Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 08 Agustus 2011

Sekali Lagi Tentang: Marginalia Atas JANJI BARU (3)


SALAH SATU pengertian terjemahan ialah memindahkan pesan (makna) yang terdapat dalam teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran (atau bahasa penerima) dan mengungkapkannya kembali sewajar mungkin dalam bahasa sasaran dengan mempergunakan seutuh mungkin makna yang dialihkan tersebut (Maurits Marpaung, dalam Alkitab dan Komunikasi. LAI 2001:208-209). Apa yang dikatakan oleh Maurits Marpaung, guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta dan anggota Komisi Penerjemahan LAI, yang saya kutip untuk mengawali tulisan ini memberi petunjuk bahwa “pekerjaan menerjemahkan Alkitab bukan pekerjaan yang mudah”. Untuk menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam bahasa apa saja, si penerjemah harus mengetahui secara baik dan benar kaidah/seluk-beluk bahasa sumber yaitu bahasa Ibrani yang dipakai dalam Perjanjian Lama, sekaligus harus mengetahui secara baik dan benar pula  kaidah/seluk-beluk bahasa sasaran yaitu bahasa yang ke dalamnya Perjanjian Lama hendak diterjemahkan. Begitu pula apabila Perjanjian Baru hendak diterjemahkan ke dalam bahasa lain, si penerjemah harus mengetahui sebaik-baiknya kaidah/seluk-beluk bahasa Gerika sebagai bahasa sumber, sekaligus kaidah/seluk-beluk bahasa sasaran yang ke dalamnya Perjanjian Baru hendak diterjemahkan.

Dalam kata pengantar Kitab Janji Baru, halaman viii, tercantum The Greek New Testamen edisi ke-4 (direvisi, 1998), United Bible Societies sebagai bahasa sumber. Ini memberi petunjuk bahwa Perjanjian Baru dalam dialek Kupang sebagai bahasa sasaran itu diterjemahkan langsung dari bahasa sumber (Bahasa Gerika). Jadi, ini bukan pekerjaan yang gampang bagi sepuluh orang penerjemah Janji Baru. Sebab mereka harus mengetahui secara baik dan benar kaidah-kaidah/seluk-beluk bahasa Gerika dan dialek Kupang.

Ada beberapa metode penerjemahan Alkitab, namun biasanya dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) terjemahan berdasarkan bentuk atau terjemahan harafiah dan (2) terjemahan dinamis yang berdasarkan makna.. Terjemahan harafiah, sedekat mungkin mengikuti bentuk teks dan bahasa sumber. Dan terjemahan dinamis atau fungsional, yaitu terjemahan yang membongkar bentuk teks bahasa sumber  agar arti dipertahankan. Bentuk bahasa sumber diubah dan disesuaikan dengan bentuk bahasa sasaran agar isi teks dapat menjadi jelas bagi pembaca awam masa kini. Terjemahan harus dilakukan secara dinamis dengan mengutamakan arti, bukan bentuk, teks bahasa sumber.

Selain itu, ada cara terjemahan filologis yang cenderung ke terjemahan harafiah, namun yang memperhatikan bentuk-bentuk sastra. Ada pula terjemahan linguistik yang cenderung ke terjemahan dinamis atau fungsional, namun tanpa perhatian khusus kepada kelompok sasaran. Ada lagi terjemahan interlinear yang merupakan terjemahan  kata sehingga terjemahan ini sangat kaku. Dan ada lagi terjemahan saduran di mana penerjemah menyadur teks sedemikian rupa sehingga kadang-kadang terjadi penambahan atau penyelewengan arti. Cara terjemahan seperti ini tidak dilakukan oleh Lembaga-lembaga Alkitab Indonesia yang memberikan prioritas utama pada terjemahan dinamis atau fungsional (P.G. Katoppo, dalam Alkitab dan Komunikasi, do.ib. hlm.108-109). Dalam proses penerjemahan, kami (LAI) menentukan patokan bahwa seorang penerjemah tidak boleh mengubah, baik menambahkan atau mengurangi. Mereka harus menuliskan apa adanya, sesuai dengan yang tertulis. Kalau ada ketidaksesuaian antara satu dengan lainnya dalam hal-hal kecil, yaitu kita terima sebagai hal yang wajar (Katoppo, dalam Bahana, September 1994:70).

Tim penerjemah Perjanjian Baru versi GMIT yang diberi judul Janji Baru sudah barang tentu bekerja mengikuti patokan penerjemahan yang ditentukan oleh LAI sebagaimana dikutip di atas ini. Namun ternyata tidak demikian. Setelah mencermati Kitab Janji Baru, saya temukan terlalu banyak petunjuk bahwa tim penerjemah Janji Baru bekerja dengan mempergunakan metode campuran antara terjemahan dinamis/fungsional, dan terjemahan saduran. Dari metode campuran ini, yang lebih menonjol adalah cara terjemahan saduran yang tidak diprioritaskan dan dilakukan oleh Lembaga-lembaga Alkitab.

Dalam tulisan ini saya akan menyiasati beberapa bagian hasil terjemahan yang terdapat dalam Kitab Janji Baru.

1.      Matius 4:7

Dalam Perjanjian Baru bahasa Gerika, transkripsi Matius 4:7 berbunyi sebagai berikut: ephē autō(i) ho Iēsous, Palin gegraptai, Ouk ekpeiraseis kurion ton theon sou. Artinya, “kata Yesus sendiri, ada tertulis pula, jangan engkau mencobai Tuhan Allah-mu” (terjemahan harafiah saya [AGHN]). Terjemahan Baru LAI 1994 berbunyi sebagai berikut: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” Dan tim penerjemah Janji Baru menerjemahkan ayat ini sebagai berikut: “Ma Yesus manyao, bilang, ‘Ada tatulis ju dalam Tuhan Allah pung Tulisan Barisi, bilang, Tuhan Allah tu, lu pung Bos. Jadi lu jang suru Dia pake Dia pung kuasa ko kasi bukti, bilang, Dia tu, batúl-batúl Tuhan Allah’.”  Terjemahan seperti ini, bukan lagi terjemahan secara dinamis/fungsional, melainkan terjemahan saduran. Tim penerjemah Janji Baru ternyata menyadur teks sumber (bahasa Gerika) sebegitu rupa dan menambahkan ke dalam ayat ini pendapat pribadi penerjemah, sehingga terjadi penyelewengan arti. Pendapat pribadi tim penerjemah yang dimasukkan ke dalam ayat ini yaitu frasa yang berbunyi, “Tuhan Allah tu, lu pung Bos. Jadi lu jang suru Dia pake Dia pung kuasa ko kasi bukti, bilang, Dia tu, batúl-batúl Tuhan Allah”.

2.      Matius 4:17

Dalam Perjanjian Baru bahasa Gerika, transkripsi Matius 4:17 berbunyi sebagai berikut: Apo tote ērxato ho Iēsous kērussein kai legein, Metanoeite, ēnggiken gar hē basileia tōn ouranōn. Artinya, “Sejak waktu itu Yesus pergi  memberitakan dan mengatakan, ‘Bertobatlah, karena  Kerajaan Sorga sudah dekat’” (terjemahan harafiah saya [AGHN]). Terjemahan Baru LAI berbunyi, “Sejak waktu itulah Yesus memberitahukan: ‘Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat’.”  Dan tim penerjemah Janji Baru menerjemahkan ayat ini sebagai berikut: “Mulai dari itu waktu, ju Yesus mulai ajar orang bilang, ‘Bosong musti bale balakang deng kasi tenga bosong pung sala-sala dong, ko idop barisi su! Te sakarang samua orang su bisa maso jadi Tuhan Allah pung orang’.”

            Dalam terjemahan Matius 4:17 Janji Baru  sebagaimana dikutip di atas ini, tim penerjemah menerjemahkan kata Gerika metanoeite (= bertobatlah) dengan suatu frasa yang panjang dalam dialek Kupang: “Bosong musti bale balakang deng kasi tenga bosong pung sala-sala dong, ko idop barisi su!”  Frasa yang panjang lebar ini sesungguhnya belum mencerminkan dengan sebaik-baiknya arti tobat/pertobatan. Mengapa? Sebab “tobat” dalam Perjanjian Lama berarti: “kembali, yaitu kembali berbakti kepada Tuhan Allah”, bukan sekadar “membelakangi dan meninggalkan kesalahan, lalu hidup bersih”. Di dalam Perjanjian Baru, “tobat” berarti: “membelakangi yang semula disembah, lalu menghadapi Tuhan Allah, percaya kepada Tuhan dan firman-Nya, serta: merobah pikiran, atau berganti pikiran (Lukas 1:16,17; 17:3; Kisah 15:3; 2 Korintus 3:16; 7:9); berpaling dari pada berhala dan beribadat kepada Allah yang hidup dan benar (1 Tesalonika 1:8,9); meninggalkan perbuatan yang membawa kepada kematian dan beriman kepada Allah (Ibrani 6:1).

            Berdasarkan tinjauan singkat di atas ini maka sebenarnya tim penerjemah Janji Baru harus tetap menerjemahkan kata Gerika metanoeite dalam Matius 4:17 itu dengan kata “bertobatlah” , lalu ditulis menurut pelafalan dialek Kupang, “bartóbatla”, atau “bartóbat suda”. Mengapa saya sarankan demikian? Jawabnya, karena dalam Lukas 15:7 dan Roma 11:23 (Janji Baru), tim penerjemah telah memungut dan mempergunakan kata “tobat” dalam dialek Kupang. Sebagai perbandingan, dalam Roma 7:3 (Janji Baru) tim penerjemah mempergunakan kata barsina dalam dialek Kupang. Kata barsina dipungut dari kata bahasa Indonesia, bersinah. Dengan demikian, kata bertobat dalam bahasa Indonesia, bisa dipungut ke dalam dialek Kupang menjadi bartobat.

            Selain itu, dalam Matius 4:17 (Janji Baru) tim penerjemah mempergunakan frasa yang berbunyi, “Te sakarang samua orang su bisa maso jadi Tuhan Allah pung orang”  sebagai terjemahan atas frasa ēnggiken gar hē basileia tōn ouranōn (teks Gerika), yang dalam terjemahan harafiah berbunyi “karena Kerajaan Sorga sudah dekat”. Terjemahan tim penerjemah Janji Baru sebagaimana dikutip di atas ini jelas-jelas salah. Terjemahan tersebut adalah merupakan pemahaman dan tafsiran pribadi tim penerjemah yang benar-benar menyesatkan. Mana mungkin perkataan Tuhan Yesus yang berbunyi, “karena Kerajaan Sorga sudah dekat”  berarti Te sakarang samua orang su bisa maso jadi Tuhan Allah pung orang”?

            Dalam Perjanjian Baru bahasa Gerika, hē basileia tōn ouranōn (= Kerajaan Sorga) sama artinya dengan hē basileia tou theou (Kerajaan Allah). “Kerajaan” (basileia), memiliki arti, “kekuasaan raja dan wilayah atau daerah yang dikuasai oleh raja itu”. Jadi, “Kerajaan Allah”  berarti, “pelaksanaan atau perealisasian kekuasaan Allah sebagai Raja”. Di sini saya tidak akan menjelaskan panjang-lebar mengenai konsepsi teologis-alkitabiah “Kerajaan Sorga” atau “Kerajaan Allah”.  Yang hendak saya garisbawahi di sini ialah kesalahan tim penerjemah Janji Baru menerjemahkan frasa ēnggiken gar hē basileia tōn ouranōn (teks Gerika) dengan “Te sakarang samua orang su bisa maso jadi Tuhan Allah pung orang”.

            Dalam Markus 3:24, Lukas 22:29 misalnya, tim penerjemah Janji Baru telah mempergunakan kata karaja’an  yang dipungut dari bahasa Indonesia kerajaan. Dalam Matius 5:34, 48; 6:1,4,8,9; 8:11, tim penerjemah mempergunakan kata sorga.  Berdasarkan kata-kata ini,  mengapa tim penerjemah tidak menerjemahkan hē basileia tōn ouranōn dengan Kerajaan Sorga, yang ditulis sesuai dengan pelafalan dialek Kupang menjadi Karaja’an Sorga?  Selain itu, dalam Matius 13:45, tim penerjemah menerjemahkan Kerajaan Sorga dengan frasa Tuhan pung pegang parenta, terjemahan ini bertolak belakang dengan terjemahan dalam Matius 4:17 yang dilakukan sendiri oleh tim penerjemah. Lalu, dapatkah dibenarkan pula frasa Gerika dalam Matius 5:3,10 yang berbunyi, hoti autōn estin hē basileia tōn ouranōn, yang artinya “karena mereka dihisabkan dalam Kerajaan Sorga” (terjemahan harafiah saya [AGHN]), atau terjemahan dinamis/fungsional LAI yang berbunyi, “karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”, diterjemahkan oleh tim penerjemah Janji Baru dengan “tagal Tuhan (Allah) sandiri tu, dong pung Raja yang bae”?  Dalam frasa ini, dapatkah tim penerjemah menunjukkan arti dari kata Gerika hē basileia tōn ouranōn, yang berarti Kerajaan Sorga itu?

Dan mengenai hē basileia tou theou (= Kerajaan Allah), dalam Markus 1:15 tim penerjemah menerjemahkannya dengan frasa Tuhan Allah ada pegang parenta. Sedangkan dalam Lukas 14:15, tim penerjemah Janji Baru menerjemahkan hē basileia tou theou (= Kerajaan Allah) dengan Tuhan Allah pung istana. Memperhatikan kedua terjemahan ini, saya ingin bertanya kepada tim penerjemah Janji Baru, dari kedua terjemahan itu, terjemahan manakah yang benar? Tanpa menunggu jawaban dari tim penerjemah, saya berani mengatakan bahwa kedua terjemahan tersebut salah! Terjemahan  yang benar dalam dialek Kupang yakni  Tuhan Allah pung Karaja’an.

3.      Kolose 2:11 dan Galatia 5:12

Dalam Kolose 2:11 menurut teks Perjanjian Baru bahasa Gerika, rasul Paulus katakan begini: en hō(i) kai perietmēthēte peritomē(i) acheiropoiētō(i) en tē(i) apekdusei tou sōmatos tes sarkos, en tē(i) peritomē(i) tou Christou. Artinya, “dan dalam Dia kamu telah disunat bukan dengan sunat yang dilakukan dengan tangan menurut upacara keagamaan Yahudi untuk menanggalkan tubuh kedagingan, tetapi dengan sunat Kristus” (terjemahan harafiah saya [AGHN]), atau menurut terjemahan dinamis/fungsional LAI, berbunyi, “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa”. Akan tetapi ayat ini diterjemahkan oleh tim penerjemah Janji Baru sebagai berikut: “Waku sunat, orang Yahudi dong potong buang ‘burung’ pung ujung kulit ko jadi tanda bilang, dong tu, Tuhan Allah pung orang. Waktu bosong maso jadi Kristus pung orang, bosong ju kaná ‘sunat’. Dia pung maksud bagini: ini sunat bukan so’al orang potong buang kulit di badan, ma so’al Kristus potong buang hal-hal jahat dari kotong pung hati. Andia, hal-hal jahat yang kotong suka bekin tagal kotong ni, manusia.”

Terjemahan tim penerjemah Janji Baru atas Kolose 2:11 sebagaimana ditunjukkan di atas ini sesungguhnya merupakan suatu saduran yang benar-benar menyimpang dari isi berita sebenarnya yang tersirat dalam teks Gerika sebagai bahasa sumber. Bandingkan pula dengan  Galatia 5:12 yang dalam bahasa sumber (Gerika) berbunyi, ophelon kai apokopsontai hoi anastatountes humas, artinya, “dan aku memohon agar mereka yang menghasut kamu memotong dirinya” (terjemahan harafiah dari  saya [AGHN]. Catatan: kata ‘memotong dirinya’ bisa diganti dengan kata ‘mengebiri dirinya’), atau “Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya!” (terjemahan dinamis LAI). Sedangkan tim penerjemah Janji Baru menerjemahkan ayat ini sebagai berikut: “Ma itu orang yang su bekin bingung sang bosong so’al sunat tu, kasi tenga pi ko dong sandiri potong buang dong pung ‘burung’ samua!

Terjemahan atas Kolose 2:11 dan Galatia 5:12 versi tim penerjemah Janji Baru benar-benar membuat banyak orang yang berdiskusi dengan saya tertawa terpingkal-pingkal. Mereka bertanya keheranan, “Apakah gerangan tujuan yang hendak dicapai oleh tim penerjemah Janji Baru dengan cara terjemahan atas Kolose 2:11 dan Galatia 5:12? Pertanyaan ini disentil pula oleh Drs. H.E. Lay ketika saya berdiskusi dengan beliau di rumahnya, tentang bagaimana bunyi kedua ayat ini jika diterjemahkan ke dalam bahasa Rote Ringgau. Drs. H.E. Lay menerjemahkan kedua ayat ini sebagai berikut. Kolose 2:11, “Tépo léle fo lahénda Yahúdi ra ée héni ‘manu púi’ nara róu na, fo éla dadi tánda….”  Kemudian, Galatia 5:12 dalam bahasa Rote Ringgau berbunyi: “Té hú lahénda fo rína táo bíngun émi tentang súnat na éla néme ná ára mesa ása ée héni síra ‘manu púi’ nára.” Kata ‘manu púi’ di sini adalah eufemisme (kata kiasan/kata pelembut) untuk ‘itu’ yang dimaksudkan oleh tim penerjemah Janji Baru dengan ‘burung’  yang dicetak dalam tanda kutip. Dan berkaitan dengan terjemahan atas Kolose 2:21 dan Galatia 5:12 ke dalam dialek Kupang , saya minta agar tim penerjemah Janji Baru menerjemahkan ke dalam dialek Kupang ayat-ayat Alkitab berikut ini:

Yehezkial 16:26: “Engkau bersundal dengan orang Mesir, tetanggamu, si aurat besar itu,…” ; “…dan auratmu disingkapkan…” (ayat 36); “…menyingkapkan auratmu, ….sehingga mereka melihat seluruh kemaluanmu….” (ayat 37); Yehezkial 22:10: “….menyingkapkan aurat istri ayahnya…” Yehezkial 23:20 (LAI 2000/TB LAI 1974), yang berbunyi sebagai berikut: “Ia berahi kepada kawan-kawannya bersundal, yang auratnya seperti aurat keledai dan zakarnya seperti zakar kuda.”  Yesaya 47:3: “Biarlah auratmu tersingkap…”  Hosea 2:8: “…yang harus menutupi auratnya…” ; “….Aku akan menyingkapkan kemaluannya” (ayat 9). CATATAN: Dalam Kamus Pengantar Bahasa Kupang yang disusun oleh June Jacob dan Charles E.Grimes (Artha Wacana Press 2003), tidak terdapat entri aurat, yang sama artinya dengan kemaluan (baik untuk laki-laki maupun perempuan); dan juga tidak terdapat entri zakar yang artinya kemaluan laki-laki, penis, pelir.  Sebab memang, kata-kata tersebut bukan tergolong kata-kata dalam bahasa Kupang. Yang dicatat oleh June Jacob dan Charles E. Grimes, yaitu: tolo, dan uti (= aurat, atau kemaluan laki-laki); serta  no’o (aurat, atau kemaluan perempuan). Dalam bahasa Kupang, anak-anak kecil ditabukan untuk menyebut kata-kata tolo, uti, dan no’o. Perkataan tolo, uti, dan no’o adalah perkataan yang wajar dan lumrah bagi orang dewasa, namun dianggap kasar bila diucapkan oleh anak-anak (kecil). Dengan demikian, sebagai eufemisme (ungkapan yang lebih halus untuk menggantikan ungkapan yang dirasakan/dianggap kasar), anak-anak kecil diajarkan/dianjurkan untuk menyebut burung dan/atau toe’ (sebagai ganti kata tolo, dan uti ) jika hendak menyebut kemaluan laki-laki; dan pepe (sebagai ganti kata no’o) jika hendak menyebut kemaluan perempuan. Dalam Kamus Pengantar Bahasa Kupang, June Jacob dan Charles E.Grimes mencantumkan entri boa, yang artinya 1) buah, dan  2) hasil, akibat. Sebenarnya, harus ditambahkan arti yang ketiga, yaitu boa  yang artinya buah zakar, atau buah pelir (= buah kemaluan laki-laki).

Terus terang saya katakan di sini bahwa Perjanjian Baru versi GMIT yang diterjemahkan dalam dialek Kupang dan diberi judul, Janji Baru, berisi banyak kesalahan dan kerancuan. Penelitian perbandingan terjemahan yang saya lakukan antara tanggal 7 September 2007 sampai 25 November 2007 atas Janji Baru dengan Perjanjian Baru bahasa Gerika serta Perjanjian Baru terjemahan LAI, untuk sementara ini saya temukan lima ratus enam puluh empat kesalahan dan kerancuan terjemahan yang dilakukan oleh tim penerjemah Janji Baru. Menurut hemat saya, upaya untuk merevisi Janji Baru pada waktu-waktu akan datang, akan tetap mubazir dan menimbulkan persoalan seputar bahasa yang dipakai sebagai wahana bagi firman Allah yang hendak diwartakan dalam bahasa sasaran. Mengapa? Sebab dialek Kupang bukan bahasa standar atau bahasa baku,  sehingga setiap orang yang mempergunakan dialek Kupang bebas mengubah ayat-ayat Injil atau ayat-ayat Alkitab menurut jalan pikiran/pemahamannya sendiri-sendiri. Bahkan, dialek Kupang versi tim penerjemah Janji Baru baik itu berupa kata-kata, ungkapan, dan istilah, bisa dikatakan salah oleh orang lain yang juga mempergunakan dialek Kupang dalam hidup kesehariannya. Dan kalau sampai terjadi demikian, siapakah ‘ahli dialek Kupang’ yang patut didengar fatwanya?  Apakah sang ahli itu ialah Dr. Grimes?!

Untuk itu, dalam ketrenyuhan yang mendalam, saya mohon dalam nama Yesus, agar proyek penerjemahan Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) versi GMIT dibatalkan saja. Dan Kitab Janji Baru, yakni Perjanjian Baru versi GMIT yang telah diluncurkan pada tanggal 7 September 2007, serta semua kitab Janji Baru yang telah dijual kepada jemaat, dinyatakan ditarik dari peredaran.

Dan untuk mengakhiri tulisan ini, saya merasa terpanggil untuk mengutip kembali  salah satu imbauan/pernyataan saya  dalam tulisan,  “Percaya Pada Allah Dalam Konteks NTT” (Timor Express, Kamis, 24 November 2005), di mana pada bagian terakhir tulisan tersebut saya katakan: “… dalam mengembangkan teologi kontekstual, kita sebagai warga GMIT harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab. Karena kita (GMIT) tidak berada sendirian di sebuah pulau terpencil di samudera luas, di mana kita (GMIT) hidup dari diri sendiri dan untuk diri sendiri. Tidak. Kita (GMIT) berada dan dikelilingi oleh beraneka persekutuan/kelompok sebagai tetangga. Karena itu, apa yang kita (GMIT) buat dengan teologi kontekstual, harus dapat dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya demi kemuliaan Kristus.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar