Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 08 Agustus 2011

Catatan atas: TATA IBADAH PERJAMUAN KUDUS GMIT


(cara baru perayaan sakramen)

Pendahuluan
PERJAMUAN KUDUS bukanlah ketetapan yang dibuat oleh manusia, melainkan ketetapan yang dibuat dan diperintahkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Hal ini dapat kita baca dalam Injil Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:14-20; dan 1 Korintus 11:23-25. Apabila kita membaca ayat-ayat Injil yang disebutkan ini, kita akan menemukan perbedaan-perbedaan di sana-sini. Namun demikian, semuanya menyaksikan satu hal yang penting dan menentukan, yaitu: perintah Tuhan Yesus supaya merayakan Perjamuan Kudus sebagai suatu peringatan akan Dia (Lukas 22:19; 1 Korintus 11:23-25).

Perjamuan Kudus ini ditandai dengan makan roti dan minum anggur, yang melambangkan tubuh dan darah Tuhan Yesus, yang dikorbankan  bagi penebusan dosa dan keselamatan manusia. Dengan demikian, perayaan Perjamuan Kudus merupakan suatu pemberitaan dan kesaksian tentang Tuhan Yesus yang telah mengorbankan dirinya di Golgota, sekaligus pemberitaan dan kesaksian tentang kedatangan-Nya nanti di akhir zaman.  Mengenai hal ini, rasul Paulus berkata dalam 1 Korintus 11;26: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” 

Berdasarkan komentar “pendahuluan” yang singkat ini, saya merasa terpanggil untuk mengemukakan beberapa catatan atas Tata Ibadah Perjamuan Kudus GMIT versi baru,  yang diperkenalkan oleh Dr. Eben Nuban Timo pada kebaktian penutupan sidang tahunan Sinode GMIT di gedung kebaktian Jemaat Imanuel Oepura, Kupang, pada hari Kamis, 25 September 2008 yang lalu.

Catatan atas tata ibadah Perjamuan Kudus GMIT
Berkenaan dengan tata ibadah Perjamuan Kudus GMIT versi baru sebagaimana disebutkan di atas ini, ada dua hal yang ingin saya soroti. Pertama, pemahaman terhadap fungsi “mimbar”.  Kedua, “pemecahan roti, penuangan anggur, dan perintah memberi makan” bagi jemaat yang mengikuti ibadah Perjamuan Kudus.

Pertama, mengenai fungsi “mimbar”, kelihatannya Dr. Eben Nuban Timo  memiliki pemahaman yang aneh. Fungsi mimbar dipantangkan/ditabukan penggunaannya dalam ibadah Perjamuan Kudus. Alasannya, karena mimbar adalah tempat pemberitaan firman. Dalam Perjamuan Kudus, pelayan cukup berdiri di belakang meja perjamuan, karena di situ firman diberitakan dalam bentuk yang kelihatan. Menurut pertimbangan saya, pemahaman dan ketentuan ini sangat mengada-ada. Mimbar bukan semata-mata tempat pemberitaan firman, melainkan tempat  bagi pelayan yang memimpin ibadah menurut tata ibadah. Pemberitaan firman hanyalah salah satu unsur dalam tata ibadah. Karena itu sangat pantas jika sejak awal ibadah Perjamuan Kudus pelayan  berada di mimbar untuk memimpin ibadah  sesuai dengan tata ibadah. Dan pada saat “Pelayanan Sakramen atau Pelayanan Perjamuan Kudus”  barulah pelayan turun dari mimbar dan berdiri di belakang meja perjamuan untuk memimpin pelayanan sakramen. Setelah selesai pelayanan sakramen, pelayan kembali lagi ke mimbar untuk memimpin ibadah sampai selesai. Prosedurnya sama seperti pelaksanaan Ibadah Baptisan Kudus. Dengan penjelasan singkat ini saya hendak mengatakan bahwa penyelenggaraan ibadah Perjamuan Kudus menurut tata ibadah versi lama, yang lazim dipakai oleh GMIT selama ini, seperti Liturgi Kebaktian Perjamuan Kudus yang dipakai pada kebaktian Perjamuan Kudus di jemaat Imanuel Oepura pada hari Jumat, 10 Oktober 2008, lebih takzim dan kudus, jika dibandingkan dengan tata ibadah Perjamuan Kudus versi baru yang diperkenalkan oleh Dr. Eben Nuban Timo pada tanggal 15 September 2008.

Kedua, mengenai “perintah pemberian makan bagi jemaat, pemecahan roti, dan  penuangan anggur” sebagaimana dilakukan dalam Ibadah Perjamuan Kudus pada tanggal 25 September 2008 di gedung kebaktian Jemaat Imanuel Oepura itu, “sesungguhnya merupakan suatu pelecehan terhadap perintah perjamuan kudus yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus” sebagaimana dikatakan dalam Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:14-20; dan 1 Korintus 11:23-25. Mengapa saya berani mengatakan demikian?  Jawabnya, pertama, karena “perintah pemberian makan bagi jemaat” tidak terdapat dalam kerugma penetapan Perjamuan Malam sebagaimana dikatakan dalam Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:14-20, dan 1 Korintus 11:23-25. Perintah pemberian makan sebagaimana terbaca dalam tata ibadah Perjamuan Kudus versi baru (butir 6), yang berbunyi: “Kamu harus memberikan mereka makan”, adalah ucapan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya ketika Tuhan Yesus memberi makan lima ribu orang (Matius 14:16; Markus 6:37; Lukas 9:13), yang tidak punya hubungan sama sekali dengan penetapan Perjamuan Malam. Kedua, karena jemaat dipersilakan ke tempat tersedianya roti dan anggur yang dipersiapkan untuk dimakan dan diminum, dengan cara: “roti dipecahkan sendiri oleh jemaat, lalu dicelupkan ke dalam anggur, dan memakannya.” Padahal kepada tiap orang yang datang mendekati diaken pemegang roti dan anggur, diaken roti berkata, “Inilah Tubuh Kristus, makanlah.” Dan diaken anggur berkata, “Inilah darah Kristus, minumlah.” Akan tetapi dalam pelaksanaan, jemaat sama sekali tidak meminum anggur, melainkan yang dilakukan oleh jemaat ialah “roti dipecahkan sendiri lalu dicelupkan ke dalam anggur, dan dimasukkan ke dalam mulut untuk ditelan”. Apakah praktik seperti ini pantas disebut “makan roti perjamuan kudus” dan “minum anggur perjamuan kudus”?  “Roti perjamuan kudus” adalah lambang “tubuh Tuhan Yesus” mengapa harus dicelupkan ke dalam “anggur perjamuan kudus” yang adalah lambang “darah Tuhan Yesus”? Sungguh rancu, karena Tuhan Yesus sama sekali tidak menganjurkan demikian.

Pada penetapan Perjamuan Malam, Tuhan Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Tuhan Yesus mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya seraya berkata: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang”. Murid-murid Tuhan Yesus memakan roti dan meminum anggur perjamuan. Praktik yang sesuai dengan penetapan Perjamuan Malam terdapat dalam tata ibadah Perjamuan Kudus GMIT versi lama yang lazim dipakai. Namun dalam tata ibadah Perjamuan Kudus GMIT versi baru yang diperkenalkan oleh Dr. Eben Nuban Timo, praktiknya lain: Diaken roti berkata: “Inilah tubuh Kristus, makanlah.” Akan tetapi diaken roti tidak memecahkan roti dan memberikannya kepada jemaat untuk dimakan. Kemudian diaken anggur berkata: “Inilah darah Kristus, minumlah.”  Akan tetapi diaken anggur tidak memberikan cawan yang berisi anggur kepada jemaat untuk diminum. Yang dilakukan ialah: Roti yang adalah lambang tubuh Kristus dipecahkan sendiri oleh anggota jemaat, kemudian dicelupkan ke dalam anggur yang adalah lambang darah Kristus, lalu memakannya.

“Roti yang dicelupkan” mengingatkan saya akan kisah dalam Injil Yohanes 13:21-30. Pada ayat 21 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.” Murid-murid memandang seorang kepada yang lain. Mereka bingung dan ragu-ragu siapa yang Tuhan Yesus maksudkan. Simon Petrus memberi isyarat kepada murid yang bersandar dekat Tuhan Yesus untuk menanyakan siapa yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus. Dalam ayat ke-26 Tuhan Yesus menjawab: “Dia itu, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya.”  Lalu Tuhan Yesus mengambil roti, mencelupkannya dan memberikannya kepada Yudas, anak Simon Iskariot. Dan sesudah Yudas menerima roti itu, ia kerasukan Iblis. Kemudian Tuhan Yesus berkata kepada Yudas: “Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah dengan segera” (ayat 27). Dan pada ayat ke-30 dikatakan: “Yudas menerima roti itu lalu segera pergi.”

Kisah tentang Tuhan Yesus mengambil roti, mencelupkannya, dan memberikannya kepada Yudas sebagaimana dikutip di atas ini bukan penetapan Perjamuan Malam yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, melainkan tanda yang Tuhan Yesus buat sebagai penegasan jawaban-Nya atas pertanyaan “siapakah itu yang akan menyerahkan-Nya”, yang ditanyakan oleh murid yang duduk di sebelah kanan-Nya  itu. Dengan demikian, sangat rancu jika tanda yang dibuat oleh Tuhan Yesus untuk menunjukkan orang yang akan mengkhianati-Nya itu diaplikasikan oleh Dr. Eben Nuban Timo di dalam tata ibadah Perjamuan Kudus. Sebab, memperhatikan kerugma Yohanes 13:26-30, Ibadah Perjamuan pada hari Kamis, 25 September 2008 di gedung kebaktian jemaat Imanuel Oepura saat penutupan sidang tahunan Sinode GMIT itu, bukan Ibadah Perjamuan Kudus melainkan Ibadah Perjamuan untuk memperingati penyerahan Yesus oleh Yudas.

Menurut pendapat dan penghayatan saya, pelayanan sakramen atau pelayanan perjamuan yang telah dilakukan dalam ibadah Perjamuan pada hari Kamis, 25 September 2008 di gedung kebaktian Jemaat Imanuel Oepura, yang dipimpin oleh Dr. Eben Nuban Timo itu, merupakan “cara yang tidak layak makan roti dan minum cawan Tuhan”. Dan ini mengingatkan saya akan penegasan rasul Paulus dalam 1 Korintus 11:27 yang berbunyi: “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti dan minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.”  Selain itu, dengan memperhatikan kerugma 1 Korintus 8:9-13, saya berkata dengan serius bahwa Dr. Eben Nuban Timo dengan kebebasannya di dalam menyusun tata ibadah pelayanan sakramen/perjamuan, telah menjadi batu sandungan dan menimbulkan syak bagi banyak orang yang mengikuti ibadah Perjamuan Kudus di gedung kebaktian jemaat Imanuel Oepura pada hari Kamis, 25 September 2008. Dan hal semacam ini tidak boleh dibiarkan.

Tradisi pelayanan Perjamuan Kudus yang dibuat/dipakai oleh GMIT selama ini, ialah: roti dimakan dan anggur diminum oleh peserta perjamuan, sesuai dengan penetapan perjamuan dalam Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:14-20; dan 1 Korintus 11:23-25. Cara merayakan Perjamuan Kudus dengan “mencelupkan roti ke dalam anggur”, yang dilakukan oleh beberapa Jemaat di Belanda, yang diperkenalkan oleh Dr. Eben Nuban Timo dalam ibadah Perjamuan Kudus pada penutupan sidang tahunan Sinode GMIT yang lalu tentu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan teologis tertentu sesuai dengan konteks di Belanda. GMIT bisa saja mengadopsi dan/atau memakai cara itu, tetapi bagaimanapun juga, dasar-dasar pertimbangan teologis yang dipakai oleh beberapa Jemaat di Belanda itu harus dikaji bersama secara serius oleh para teolog dan dosen-dosen biblika di GMIT.

Dan bila cara itu telah dikaji bersama secara mendalam, tentu GMIT dapat menggunakan cara itu setelah ditetapkan oleh Sinode. Dengan demikian, perubahan cara dalam Perjamuan Kudus tidak menjadi keputusan atau berdasarkan “kesukaan” atau “selera” seorang ketua majelis sinode semata. Karena bagaimanapun, setiap perubahan cara harus dipahami dengan baik dan membantu penghayatan iman jemaat. Dengan perkataan lain, setiap perubahan cara (yang menyimpang dari tradisi pelayanan perjamuan kudus selama ini) hendaknya memperhatikan iman jemaat, betapa pun baiknya cara yang dipakai. Tanpa memberi perhatian pada iman jemaat, maka bisa saja cara yang bagaimanapun baiknya dapat ditafsirkan oleh jemaat sebagai suatu bentuk pengkhianatan.

Untuk itu, sebagai catatan akhir saya mohon dalam nama Yesus, Tuhan dan Juruselamat, agar para teolog GMIT dan dosen biblika pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang berkenan mendiskusikan “cara pelayanan sakramen/perjamuan” versi Dr. Eben Nuban Timo, yang saya soroti dalam tulisan ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar