakit. Seperti
yang telah disebutkan, kuat dugaan ada “sesuatu” dalam usus besar saya. Segera
dirujuk ke RS Abdi Waluyo di Jakarta. Beberapa hari kemudian baru kami bisa
berangkat dan segera dibawa ke RS yang dimaksud. Saat itu, seingat saya hari
Kamis, tanggal 5 Juli 2007. Di sini, dengan peralatan yang serba canggih,
kepastian diperoleh. Tanpa sepengetahuan saya, istri saya dipanggil dokter.
Begini percakapan mereka yang kemudian diceritakan kepada saya. “Rupanya,” kata
dokter memulai percakapan. “Sesuatu itu adalah tumor,” lanjut dokter. “Tapi
tumor ada yang jinak, ada juga yang ganas, dok.” kata istri saya, tak sabar. Sesaat suasana
sepi. Namun, dengan suara pelan tapi pasti sang dokter menjawab. “Sepertinya,
ganas!” Bayangkan! Sekali lagi, ganas!
Esoknya,
atas saran dari dokter yang telah memastikan kebenaran dugaan penyakit yang
saya derita, saya pun dipersiapkan untuk dioperasi di RS PGI Cikini Jakarta.,
dan sesuai dengan kesepakatan, yaitu hari Senin, 9 Juli 2007 jam 12 siang
tindakan untuk mengangkat biang penyakit tersebut dilakukan. Sehari sebelumnya,
kepada istri saya dan adik perempuannya, saya menanyakan, apakah kalian siap
menghadapi keadaan terburuk dari tindakan tim dokter ? “Siap,” jawab keduanya
serempak. Pengakuan yang tidak dibuat-buat dan terus terang, saya agak kaget
juga. Kalau mereka berdua yang merupakan orang terdekat saya sudah mengatakan
seperti itu, berarti saya harus lebih siap dari mereka. Ternyata, diketahui
kemudian, malamnya keduanya menangis berpelukan. Keduanya menangis karena
bergulat dengan jawaban “siap” tersebut. Memang itu cuma sebuah kata, tapi
sekaligus ia adalah seluruhnya, yakni keutuhan hubungan persaudaraan yang
menyaudara dan memanusia apalagi selaku keluarga. Jadi sebenarnya kata tersebut
telah keluar dari pikiran yang menyatu dengan perasaan mereka tanpa
meninggalkan mereka. Itu berarti yang siap bukanlah kata siap tapi diri mereka.
Atau kata siap yang berbasis kasih telah ada bersama-sama mereka dan selalu menjadi
mereka dalam dimensi ruang …………………………………..dan……………………. …………………………waktu……………………………………………………………………………………………………?!?!?!?!?!?!?!
Apa
arti tanda-tanda baca ini? Sebagai manusia yang terikat oleh dimensi ruang dan
waktu tentu saya harus bergumul dan bergulat di situ. Berjuang sebisanya karena
ini sebuah operasi besar. Saat itu pukul 09.00 WIB tanggal 9 Juli 2007, persiapan diri yang
dipertegas dengan berserah diri. Sebelum dibawa ke ruang penentuan, saya
bertanya kepada dokter bedah sekaligus kepala tim dokter yaitu Dr. Arnold
Simanjuntak: “Dok, maaf dokter, bagaimana kans hidup saya?”, “maksud saya,
tingkat keberhasilannya”. Ramah dan lembut tapi juga pasti ia menjawab:
“fifty-fifty!” dan sambil menunjuk ke atas ia katakan dengan yakin “selebihnya
serahkan kepada TUHAN!”. Jawab saya “Terima kasih, dokter!”, kata saya, dan
dengan senyum, ia pergi meninggalkan saya yang terus terngiang-ngiang dengan
ucapan “fifty-fifty”. Ya, masih ada kemungkinan hidup betapapun kecil. Andaikan
sebaliknya pun, saya harus tetap lebih siap. Masih lebih baik bersiap dari pada
tanpa persiapan sama sekali. Begitulah seharusnya kita bersikap, kita yang
telah diselamatkan oleh Yang berkuasa di dunia dan di akhirat, yaitu Tuhan
Yesus Kristus yang akan datang kembali untuk menghakimi semua orang yang
percaya mau pun yang tidak percaya kepada-Nya.
Kondisi
fisik saya semakin menurun apalagi setelah saya menelan obat yang salah
diberikan suster. Kaki saya membengkak dan mengeras perlahan-lahan menuju ke
perut. Saya tidak bisa menggerakkan tubuh saya. Leher saya sesaat seperti
tercekik dan hampir-hampir tak bisa bernapas. Juga tak bisa membuka mulut untuk
minta tolong teman saya yang lagi duduk berdoa di samping saya. Dalam keadaan tidak berdaya terasa ada yang
aneh di sekujur tubuh saya. Beruntung saya masih sadar dan berpikir jernih. Yang
aneh tersebut menurut saya adalah “roh saya yang sementara keluar
meninggalkan tubuh saya”. Segera saya pastikan bahwa saya lagi mendekati ajal. Saya masih sempat
memikirkan istri saya yang disarankan pulang beristirahat di penginapan oleh
teman saya karena sudah terlalu lelah dan kurang tidur. Juga masih terpikir
anak serta cucu dan menantu. Dalam waktu yang sangat singkat tersebut, saya pun berdoa “Ya Bapa, ampunilah saya,
dan terimalah roh saya. Amin!” Saya merasa “roh saya digerakkan dan
diterbangkan” oleh suatu “kuasa” yang tidak kelihatan dengan
kecepatan tak terhingga menembus dimensi ruang dan waktu serta dengan sukacita
yang luar biasa. “Saya” tidak bisa melawan apalagi bergulat
dengan “kuasa” tersebut. “Saya” sama sekali tidak bisa melihat “Dia” yang
membawa saya atau pun TUHAN atau malaikat. Sekali lagi saya tidak berjumpa
dengan yang disebut TUHAN. Namun sukacita merasakan dan mengalami kemuliaan-Nya
sudah lebih dari cukup. “Saya” bisa berada di jarak yang “dekat” dengan tubuh
saya dari “jauh”. Memandang ke atas atau ke bawah sama saja.
Semuanya tak bertepi. Singulariskah alam semesta ini? Tidak tahu ! Tidak bisa
diterangkan ! Saya hanya menikmati saja dalam ketakjuban ! Dalam puji-pujian !
Barangkali karya agung Haendel “Haleluya Besar” cocok untuk kekaguman “saya”.
“Saya”
pun tak berhasrat untuk kembali. Tetapi entah mengapa “Kuasa” tersebut membawa
saya pulang dengan cara tadi yakni dengan “diterbangkan”. Setelah dekat dengan
tubuh “saya”, pelan-pelan tapi pasti “saya” masuk kembali ke tubuh “saya”!
kedua kaki saya tidak lagi membengkak dan pelan-pelan bisa bergerak lagi. Saya
tetap penuh dengan sukacita meskipun tubuh saya masih lemah. Saat itu terlihat
istri saya masuk. Tepat pukul 18.00 WIB (jam 6 sore) waktu bumi. Pergi dan
pulang cuma sesaat tapi waktu bumi lima
jam !
Pengalaman dekat
ajal dengan judul Pergulatan Spiritual menekankan ketidakmampuan saya untuk
melawan apalagi bergulat dengan “kuasa” yang tak terlawankan. Jadi yang
bergulat bukanlah saya yang sama sekali tidak berdaya tapi pikiran saya yang
meronta dan tak ingin “sesuatu” yang sementara keluar dari seluruh tubuh saya
begitu pelan-pelan pergi. Namun pikiran pun tentu tidak berdaya terhadap
“kuasa” yang menyatu dengan “sesuatu” yang sementara keluar meninggal(kan) tubuh
saya. Saat-saat yang genting tersebut dalam ketidakberdayaan, seperti yang saya
kemukakan sebelumnya, saya pun memastikan bahwa “sesuatu” itu adalah kematian
yang lagi terjadi. Begitulah dalam sekejap “saya” pun “digerakkan” dan
“diterbangkan” oleh “Kuasa” yang tak terlihat dan yang menakjubkan serta dengan
kecepatan yang tak terhingga. Penuh sukacita! Tak terjelaskan ! Nikmati saja!
“Sang Pembawa” “saya” yang serba misterius itu sama sekali tidak berbicara
dengan saya. “Nikmati saja perjalan spiritual tersebut,” begitu pikiran saya. Cuma sekejap menembus
ruang dan waktu sekejap itu pula “saya” kembali memenuhi tubuh “saya” pada
pukul 18.00 WIB (jam 6 sore), waktu bumi, tepatnya, Senin, tanggal 16 Juli
2007. Jadi, apa itu ajal atau kematian? Apa itu mujizat?
Telah saya kisahkan secara singkat pengalaman
dekat ajal di mana roh saya meninggal(kan) saya (tubuh saya). Jadi ketika
peristiwa itu terjadi maka itu berarti saya telah “meninggal” atau “mati”.
Boleh saya katakan berdasarkan pengalaman pribadi yang bersifat spiritual ini,
kematian terjadi saat roh seseorang meninggalkan tubuhnya. Kita tahu sewaktu
Tuhan Yesus akan meninggal saat disalibkan, Ia berkata: “Ya Bapa, ke dalam
tangan-Mu, Kuserahkan nyawa-Ku”. Saat itu juga Ia mati. Nyawa-Nya atau Roh-Nya
tidak lagi menyatu dengan tubuh-Nya. Yang mati adalah tubuh kemanusiaan-Nya. Nyawa-Nya
atau Roh-Nya segera menyatu dengan Allah yang Ia sapa Bapa karena Ia berasal
dari Allah yang adalah Roh. Mengapa saya beri tanda petik pada kata “mati”
untuk peristiwa saya ? karena hal tersebut berlangsung dalam sekejap walau
waktu bumi adalah 5 jam. Itu adalah misteri. Juga karena saya mengalami dalam
kesadaran penuh terhadap faktor keberadaan diri saya dalam “kedirian” yang
bagaimanakah? Lalu bagaimana pula logika atau nalar menerangkan hal ini?
Dalam
sembilan tahun terakhir ini saya sering merenungkan hal yang diliputi misteri
yang memberikan sukacita sekaligus memberikan kekuatan spiritual bagi saya. Ini
pun bagi saya merupakan mujizat tersendiri. Mengalami perjumpaan dengan suatu
“kekuatan” pemberi kehidupan yang meskipun tak terlihat oleh saya tapi sudah
sangat menambah wawasan tentang cara berbeda lewat kehadiran-Nya yang unik dan
menakjubkan tersebut! ….***
Demikianlah
pergulatan dan pengalaman spriritual Pdt. ABE Poli, M.Th., ketika menjalani operasi
kanker ganas usus besar pada bulan Juli 2007. Dan kini, tahun 2016, ABE Poli
masih diperkenankan oleh ALLAH yang ABE Poli imani di dalam Yesus Kristus untuk
menjalani kehidupan normal dalam usia 72 tahun bersama istri, anak-anak, dan
cucu-cucu.
Pengalaman
spiritual ketiga
Di
bawah ini akan saya turunkan pengalaman spiritual yang dialami oleh seorang
purnawirawan Polri bernama Markus Reinnamah, S.H.; lahir pada 6 Mei 1948. Ia
menjadi Polisi pada 14 Februari 1970, bertugas di Polda Provinsi NTT, dan
pensiun dengan pangkat Mayor Polisi pada 1 Juni 2004. Ketika sedang aktif
menjalankan tugas kepolisian, ia terpanggil untuk menjadi Penatua di Jemaat
Imanuel Oepura, Kupang [denominasi Gereja Masehi Injili di Timor] masa
pelayanan 1983-1987 dan 1987-1991. Dalam jabatannya sebagai seorang anggota
Polisi, ia dipindahkan ke kota Atambua, Belu pada tahun 1991. Di Atambua ia
terpilih menjadi Penatua di Jemaat Polycarpus [denominasi Gereja Masehi Injili
di Timor]pada tahun 1992 sampai tahun 2000, karena tugaskan kepolisian, pada
tahun 2000 ia dipindahkan kembali ke Kupang. Di Kupang ia terpilih lagi menjadi
Penatua di Jemaat Imanuel Oepura Kupang pada tahun 2001—2005. Pada tahun 2005,
Rayon 18 Jemaat Imanuel Oepura dijadikan Pos Kebaktian menuju terbentuknya
suatu Jemaat yang disebut Jemaat Gunung Sinai Naikolan. Karena ia seorang
sarjana hukum, maka kira-kira setahun atau dua tahun setelah pensiun, ia
menempuh ujian Advokat. Ia lulus ujian, dilantik menjadi Advokat, dan
melaksanakan tugas advokasi di Pengadilan Negeri Kupang. Di samping itu, ia juga aktif melayani jemaat
sebagai seorang penatua: pada tahun 1983 menjadi Penatua di Jemaat Imanuel Oepura,
Kupang; kemudian menjadi Penatua di Jemaat Gunung Sinai Naikolan, Kupang (denominasi
Gereja Masehi Injili di Timor [GMIT]) hingga kini, tahun 2016. Dengan demikian,
ia telah menjalankan tugas pelayanan sebagai seorang Penatua selama hampir 30
tahun. Berikut ini, pengalaman spiritual yang dikisahkan oleh Markus Reinnamah, S.H.
“Pada
tahun 1974, suatu malam, kira-kira pukul 01.00 – 03.00 dini hari, saya keluar dari
rumah untuk ke kamar kecil. Ketika kembali ke rumah, di depan pintu, tiba-tiba suatu
cahaya terpancar dari lukisan Yesus
bermahkota duri yang saya pajang pada dinding rumah bagian tengah. Cahaya
yang terpancar ke arah wajah saya sangat menyilaukan mata. Saya berusaha untuk
mengelakkan muka ke kiri dan ke kanan, tetapi cahaya itu tetap menyoroti wajah
saya. Saya terpaksa berdiri di tempat beberapa menit seraya menutupi wajah
dengan kedua telapak tangan, kemudian saya
masuk ke rumah, langsung ke kamar tidur. Setelah berada di kamar tidur saya
duduk dan berdoa berkenaan dengan pancaran cahaya menyilaukan mata yang saya
lihat tadi. Setelah selesai berdoa saya keluar dari kamar tidur untuk melihat lukisan Yesus bermahkota duri yang
terpajang pada dinding rumah bagian tengah itu. Ternyata, tidak ada lagi cahaya.
Saya lalu masuk ke kamar dan tidur. “
“Berikut,
berselang beberapa waktu kemudian, pada suatu malam, ketika tidur, saya
bermimpi melihat iblis bertubuh manusia tetapi berkepala babi datang dari
pekuburan. Iblis itu berjalan ke arah saya, seolah-olah hendak menantang
dan/atau mencobai saya. Saya langsung menghardik iblis itu dalam nama Tuhan
Yesus namun iblis itu tetap maju ke arah saya. Akhirnya, dengan penuh semangat
dan kepastian iman, saya menghardik iblis itu dalam nama Tuhan Yesus sebanyak
tiga kali, sehingga iblis itu pergi meninggalkan saya.”
“Berkenaan
dengan dua pengalaman di atas, sekitar lima tahun lamanya saya belum dapat
memahami maknanya. Akan tetapi saya terus bergumul dan bertanya-tanya di dalam
hati mengenai makna tersembunyi dari pengalaman melihat cahaya menyilaukan mata
yang terpancar dari lukisan Yesus
bermahkota duri itu, dan juga tentang mimpi melihat iblis bertubuh manusia
tetapi berkepala babi.”
“Pada
tahun 1980, ketika saya kembali ke Kupang setelah selesai mengikuti Pendidikan
Sekolah Calon Bintara Polri di Singaradja, barulah saya mulai merasakan suatu
dorongan dalam benak saya. Ada kerinduan
yang berkembang di benak saya untuk menekuni doa dan membaca Alkitab. Lalu saya
mulai bergabung dengan kelompok Persekutuan Doa pada setiap hari Rabu malam. Di
samping melaksanakan tugas kedinasan setiap hari sebagai seorang anggota Polri,
saya senantiasa rindu untuk bergabung dengan kelompok Persekutuan Doa pada
setiap hari Rabu malam. Pada waktu itu saya sedang mengidap penyakit dada.
Upaya penyembuhan oleh dokter dan perawat di Rumah Sakit di Kupang telah saya lakukan
berulang kali namun tidak mengalami kesembuhan. Akhirnya, hanya dengan melalui
pelayanan doa yang dilakukan oleh hamba Tuhan dalam kelompok Persekutuan Doa,
saya mengalami kesembuhan. Penyakit di dada saya hilang sejak tahun 1980 hingga
sekarang [tahun 2016].”
“Lantaran
ketekunan dan penyerahan diri sepenuhnya dalam aktivitas kelompok Persekutuan Doa,
maka saya memperoleh karunia untuk menyembuhkan orang yang menderita sakit
hanya melalui berdoa dan berpuasa. Karena perkenanan Tuhan, seorang yang sakit
gila (kerasukan setan) bernama David Abineno dapat disembuhkan hanya melalui
berdoa dan berpuasa. Saya membentuk suatu Persekutuan Doa yang saya namai
Persekutuan Doa Roti Hidup di rumah saya guna melakukan pelayanan doa bagi
orang-orang yang sakit. Orang-orang yang mengalami sakit berat, Tuhan berkenan
memberikan kesembuhan hanya lewat doa, sekali pun orang sakit itu tidak dapat
datang menghadiri persekutuan doa untuk kesembuhannya di rumah saya. Seorang
ibu bernama Nelci Pasutan [bidan di Rumah Sakit Umum Kupang] yang menderita
penyakit asma kronis, mengalami kesembuhan permanen hanya dengan berdoa. Pada
tahun 1983, ibu Nelci Pasutan ini pernah diangkat ke angkasa oleh kuasa roh kegelapan dan diterbangkan ke
lokasi pekuburan umum di Mapoli dan Kapadala, Kupang. Dan berselang 15 atau 20
menit kemudian barulah ia diturunkan kembali di atas sebatang pohon kapuk di
belakang rumahnya di Hubibi, Naikolan, Kupang. Peristiwa ini dilihat dan
disaksikan oleh keluarga ibu Nelci Pasutan, dan dituturkan kepada saya yang
pergi untuk mendoakan ibu Nelci Pasutan yang sakit.” Apakah peristiwa ibu
Nelci Pasutan diangkat ke angkasa oleh kuasa roh kegelapan dan diterbangkan ke
lokasi pekuburan umum di Mapoli dan Kapadala Kupang bukan merupakan mukjizat?
Jikalau penguasa kegelapan bisa membuat mukjizat, mengapa ALLAH yang Mahakuasa yang saya imani di dalam Yesus Kritus tidak bisa
membuat mukjizat?
“Demikian
pula seorang ibu yang dipanggil Ibu Rupiasa, penyakit asma konisnya sembuh
permanen hanya melalui doa. Seorang anggota Persekutuan Doa mengalami kerasukan
roh jahat sampai menelanjangi dirinya jika tidak diawasi oleh keluarganya.
Orang ini dapat disembuhkan secara permanen hanya melalui doa, dan kini orang
tersebut telah menjadi seorang Penginjil. Seorang Ibu Guru di Atambua, Belu
yang mengalami sakit perdarahan dapat disembuhkan secara permanen hanya melalui
doa dan penumpangan tangan di atas kepalanya.”
“Berkenaan
dengan semua realitas faktual penyembuhan orang-orang sakit hanya melalui
berdoa dan berpuasa sebagaimana dikemukakan di atas, saya menyadari
sedalam-dalamnya bahwa ALLAH dengan perantaraan Yesus Kristus dan kuasa Roh
Kudus telah memberikan kepada saya karunia
untuk menyembuhkan orang sakit, dan mengusir roh-roh jahat yang merasuki tubuh
manusia. Dan karunia yang saya peroleh ini adalah merupakan penggenapan dan kegenapan atas peristiwa
penglihatan yang saya alami pada tahun 1974, yaitu cahaya yang menyilaukan mata yang
terpancar dari Lukisan Yesus
bermahkota duri. Dan juga merupakan suatu penggenapan dan kegenapan berkenaan dengan mimpi tentang iblis bertubuh manusia tetapi berkepala babi
yang berhasil saya enyahkan dengan hardikan dalam nama Tuhan Yesus, sebagaimana
telah saya kemukakan di bagian awal kesaksian tentang pengalaman spiritual yang
saya alami.”
Can I win a slot machine at a casino? - TrickToAction
BalasHapusHow To Win a Slot Machine Slot Game: 바다이야기 사이트 Here's what 토토 사이트 홍보 the pros 유출 픽 of slot machines 벳 페어 know and love about 스포츠 토토 배트맨 넷마블 the slot game, and their rules.