Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Februari 2018

Tentang Mukjizat Dan Pengalaman Spiritual: Tanggapan Terhadap Ioanes Rakhmat Bagian III Beta




Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


Catatan pengantar
Tanggapan bagian ketiga beta merupakan bagian tak terpisahkan dari tanggapan bagian ketiga alfa, yaitu tentang “Mukjizat dan Pengalaman Spiritual” yang tidak diakui dan/atau disangkal oleh Ioanes Rakhmat. Berikut ini saya akan kisahkan beberapa realitas faktual yang saya alami, yang tak terpisahkan dari apa yang disebut mukjizat, miracle, yang benar-benar ajaib, marvelous.

Pertama, pada bulan Juli 1961, di Kuanino, Kupang, ayah saya, Hanok Netti meninggal dunia. Kakak saya, Albinus Lodewyk Netti ketika itu sedang kuliah di STT Jakarta, dan saya baru naik kelas dua pada SMA Negeri Kupang. Ketika ayah  meninggal, saya tidak berada di rumah, karena sedang berkunjung ke rumah teman di Naikoten, yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumah saya. Kedua orang adik saya, Gretta dan Steven, mencari saya ke beberapa rumah teman untuk memberitahukan tentang kematian ayah, namun tidak berhasil menemukan saya; dan akhirnya, berdasarkan informasi dari salah seorang teman, sekitar jam 19.00 malam barulah keduanya dapat bertemu dengan saya di Naikoten. Dalam keadaan terisak-isak keduanya memberitahukan kepada saya bahwa ayah telah meninggal dunia pada sekitar jam 16.00 petang. Saya bergegas kembali ke rumah bersama Gretta dan Steven. Ketika tiba di rumah, banyak tetangga telah melayat. Ada beberapa pemuda dan bapa-bapa yang mulai mempersiapkan bahan untuk mendirikan tenda duka di halaman depan rumah. Saya segera masuk ke kamar di mana ayah terbujur diam tak bernyawa. Ibu duduk di sebuah kursi di samping tempat tidur di mana tubuh ayah terbujur. Beberapa keluarga dan tetangga juga ada di situ. Ibu menitikkan air mata kesedihannya ketika melihat saya masuk ke kamar. 

Ketika itu, saya tidak yakin bahwa ayah meninggal. Saya langsung katakan kepada ibu, dan juga kepada ibu-ibu yang berada di kamar itu agar sudi keluar sejenak. “Mama…, keluar sebentar, mama. Biar, Lief bersama papa di kamar ini. Lief yakin papa belum mati. Papa hanya tidur saja…” (catatan: Lief, adalah nama panggilan saya dalam keluarga, singkatkan dari Godlief). Ibu saya dan beberapa ibu lainnya yang ada di kamar segera keluar. Saya langsung menutup pintu kamar, kemudian berdiri di samping tempat tidur dan menatap tubuh ayah yang terbujur. “Tuhan…, mengapa ini harus terjadi…! Mengapa Tuhan begitu cepat panggil pulang ayah ke alam baka, ketika saya masih duduk di bangku SMA; ketika kakak masih kuliah di STT Jakarta; ketika kedua orang adik masih butuh  kehadiran dan pengayoman ayah; ketika ibu yang sakit-sakitan batuk bercampur darah masih sangat mengharapkan perhatian dan pertolongan ayah sebagai satu-satunya pencari nafkah dan penanggung biaya hidup…?” Demikianlah kata-kata yang terlintas dalam pikiran saya; demikianlah pergumulan yang memenuhi benak saya. Kata-kata itu berulang-ulang kali tercetus dari lubuk hati, ketika saya terpaku menatap tubuh ayah yang terbujur diam di tempat tidur, dalam keadaan tidak bernapas, jantung tidak berdetak, dan sekujur tubuh pun sudah mendingin.

Lewat tengah malam, tiba-tiba saya melihat ibu jari kaki kiri ayah bergerak-gerak. Saya meraba ibu jari kaki ayah yang bergerak-gerak itu, dan terasa ada kehangatan. Kemudian, kaki kiri dan kaki kanan ayah bergerak, kehangatan terasa pada kedua kakinya; setelah itu, paha, perut, dada dan kepala ayah terasa hangat; dan selang beberapa lama kemudian, ayah membuka mata pelan-pelan, melihat ke samping kiri dan kanan. Saya menyapa ayah pelan-pelan dan ayah membalas sapaan saya dengan menyebut nama saya. Saya pun berseru kegirangan: “Papa hidup…! Papa hidup…! Mama.., Papa hidup…!”

Mendengar seruan saya demikian, ibu saya, dan ibu-ibu tetangga yang duduk di ruang depan, dan juga beberapa kaum bapa bergegas masuk ke kamar. Ayah minta minum karena haus. Ibu segera mengambilkan air minum dalam sebuah gelas berukuran besar untuk ayah. Dan setelah selesai minum, sekujur tubuh ayah berkeringat. Saya mengambil handuk kecil untuk melap keringat di wajah ayah. Kemudian, ayah bertanya: “Lief…, itu tuan masih ada…?” “Tuan siapa, papa?” “Itu tuan seperti pastor pakai jubah putih yang datang jemput, dan antar pulang papa…!” “Tidak ada tuan siapa-siapa papa. Tidak ada tuan pastor…”  Demikianlah percakapan singkat antara ayah dengan saya. Ibu saya, dan beberapa ibu dan bapa yang berada di dalam kamar heran mendengar pertanyaan ayah tentang seorang tuan yang telah datang menjemput dan mengantarnya pulang ke rumah. Setelah menarik napas pelan-pelan beberapa saat, ayah mulai bercerita:  “Tadi, ada seorang tuan pakai jubah putih seperti pastor, datang dengan oto putih, dan berlabuh di jalan raya depan rumah. Tuan itu datang jemput papa untuk pergi ke tempat jauh. Papa dan tuan itu naik oto putih; setelah itu, oto putih itu meluncur di jalan raya, kemudian terangkat naik ke angkasa seperti pesawat terbang. Tuan itu mengantar papa ke suatu tempat yang megah seperti di istana, lalu papa diperhadapkan kepada seorang tuan besar. Tuan besar itu geleng-geleng kepala sambil berkata: O…, bukan Hanok ini yang dipanggil. Bukan Hanok ini. Hanok yang lain! Ayo, bawa kembali Hanok ini ke tempatnya. Lalu, tuan pastor itu antar kembali papa dengan oto putih itu, berlabuh di jalan raya di depan rumah. Setelah itu, tuan pastor itu antar papa sampai di dalam kamar ini…!” 

Demikianlah kisah realitas faktual dan pengalaman spiritual yang ayah saya alami pada tahun 1961 berkenaan dengan kematian yang dialaminya selama hampir sembilan jam, setelah itu hidup kembali. Demikianlah realitas faktual yang saya saksikan dan juga alami, yang pada gilirannya menjadi suatu pengalaman spiritual bagi saya. Pertanyaannya ialah: apakah realitas faktual yang ayah saya alami itu bukan sebuah mukjizat? Bukan suatu miracle? Ayah saya mati, tidak bernapas, jantung tidak berdetak selama hampir sembilan jam, sekujur tubuh pun sudah mendingin, akan tetapi ternyata hidup kembali! Apakah itu bukan suatu mukjizat, atau miracle? Bukan suatu event yang mengajaibkan? Bukan suatu event yang marvelous? Bukan suatu pengalaman spiritual yang luar biasa?

Patut saya catat di sini bahwa pengalaman spiritual yang dikisahkan oleh ayah saya setelah ia hidup kembali itu bukan pengalaman yang disebut “near-death experiences”, bukan pengalaman mendekati kematian, melainkan “pengalaman yang dialami pada waktu kematian terjadi dan/atau sudah berlaku selama hampir sembilan jam, yang diceritakan sesudah hidup kembali”. Perlu diketahui bahwa sesudah realitas faktual itu terjadi pada tahun 1961, ayah saya terus menjalani kehidupan normalnya sampai meninggal pada bulan Desember 1975.

Kedua, pada tanggal 7 April 1970 malam, di Baa, Kecamatan Rote Tengah (pada waktu itu), istri saya (Maria Magdalena Nge (selanjutnya akan saya sapa, Maria) mengalami lahir mati prematur (sebelum waktunya; belum cukup bulan). Janin mati dalam kandungan, ketika usia janin enam bulan; dan pada bulan ketujuh barulah terjadi lahir mati prematur. Pada waktu itu saya memimpin sebuah sekolah teknik di Baa, dan Maria (seorang guru sekolah dasar yang berijazah SGB) mengikuti pendidikan setara SPG. Dengan demikian, selama sebulan lebih, antara Maret sampai 7 April 1970, Maria bertugas dan berjalan ke mana-mana dengan menanggung janin yang telah mati di dalam kandungan. Guna mengawetkan janin yang sudah mati dalam kandungan agar tidak membusuk, setiap hari Maria minum air kelapa muda tiga kali: pada pagi, siang dan petang. Tetapi di atas semua upaya itu, sesungguhnya pemeliharaan dan perlindungan ALLAH yang terutama dan yang menentukan.

Di Baa pada waktu itu tidak ada dokter; yang ada hanyalah seorang perawat senior. Hendak berlayar ke Kupang untuk memperoleh bantuan perawatan dan/atau persalinan di rumah sakit, sangat sulit dan tidak mungkin, karena pada waktu itu angin bertiup kencang pada bulan Februari sampai April. Tidak ada perahu yang belayar dalam keadaan alam yang tidak ramah seperti itu, apalagi antara Pulau Rote dan Kupang belum ada kapal laut yang beroperasi secara tetap. Dengan demikian, saya dan Maria hanya berserah kepada ALLAH yang kami imani di dalam Yesus Kristus.

Pada tanggal 7 April 1970 malam, setelah selesai makan malam, Maria merasa kesakitan yang tidak lazim di kandungannya. Saya langsung memperoleh firasat bahwa pada malam itu Maria akan melahirkan janin yang telah mati dalam kandungannya itu. Saya segera mengajak Maria untuk pergi ke rumah salah satu keluarga  bernama Abia Seran yang tinggal di  Letelangga, agar jika terjadi proses kelahiran, bisa diperoleh pertolongan seperlunya dari keluarga. Setibanya di rumah keluarga, saya langsung menghubungi perawat senior yang bertugas di klinik Baa, akan tetapi ia sedang menjalani masa cutinya di Kupang. Saya langsung mencari dukun beranak, seorang perempuan lanjut usia yang biasa dipanggil, mama Koamesah, yang sudah berpengalaman menolong perempuan melahirkan. Ibu-ibu tetangga dan kenalan yang mendengar kabar tentang Maria akan melahirkan pada malam itu pun berdatangan di rumah Abia Seran.

Sekitar jam 21.00 malam waktu setempat, rasa sakit di kandungan yang dialami Maria semakin meningkat, dan frekuensinya konstan. Di kamar depan, Maria berbaring di sebuah dipan, saya duduk di samping kanan dipan dekat kepalanya agar ia dapat bergantung di tengkuk saya; sementara dukun beranak duduk di dekat pinggulnya. Proses melahirkan janin yang telah mati dalam kandungan sungguh berat. Saya terus membisikkan ke telinga Maria untuk memusatkan hati dan pikirannya kepada Yesus, Tuhan dan Juruselamat.

Sungguh, luar biasa! Maria tidak pernah mengerang! Maria tidak mendesah! Maria bergantung di tengkuk saya dan terus melakukan kontraksi perutnya agar janin yang sudah mati dapat keluar. Keadaan ini sangat sulit, dan menegangkan. Sekitar jam 12 tengah malam, tiba-tiba kaki kanan janin keluar. Dukun beranak kaget dan beteriak: “aduh! Anak sudah mati dalam kandungan..! Kaki kanan sudah keluar, tetapi sudah biru lebam…!” Ibu-ibu tetangga yang hadir, kaget semuanya. Mereka berseru: “Ya, Tuhan Yesus.., tolong.., Tuhan..!” Dukun beranak dan semua ibu yang hadir mengajak saya untuk berdoa, minta pertolongan dan perlindungan Tuhan. Saya katakan kepada ibu-ibu yang telah panik itu: “Ibu-ibu berdoa saja. Saya dan istri saya selalu berdoa sepanjang waktu; dan sampai saat ini saya dan istri saya sedang berdoa, dan sedang bergumul!  Jadi, ibu-ibu berdoa saja sesuai tradisi ibu-ibu. Saya tetap di sisi istri saya untuk memberi dukungan spirit kepadanya.” Setelah itu, saya merundukkan kepala seraya mencium dahi Maria, sambil berbisik ke telinganya: “Maria, tetap arahkan pengharapanmu, pikiran dan hatimu kepada Yesus, Tuhan dan Juruselamat! Jangan terpengaruh dengan keluhan, tangisan, dan kekhawatiran ibu-ibu yang sedang berdoa dengan cara mereka”. Maria menjawab: “Iya. Yesus, Tuhan saya; Yesus Juruselamat saya..! Saya yakin, Tuhan Yesus tidak tinggalkan saya…!”

Beberapa saat kemudian, kaki kiri janin keluar. Suasana semakin mencekam. Ibu-ibu terus menyeru-nyerukan nama Tuhan Yesus. Kira-kira satu jam kemudian, tangan kanan janin keluar; dan setelah itu, hampir satu jam kemudian, tangan kiri janin keluar. Tinggal kepala janin saja yang belum keluar. Dukun beranak dan ibu-ibu pada malam itu sangat panik. Tetapi Maria memperoleh kekuatan dari ALLAH dan Tuhan Yesus.  Maria tidak merasa khawatir.  Dan sepanjang proses keluarnya janin yang sudah mati dalam kandungan itu begitu rumit, Maria sama sekali tidak pernah mengerang. Waktu terus berlalu, dan ketika menjelang fajar merekah di ufuk timur, kepala janin pun keluar. Dukun beranak berteriak: “Puji Tuhan…! Puji Tuhan….! Ooo…, Tuhan Yesus. Bayi sudah keluar.., bayi sudah keluar. Sekalipun mati.., tetapi Ibu Maria selamat…! Ibu-ibu yang lain pun bergegas masuk ke kamar. Mereka mencium Maria, seraya memuji dan memuliakan  nama Tuhan Yesus…. Cut!

Itulah realitas faktual yang saya dan istri saya alami. Pertanyaannya: Apakah realitas faktual yang dikisahkan di atas ini bukan sebuah mukjizat? Bukan sebuah miracle? Apakah ALLAH dengan perantaraan Yesus Kristus, dan Roh Kudus yang kami imani, tidak present dan berperan dalam realitas faktual yang dikisahkan di atas?  Hanya orang yang menyetarakan dirinya dengan kecoa, kera-kera besar simpanse, dan bonobo, yang akan mengatakan bahwa ALLAH, Yesus Kristus, dan Roh Kudus  tidak present dalam realitas faktual sebagaimana dikisahkan di atas.

Ketiga, pada tahun 2001 saya mengalami suatu pengalaman spiritual unik, yang berlangsung mulai  tanggal 1 Februari sampai dengan tanggal 2 Desember 2001. Tanggal 1 Februari adalah tanggal dan bulan kelahiran istri saya, Maria, sekaligus tanggal dan bulan pernikahan saya dan Maria. Pada 1 Februari 2001 Maria genap berusia 59 tahun, karena ia lahir pada 1 Februari 1942;  dan pernikahan saya dan Maria genap berusia 32 tahun, karena saya dan Maria menikah pada 1 Februari 1969 ketika Maria genap berusia 27 tahun.

Setelah selesai acara sederhana berkenaan dengan hari ulang tahun Maria dan hari ulang tahun pernikahan saya dan Maria pada tanggal 1 Februari 2001 malam, ketika para kenalan sudah kembali ke rumah mereka masing-masing, dan anak-anak termasuk Maria juga telah tidur, saya berkontemplasi seorang diri dalam bilik kerja saya. Sebagai seorang yang memiliki bakat mengarang, saya selalu memanfatkan momen-momen khusus untuk melakukan kontemplasi dan refleksi. Dan pada tanggal 1 Februari 2001 malam menjelang jam 12.00 tengah malam, saya membaca dan merenungkan kembali syair Tahlil 76:3 yang menjadi syair lagu tema kehidupan saya, yang telah saya abadikan dalam buku  pertama, Kristen dalam Sastra Indonesia (BPK GM Jakarta 1977). “Kuminta pakai aku – sehingga ajalku; Di dalam pekerjaan – yang akan hormat-Mu; Di mazbah kutertaruh – imam dan Penebus; Kunanti akan dikau – dan api yang kudus” Demikianlah syair  lagu tema kehidupan saya.

Setelah itu, saya memegang Alkitab dan berdoa: “Ya ALLAH dalam Yesus Tuhan dan Juruselamat. Tunjukkanlah kepada hamba-Mu pedoman hidup dari Alkitab yang hamba pegang ini, agar setiap langkah hidup yang hamba ayunkan ke depan, sesuai bakat dan talenta yang Engkau berikan kepada hamba-Mu ini, dapat menjadi berkat bagi banyak orang, dan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan nama-Mu. Amin.” Begitu kata “Amin” diucapkan, saya langsung membuka Alkitab, dan bagian Alkitab yang terbuka untuk saya baca yaitu halaman 640 – 641 yang berisi ayat-ayat kitab Mazmur 89:17 – 53 dan Mazmur 90:1 – 16 (menurut ALKITAB dengan KIDUNG JEMAAT. LAI Jakarta 2000). Dan dari keseluruhan bacaan tersebut, bacaan yang menjadi pedoman bagi saya tercantum dalam Mazmur 90:10-12: “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap. Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu dan takut kepada gemas-Mu? Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.”  Ayat-ayat ini sesuai dengan tema doa saya, apalagi pada tanggal 9 Oktober 2001 saya akan genap berusia 60 tahun. Realitas faktual itulah yang menggugah saya berbicara lantang pada malam itu: “Ya, ALLAH, Jikalau Engkau berkenan, pada 9 Oktober 2001 hamba-Mu ini akan genap berusia 60 tahun, maka tonggak usia 70 tahun yang dipatokkan oleh pemazmur, hamba sifatkan hanya sebagai sepuluh langkah ke depan. Karena itu, ya ALLAH: Kuminta pakai aku – sehingga ajalku; di dalam pekerjaan – yang akan  hormat-Mu; di mazbah kutertaruh – imam dan Penebus; kunanti akan dikau – dan api yang kudus”. Setelah berbicara seorang diri demikian, saya merasakan ada suatu daya yang bergetar dalam kalbu; setelah itu terkantuk sehingga saya pergi tidur, dan ketika tenggelam dalam kelelapan tidur, saya bermimpi: …. “ada suara memanggil nama saya seraya berkata: Almodat Godlief Hadzarmawit Netti! Dari keterpencilanmu di kerendahan, Aku berkenan mengangkat engkau ke ketinggian, melebihi mereka yang berpendidikan  tinggi.”

Pengalaman spiritual pertama
            Mulai bulan Maret 2001, suara yang menuntun saya melarang saya untuk tidur sekamar dengan istri saya, Maria. Saya harus tidur di kamar terpisah, tidak boleh tidur di ranjang beralas kasur, tetapi harus tidur di lantai beralas koran. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?  Setiap malam saya disuguhi tontonan adegan-adegan dosa masa lalu yang saya lakukan. Layaknya seperti menonton film serial di televisi. Dan setiap selesai menonton satu adegan dosa, tangan kanan saya serta-merta seperti palu menghantam sekuat-kuatnya bagian tubuh yang terkait dengan dosa yang dilakukan. Dosa yang berhubungan dengan mata, maka mata yang dihantam tanpa ampun; dosa yang berhubungan dengan pikiran, maka kepala yang dihantam habis-habisan; dosa yang berhubungan dengan kaki dan/atau tangan, maka organ kaki dan/atau tangan yang dihantam sampai kapok; dosa yang menyangkut mulut dan hidung, maka mulut dan hidung yang dilabrak sampai minta ampun, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dan adegan sebagaimana dikisahkan di atas ini berlangsung terus setiap malam sampai bulan Mei 2001. Selama itu, saya mengalami pukulan terus-menerus dari tangan kanan saya sendiri. Saya benar-benar tidak berdaya untuk mengelakkan diri dari pukulan-pukulan keras yang dilakukan oleh tangan kanan saya sendiri! Ketika saya mengerang kesakitan akibat pukulan-pukulan yang tak tertahankan, suara yang menuntun saya berkata: “Jikalau tanganmu, atau kakimu, atau hidungmu, atau mulutmu, atau kepalamu, atau auratmu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah semuanya, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup tanpa semua organ yang menyesatkan engkau itu! Atau, maukah engkau masuk ke dalam api kekal dengan semua organ tubuh yang menyesatkan engkau itu?” Realitas faktual dan pengalaman spiritual yang saya saksikan di atas ini ternyata menunjuk kepada kesaksian yang tercatat dalam Matius  5:28-30; 18:8,9. Sudah tentu pemahaman atas ayat-ayat ini bukan secara harafiah melainkan harus dipahami secara metafora dalam arti luas. Akan tetapi mengenai suara yang menuntun saya itu, saya yakin itu adalah Roh yang berperan melalui suneidēsis [conscience = suara hati].

Pengalaman spiritual kedua
            Setelah melewati pengalaman spiritual pertama sebagaimana dikisahkan di atas, suara yang menuntun saya menyuruh saya untuk mengucapkan “nous” sebanyak tiga kali: “nous, nous, nous”. Pada mulanya saya tidak tahu sama sekali apa arti “nous”, atau apa yang dimaksudkan “nous”.  Setelah beberapa hari kemudian barulah suara yang menuntun saya memberitahukan bahwa “nous” itu adalah “daya batin untuk mengetahui atau mengerti sesuatu tanpa berpikir atau belajar”. Setiap hari saya dianjurkan untuk mengucapkan “nous”. Itu terjadi dalam bulan Juni 2001. Dan pada waktu itu pula saya diberi kemampuan untuk menyembuhkan orang sakit dari jarak jauh. Anehnya, pada waktu itu, antara bulan Juni sampai September 2001, banyak orang yang datang untuk berkonsultasi dengan saya tentang penyakit dan penyembuhan penyakit. Apabila ada orang yang hendak datang berkonsultasi, suara yang menuntun saya selalu memberitahukan terlebih dahulu identitas orang-orang yang hendak datang berkonsultasi itu, dan kapan mereka akan datang.

            Pada suatu malam, sekitar jam 21.00 waktu setempat, telepon rumah saya berdering. Saya angkat telepon dan menyapa si penelepon. Ternyata, yang menelepon itu seorang guru SMP di kota Kupang. “Bapa, saya sakit bapa. Saya minta tolong bapa doakan saya. Sudah dua minggu saya opname di RSU Kupang tapi tidak sembuh. Saya disarankan untuk rujuk ke RSU di Surabaya, tetapi biaya tidak cukup. Jadi, kini saya baring di rumah saja, sambil menjalani rawat jalan. Bapa, tolong doakan saya, bapa.”  “Nama Anda, siapa, agar dapat saya sebut di dalam doa?” “Nama saya Abubakar, bapa. Saya seorang muslim, bapa.” Lalu, suara yang menuntun saya menyuruh saya untuk berbicara dengan Abubakar, begini: “Abubakar, apakah Anda percaya juga kepada nabi Isa?” “Saya percaya juga kepada nabi Isa, bapa.” Apakah Anda bisa sebutkan sedikit tentang keistimewaan nabi Isa?” “Nabi Isa dapat memberi makan banyak orang dengan makanan sedikit, bapa. Nabi Isa dapat membuat burung dari tanah liat, dan setelah menghembuskan napas ke burung tanah liat itu, burung itu hidup dan dapat terbang, bapa. Nabi Isa dapat menyembuhkan orang sakit, dan dapat menghidupkan orang mati, bapa.”  “Ya, cukup, Sdr. Abubakar. Cukup. Nabi Isa itulah yang saya imani sebagai Yesus, Tuhan dan Juruselamat; dan dalam nama Yesus, Tuhan dan Juruselamat itulah saya berdoa untuk memohon kesembuhan bagi Anda, sekarang juga. Maukah Anda?” “Saya mau, bapa. Saya bersedia menerima kesembuhan dari nabi Isa, yakni Yesus, Tuhan dan Juruselamat, bapa.” Jikalau demikian, pasang telinga di telepon, dan dengarkanlah doa saya dengan hati yang tulus.

Lalu, suara yang menuntun saya menyuruh saya berdoa begini: “Hai, Abubakar! dalam nama Yesus, Tuhan dan Juruselamat, sembuhlah engkau sekarang ini juga!” Doa ini saya ucapkan tiga kali, sesuai petunjuk suara yang menuntun saya; dan setelah itu saya bertanya kepada Abubakar: “Sudah dengar, doa saya, Abubakar?” “Ia, saya sudah dengar, bapa.”  “Kalau begitu, tutup telepon, dan perkembangan sekitar beberapa menit ke depan, harap beritahukan kepada saya.”  “Iya, bapa”.

Selang beberapa menit kemudian (tidak sampai lima menit), telepon rumah berdering lagi. Saya angkat telepon, dan ternyata yang menelepon adalah Abubakar. “Selamat malam, bapa. Terima kasih banyak, bapa. Saya sudah sembuh, bapa. Sekarang saya kepingin makan bubur kacang hijau, jadi, istri saya sedang masak bubur kacang hijau, bapa.” “Puji Tuhan! Puji Tuhan Yesus, Juruselamat!” “Iya, bapa. Puji Tuhan! Terima kasih banyak bapa. Nanti esok, atau lusa, saya datang bertemu bapa.” Berdasarkan realitas faktual yang saya kisahkan ini, maka penyembuhan-penyembuhan yang dikisahkan dalam kitab Injil dan Kisah Para Rasul—baik yang dilakukan oleh Yesus, maupun yang dilakukan oleh murid-murid Yesus, antara lain Petrus dan Paulus—saya yakin, bukan kisah imajiner atau fiksi, melainkan peristiwa nyata yang disaksikan dan/atau dikisahkan dalam Pekabaran Injil.

Pengalaman spiritual ketiga
Masih dalam tahun 2001, ada seorang oknum anggota Polri berpangkat Kapten yang bertugas di Polda NTT Kupang, bersama istrinya yang berprofesi sebagai guru di salah satu SMP di Kupang, datang bertemu saya yang beralamat di Jalan Kesekrom No.1 Naikolan, Kupang. Keduanya adalah muslim yang taat. Oknum anggota Polri itu mengalami suatu penyakit yang tidak berhasil disembuhkan oleh dokter, walaupun ia telah opname di rumah sakit selama dua minggu. Setelah berbincang-bincang beberapa saat, suara yang menuntun saya menyuruh saya untuk berkata kepada oknum anggota Polri yang sakit itu dan juga kepada istrinya, begini: “Bapak dan Ibu pulang saja. Saya tidak memberikan obat apa pun kepada bapak. Hanya satu tanda kesembuhan saja yang saya berikan. Sebentar malam, saya akan berdoa kepada Allah, dalam nama Yesus, Tuhan dan Juruselamat, agar bapak memperoleh kesembuhan. Dan inilah tanda yang akan bapak alami: sebentar, mulai jam 21.00 malam bapak akan mengalami kantuk (rasa hendak tidur) yang luar biasa, sehingga bapak akan tertidur sangat lelap. Dalam keadaan demikian, saya harap, ibu jangan membangunkan bapak. Nanti kira-kira pada jam 03.00 dini hari, barulah bapak akan bangun; dan begitu bapak bangun, penyakit yang bapak alami akan hilang! Bapak akan merasa sehat dan merasa sangat lega dan bahagia. Bapak dan ibu jangan buru-buru memberitahukan kesembuhan yang telah dialami itu kepada saya. Nanti beberapa hari kemudian barulah bapak dan ibu boleh beritahukan kepada saya.”

Tiga hari kemudian, suara yang menuntun saya menyuruh saya membuat sebuah sketsa di selembar kertas HVS tentang  seorang laki-laki yang mengendarai sebuah sepeda motor, membonceng seorang perempuan, dengan keterangan atau petunjuk sebagai berikut: “Sebentar, oknum polisi yang sudah sembuh itu berboncengan dengan istrinya akan datang.  Oknum polisi itu berpakaian seragam (dinas) membonceng istrinya, yang mengenakan blus biru muda dan rok berwarna biru tua. Istrinya membawa sebuah tas tangan berwarna hitam. Di dalam tas terdapat sebuah amplop putih berisi selembar uang seratus ribu rupiah. Uang itu akan keduanya berikan sebagai tanda terima kasih, karena kesembuhan yang telah dialami oleh oknum polisi itu, sesuai benar dengan pernyataan yang diberitahukan kepada mereka tiga hari yang lalu. Ingat, uang itu jangan diterima! Katakan kepada mereka: uang itu dimasukkan  saja ke kotak amal di Masjid mereka.”

Setelah selesai membuat sketsa sebagaimana dijelaskan di atas, ada satu sepeda motor berhenti di jalan raya depan rumah saya, dan ketika saya melongok melalui jendela, terlihat seorang  laki-laki berpakaian seragam (dinas) kepolisian bersama seorang perempuan memakai blus berwarna biru muda, rok berwarna biru tua, dan tangannya menjinjing sebuah tas tangan  berwarna hitam, telah turun dari sepeda motor dan berjalan ke arah pintu depan rumah saya. Saya menyambut mereka di depan pintu, saling bersalaman dan berjabat tangan, kemudian saya persilakan kedua tamu saya itu duduk.

Setelah berbincang-bincang sejenak, oknum polisi itu langsung mengemukakan maksud kedatangannya bersama istrinya. “Bapa, terima kasih banyak bapa. Saya sudah sembuh, seperti yang bapa katakan tiga hari yang lalu di sini. Setelah makan malam, saya merasa sangat mengantuk sehingga langsung tidur. Saya mengalami suasana tidur yang sangat lelap. Dan ketika saya terbangun secara tiba-tiba, saya merasa sangat sejahtera, penyakit yang saya alami hilang sama sekali, dan saya merasa sangat damai dan senang. Saya langsung bangunkan istri saya dan menceritakan kesembuhan yang telah saya alami itu.”  Istri saya langsung melihat jam dinding, dan berkata: papa, benar pa, seperti yang dikatakan oleh bapa Netti yang menjanjikan bahwa kesembuhan akan papa alami menjelang jam tiga dini hari. Sekarang sudah jam tiga dini hari lewat lima menit.” Selesai berkata demikian, oknum polisi itu memandang istrinya seraya menganggukkan kepalanya pelan-pelan, seakan-akan memberikan suatu isyarat kepada istrinya. Dan ketika istrinya meraba tas tangan warna hitam yang diletakkan di atas pangkuannya, saya langsung meminta permisi sebentar untuk masuk ke kamar.

Saya keluar dari kamar dengan membawa selembar kertas HVS berwarna putih yang berisi sketsa yang telah saya buat beberapa menit yang lalu sesuai petunjuk suara yang menuntun saya. Kertas HVS yang berisi sketsa itu saya serahkan kepada oknum polisi itu seraya memintanya untuk membaca apa-apa yang ada dalam sketsa itu. Oknum polisi itu mengangguk-anggukkan kepalanya pelan-pelan dan dari wajahnya terpancar perasaan keheranan yang luar biasa. Melihat wajah oknum polisi yang mengekspresikan keheranan ketika membaca sketsa yang sedang dipegangnya itu, saya bertanya kepadanya: “apakah semua yang terdapat dalam steksa itu benar, pak?” “Ya, benar bapa.” Kemudian saya bertanya kepada istri oknum polisi itu: “Apakah dalam tas tangan berwarna hitam yang ibu pegang itu terdapat satu amplop berwarna putih?” “Ya, benar bapa,” jawab si ibu. “Apakah di dalam amplop putih itu ada selembar uang seratus ribu rupiah?” “Ya, benar bapa!” jawab si ibu. “Coba, ibu ambil amplop putih itu, kemudian keluarkan isi amplop itu dan tunjukkan kepada saya”. Si ibu segera membuka tas tangan yang dipegangnya itu seraya mengeluarkan satu amplop putih, lalu membuka amplop itu dan mengeluarkan satu lembar uang senilai seratus ribu rupiah. “Seperti yang tertera dalam sketsa, uang itu mau diberikan kepada saya sebagai tanda terima kasih, karena kesembuhan yang telah pak alami. Benarkah demikian?” “Ya, benar demikian, bapa!” begitulah jawab si ibu dan oknum polisi serempak. Lalu saya katakan kepada oknum polisi yang sudah mengalami kesembuhan itu: “Coba pak baca dua kalimat terakhir dalam sketsa yang pak sedang pegang itu.”  Dan oknum polisi itu membaca: “Ingat, uang itu jangan diterima! Katakan kepada mereka: uang itu dimasukkan saja ke kotak amal di Masjid mereka!” “Dengan demikian, saya mohon maaf kepada pak dan ibu: saya tidak dapat menerima tanda terima kasih yang pak dan ibu berikan dalam wujud uang seratus ribu rupiah itu. Bukan karena uang itu banyak atau sedikit, melainkan karena petunjuk yang saya terima dari Tuhan untuk tidak boleh menerima uang itu. Karena pak dan ibu adalah muslim sejati, maka tanda terima kasih atas kesembuhan yang telah pak alami itu diserahkan saja ke kotak amal di Masjid di mana pak dan ibu bersembahyang setiap Jumat. …”

Demikianlah realitas faktual dan pengalaman spiritual yang saya alami. Kesembuhan yang dialami oleh oknum polisi pada menjelang jam tiga dini hari karena dukungan doa saya demi kesembuhannya itu dari jarak jauh, apakah itu bukan sebuah mukjizat atau miracle yang ALLAH sendiri lakukan dengan perantaraan Yesus, dan kuasa Roh Kudus? Apakah kesembuhan yang dialami oleh oknum polisi itu bukan suatu marvelous?

Pengalaman-pengalaman spiritual selanjutnya antara bulan Oktober sampai 2 Desember 2001 tidak perlu saya saksikan di sini, kecuali ini: “ALLAH—di dalam Yesus Kristus dan dengan perantaraan Roh Kudus—telah menangkap saya ketika memasuki usia yang keenam puluh pada 9 Oktober 2001, serta menuntun saya untuk menjadi saksi-Nya. Dan kepada saya ALLAH  telah memberikan “nous”, yaitu “daya batin untuk mengetahui atau mengerti sesuatu tanpa berpikir atau belajar”***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar