Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 08 Agustus 2011

Sekali Lagi Tentang: Marginalia Atas JANJI BARU (2)


PADA tanggal 4 November 2007 yang lalu  kakak saya, Dr. A.L. Netti meminjamkan kepada saya beberapa buku. Satu di antaranya berjudul, Alkitab dan Komunikasi, diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia pada tahun 2001. Buku ini sangat bermanfaat. Di dalamnya berisi sekitar 20 makalah seputar penerjemahan Alkitab, yang disajikan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing. Setelah membaca buku tersebut, saya  merasa bersyukur, karena opini yang saya kemukakan di media cetak Timor Express edisi tanggal 24, 25, dan 26 September 2007 yang lalu itu ternyata tidak melenceng, karena itu diharapkan dapat menjadi masukan yang berharga bagi tim penerjemah  Perjanjian Baru dalam dialek Kupang.

Berselang beberapa hari kemudian, tepatnya, hari Senin, tanggal 12 November 2007, secara tak terduga saya bertemu dengan Pendeta Mus Zacharias, salah satu anggota tim penerjemah kitab Perjanjian Baru  dalam dialek Kupang yang diberi judul Janji Baru. Dalam percakapan singkat di pinggir trotoar di terminal bayangan Oepura, tepat di depan pos jaga petugas DLLAJR, Pendeta Mus Zacharias mengatakan bahwa kitab Janji Baru belum dijual atau dihentikan penjualannya kepada warga gereja, setelah tim penerjemah membaca tulisan saya berjudul “Marginalia Atas Janji Baru: Perjanjian Baru versi GMIT”, yang dimuat di media cetak Timor Express edisi tanggal 24, 25, dan 26 September 2007.

Lebih lanjut dikatakan bahwa ada kemungkinan kitab Janji Baru akan direvisi, dan untuk itu saya diajak untuk melibatkan diri dalam kelompok tim penerjemah, agar saran dan kritik dapat disampaikan dari dalam, sehingga tidak diekspos melalui koran. Selain itu, Pendeta Mus Zacharias bermaksud mempertemukan saya untuk berdialog dengan Dr. Grimes, konsultan/ketua tim penerjemah.

Saya katakan kepada Pendeta Mus Zacharias, bahwa pada prinsipnya saya tidak setuju penerjemahan Alkitab ke dalam dialek Kupang. Karena itu, seandainya saya diajak untuk melibatkan diri dalam pekerjaan tim penerjemah, saya tetap menolak. Saya katakan kepada Pendeta Mus Zacharias bahwa, sebagai wahana (“vehicle”), dialek Kupang tidak dapat menampung isi berita Alkitab secara memadai, sehingga isi berita Alkitab niscaya akan mengalami distorsi. Dialek Kupang lebih banyak mubazirnya, karena itu tidak dapat diandalkan 100% sebagai wahana pemberitaan dan kesaksian firman Allah yang tertulis di dalam Alkitab. Pada saat berkhotbah, atau saat penyampaian ajaran agama kristen—dalam konteks tertentu, serta waktu dan tempat yang tepat—dialek Kupang dapat dipergunakan oleh pengkhotbah atau pengajar, dan dampaknya bisa menjadi “bumbu”  yakni “rasa humor”, yang sejenak dapat menghilangkan kepenatan dan kejenuhan. Tetapi untuk diandalkan 100% sebagai bahasa terjemahan Alkitab, sekali lagi saya katakan, lebih banyak mubazirnya.

Berikut ini saya ajak pembaca yang budiman untuk mempertimbangkan kemubaziran yang terdapat dalam kitab Janji Baru (Perjanjian Baru dalam dialek Kupang) versi GMIT.

1.      Kitab Suci

Setiap agama memiliki Kitab Suci, masing-masing mempunyai nama atau sebutannya sendiri-sendiri. Hinduisme memiliki kitab Suci yang disebut Veda. Judaisme (agama Yahudi) memiliki kitab Suci yang disebut Torat, Kitab Nabi-nabi, dan Tulisan-tulisan Suci (Perjanjian Lama). Agama Shinto memiliki kitab Suci yang disebut Ko-ji-ki dan Nihon-gi. Zoroastrianisme (agama Parsi) memiliki kitab Suci yang disebut Avesta. Taoisme memiliki kitab Suci yang disebut Tao-Teh-King. Jainisme memiliki kitab Suci yang disebut Angas. Buddhisme memiliki kitab Suci yang disebut Tripitaka. Confusianisme memiliki kitab Suci yang disebut dalam bahasa Inggris The Five Classics dan The Four Books. Agama Kristen memiliki kitab Suci yang disebut Alkitab atau Kitab Suci yang terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Agama Islam memiliki kitab Suci yang disebut Al-Quran. Sikhisme memiliki kitab Suci yang disebut Granth.

Sepanjang abad, dari generasi ke generasi, setiap umat beragama tetap mempertahankan nama atau sebutan Kitab Suci mereka masing-masing. Sebab “nama” menunjukkan “identitas”. Dan identitas itu tidak lain adalah jati diri. Mempermainkan nama sama artinya dengan mempermainkan identitas, atau mempermainkan jati diri. Karena itu, nama harus dijunjung. Namun sayang di balik sayang. Tim penerjemah Perjanjian Baru versi GMIT lupa akan arti atau makna sebuah nama. Rupanya ini disebabkan oleh ketidakmengertian, atau kesalahmengertian terhadap ucapan Shakespear yang berbunyi, “What is in a name……?”  Banyak orang pandai yang salah mengartikan atau salah memaknai ucapan Shakespear ini, karena mereka tidak memahami secara baik dan benar ilmu majas. Untuk itu mereka perlu membaca buku Figures of Rhetoric: Interrogation is used as a rhetorical device (J.C. Nesfield, M.A. Manual of English Grammar and Composition. London: Macmillan and Co. Hlm.246).

Namun apa lagi yang hendak dikatakan. Semua sudah terjadi, tertulis hitam di atas putih, bahwasanya tim penerjemah telah mengubah sebutan nama kitab Suci Agama Kristen demi pertimbangan kontekstualisasi firman Allah yang tersurat dan tersirat dalam Alkitab atau Kitab Suci ke dalam dialek Kupang. Sebelum masuk ke halaman isi Perjanjian Baru versi GMIT dalam dialek Kupang, terlebih dahulu saya ingin memberikan catatan pertimbangan  terhadap judul buku, Janji Baru.  Berkenaan dengan judul ini, saya ingin bertanya kepada Dr. Grimes dan tim penerjemah: mengapa Perjanjian Baru versi GMIT dalam dialek Kupang tidak diberi judul Perjanjian Baru tetapi diberi judul Janji Baru? Di dalam Janji Baru, tim penerjemah pempergunakan kata persembahan dalam Mateos 5:23,24; 1 Korintus 9:13; Filipi 4:18. Kata perjanjian dan persembahan termasuk kelompok nomina dengan konfiks  per—an,  yaitu kata dasar  janji dan sembah diberi awalan per- dan akhiran an. Dengan demikian, apabila tim penerjemah sudah “memungut” kata persembahan untuk dipakai dalam dialek Kupang, mengapa kata perjanjian tidak dipungut juga tetapi disingkirkan? Kalau Perjanjian Baru sudah direduksi menjadi Janji Baru, dengan sendirinya Perjanjian Lama direduksi juga menjadi Janji Lama. Dan dampak dari suatu pereduksian adalah penyusutan arti/makna, dan nilai.

Apabila kita melangkah masuk ke halaman isi Janji Baru, maka di sana kita tidak menemukan lagi kata Kitab Suci. Demi kontekstualisasi yang menjunjung tinggi dialek Kupang yang bersifat asal-asalan, Kitab Suci telah berubah nama menjadi Tuhan pung Tulisan Barisi (1 Korintus 15:3); Tuhan Allah pung Tulisan (Utusan 18:24); Tuhan Allah pung Tulisan Barisi (Mateos 4:4; Roma 2:24, dyb.). Dan kata “Alkitab”  dikutip sebagai buku referensi lain yang dicantumkan  pada catatan kaki, antara lain pada JB halaman 103,108,125,138 dll.

Selain itu, sebutan Kitab Taurat pun telah berubah nama dengan sebutan Tuhan Allah pung atoran (Mateos 5:17,18,19); Tuhan pung Atoran (Roma 2:14,15); atoran adat (Utusan 7:53); Atoran (Roma 2:12,13). Firman Allah  telah berubah nama menjadi Tuhan Allah pung Kata-kata (1 Korintus 14:36; Dunya Model Baru 19:13); Kabar Bae (Utusan 13:46). Firman Tuhan  berubah menjadi Tuhan pung Kabar Bae (Utusan 13:48). Injil berubah nama/sebutan menjadi Tuhan Yesus pung Carita Bae (Utusan 14:7); Tuhan pung Kabar Bae (Roma 2:16); dan Injil Yesus  berubah menjadi Tuhan Yesus pung Carita Bae (Utusan 8:35).

Data yang ditampilkan di atas ini memberi petunjuk, betapa mubazir (= berlebih-lebihan, pemborosan, bahkan sia-sia) begitu banyak nama atau sebutan yang diberikan oleh tim penerjemah Janji Baru untuk menggantikan nama/sebutan Kitab Suci, Alkitab, Firman Allah, Firman Tuhan, Kitab Taurat, dan Injil. Seolah-olah selama ini, semenjak masuknya agama Kristen di wilayah pelayanan GMIT pada zaman VOC hingga kini, warga GMIT sama sekali tidak tahu apa itu Kitab Suci, Alkitab, Firman Allah, Kitab Taurat, dan Injil. Penyebutan Injil dengan Kabar Baik, atau dalam dialek Kupang dilafalkan Kabar Bae, sudah benar adanya. Namun ia harus dipakai secara konsisten, sehingga sebutan Injil Yesus dalam Utusan 8:16 harus disebut pula Yesus pung Kabar Bae, atau Tuhan Yesus pung Kabar Bae, dan bukannya Tuhan Yesus pung Carita Bae.

2.      Malaikat, nabi, rasul, imam, murid Yesus

Setiap “agama wahyu” (Yahudi, Kristen, dan Islam)  mengenal sebutan malaikat, nabi, rasul dan imam. Mengapa sebutan-sebutan ini tidak dipungut saja ke dalam dialek Kupang tetapi digantikan dengan Tuhan (Allah)  pung ana bua dari sorga (= malaikat); Tuhan (Allah) pung jubir (= nabi); Yesus (Kristus)  pung utusan (= rasul); dan kapala agama (= imam); Kapala Agama Paling Tinggi (= Imam Besar)?  Apakah sebutan malaikat, nabi, rasul, dan imam sangat asing bagi warga GMIT yang “pengetahuan bahasanya sebatas dialek Kupang”, sementara di lain pihak warga GMIT yang “pengetahuannya sebatas dialek Kupang” sangat akrab dengan kata-kata seperti roster (Lukas 1:8); lapuk (Lukas 6:37-38); kompleks (Utusan 23:35);  akar masala (Lukas 8:47); cambuk (Yohanis 19:1); saraka (Lukas 12:15); informasi (Galatia 1:18) dan masih banyak lagi yang dapat disebutkan. Dan anehnya, murid-murid Yesus diubah sebutannya menjadi Yesus pung ana bua. Padahal dalam Perjanjian Baru bahasa Gerika, kata mathētēs  artinya murid  dan  mathētai artinya  murid-murid, dan bukannya ana bua.

3.      Kerajaan Sorga

Dalam Janji Baru, kata sorga terdapat dalam Matius 5:34,45,48; 6:9 dyb. Dalam Markus 3:24; Lukas 22:29 dyb., terdapat kata karaja’an. Dengan demikian, sebutan kerajaan sorga sangat logis untuk dipakai dalam dialek Kupang. Namun rupanya sebutan kerajaan sorga tidak logis buat tim penerjemah Janji Baru. Tim penerjemah memperkenalkan sebutan baru, yaitu “maso jadi Tuhan Allah pung orang”. Dengan demikian, frasa “masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 5:20, LAI) menjadi “maso jadi Tuhan Allah pung orang” (Mateos 5:50, JB). Tetapi anehnya, dalam Efesus 2:12, sebutan  “maso jadi Tuhan Allah pung orang” bukan dipakai untuk arti “masuk ke dalam Kerajaan Sorga”, melainkan dipakai untuk arti “termasuk kewargaan Israel”. Permisi, saya bertanya kepada tim penerjemah JB: “Apakah kalau seseorang termasuk kewargaan Israel, dia masuk ke dalam Kerajaan Sorga”?

Lalu, bagaimana pula dengan sebutan “Kerajaan Allah”? Seharusnya, sebutan Kerajaan Allah tetap dipakai juga dalam dialek Kupang. Akan tetapi tim penerjemah JB munculkan sebutan baru, yaitu “Tuhan Allah pung istana”.  Lukas 14:15 terjemahan LAI, berbunyi begini: “Mendengar itu berkatalah seorang dari tamu-tamu itu kepada Yesus: ‘Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah. Terjemahan JB berbunyi sebagai berikut: “Dengar bagitu ju, ada orang yang dudu satu meja deng Yesus angka omong, bilang, ‘Paling ontong tu, andia orang yang iko makan rame-rame di Tuhan Allah pung istana, ó!’”  Perhatikan frasa yang diketik dengan huruf tebal. “Kerajaan Allah” = “Tuhan Allah pung istana”.

Dalam Perjanjian Baru bahasa Gerika, sebutan  hē basileia tōn ouranōn (= Kerajaan Sorga) sama artinya dengan hē basileia tou theou (= Kerajaan Allah). Dengan demikian, apabila kita berpegang pada terjemahan tim penerjemah JB  “jadi Tuhan Allah pung orang” (= Kerajaan Sorga) dan “Tuhan Allah pung istana” (= Kerajaan Allah), maka, permisi, sekali lagi saya bertanya: apakah “jadi Tuhan Allah pung orang”  sama artinya dengan “Tuhan Allah pung istana”?

Demikian pula dengan ungkapan/sebutan untuk Yesus sebagai Anak Manusia   yang diganti dengan Manusia Tulen; Anak Domba yang diganti dengan Domba Ana; Anak Domba Allah yang diganti dengan Tuhan Allah pung Domba Ana, menurut hemat saya tidak patut. Ungkapan-ungkapan Manusia Tulen, Domba Ana, dan Tuhan Allah pung Domba Ana adalah “kantong kulit yang baru dalam dialek Kupang yang tidak sempurna untuk menampung “anggur tua konsepsi teologis-alkitabiah tentang Yesus yang tersirat  di dalam “kantong kulit lama ungkapan Anak Manusia, Anak Domba, dan Anak Domba Allah”.   Karena itu “kantong kulit lama ungkapan Anak Manusia, Anak Domba, Anak Domba Allah yang telah menampung dan menyatu secara baik dengan “anggur  tua konsepsi teologis-alkitabiah tentang Yesus” sebaiknya dipungut ke dalam dialek Kupang.  Penulis Injil Lukas berkata, “Dan tidak seorang pun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik” (Lukas 5:39).

Dengan pernyataan di atas ini, saya sudah pikirkan bahwa tim penerjemah Janji Baru niscaya akan mengajukan sanggahan: bukankah ungkapan/sebutan Anak Manusia, Anak Domba, dan Anak Domba Allah itu adalah “kantong kulit yang lama” dalam Perjanjian Baru yang menyimpan konsepsi teologis-alkitabiah tentang Yesus? Jawab saya, “Ya.”  Ungkapan Anak Manusia, Anak Domba, dan Anak Domba Allah adalah “kantong kulit yang lama” yang paling tepat menyimpan “anggur tua konsepsi teologis-alkitabiah tentang Yesus” yang pantas dipungut menjadi “kantong kulit yang baru” dalam dialek Kupang, jika dibandingkan dengan ungkapan Manusia Tulen, Domba Ana, dan Tuhan Allah pun Domba Ana, yang medan maknanya sebatas arti harafiah. Untuk itu, saya persilakan tim penerjemah Janji Baru membedakan arti antara ana domba dengan domba ana dan domba pung ana. Kemudian, bandingkan pula dengan makna yang tersirat dalam sebutan ini dalam dialek Kupang:  “Lu ini, batul-batul ana iblis!

Dialek Kupang  bukan bahasa standar yang mengharamkan praktik pungut-memungut kata-kata, ungkapan-ungkapan, dan istilah-istilah dari bahasa lain. Dialek Kupang berkembang dari bahasa campuran (bahasa ‘gado-gado’) melalui proses pijinisasi. Karena itu, untuk mempertahankan dan menjunjung kebenaran suatu konsepsi teologis-alkitabiah yang telah tersirat secara mendalam pada suatu kata, ungkapan, atau istilah yang  telah diterima/diakui secara universal, apa salahnya jika kata, ungkapan, atau istilah-istilah itu dipungut ke dalam dialek Kupang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar