Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 08 Agustus 2011

LEONARDO DA VINCI (3)


PADA bulan Agustus 2006 yang lalu, kakak saya, Dr. A.L. Netti meminjamkan kepada saya sebuah buku berjudul, Biografi Dan Brown The Man Behind The Da Vinci Code. Buku ini adalah terjemahan Burhan Wirasubrata ke dalam edisi bahasa Indonesia dari judul aslinya, The Man Behind The Da Vinci Code: An Unauthorized Biography Of Dan Brown, yang ditulis oleh Lisa Rogak, New York 2005. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Ufuk Press, PT. Cahaya Insan Suci, Jakarta 2006. Ada beberapa hal menarik dari buku ini yang ingin saya ungkapkan dalam tulisan ini.

            Dan Brown lahir pada tanggal 22 Juni 1964 di Exeter, New Hampshire, Amerika. Ayahnya, Richard G. Brown, mengajar di Phillips Exeter Academy pada tahun 1962 sebagai guru matematika. Ia adalah penulis-pendamping serial buku pelajaran matematika popular yang menjadi buku pelajaran anjuran untuk sekolah di seluruh Amerika. Ia pensiun pada tahun 1997. Memperhatikan data tempat tanggal kelahiran Dan Brown, serta data tempat tinggal dan tempat tugas ayah Dan Brown sebagaimana dikemukakan di atas ini, saya teringat akan percakapan jenaka ‘Ama tukang batanya & Om Pandita banyak tahu’ sebagai berikut.

            “Ama: Ado… Tuhan Allah he, kenapa bisa ada penyesat begini macam. Tapi tunggu dolu. Dari tadi om Pandita bahas ini buku ‘The Da Vinci Code’ tapi belum beri tahu manusia sesat siapa dan dari mana yang bikin kacau keadaan sampai begini?”
            “Pandita: Ha…ha… batul beta lupa. Ini orang yang karang buku ‘The Da Vinci Code’ berasal dari Inggris. Dia pung nama Dan Brown.”

            Dari percakapan jenaka ini terlihat bahwa ‘Om Pandita banyak tahu’ tidak tahu bahwa Dan Brown berasal dari Exeter, New Hampshire, Amerika Serikat.

            Dan Brown mengikuti sekolah-sekolah umum Exeter sampai kelas sembilan, setelah itu, mulai tahun 1978 ia bersekolah di Phillips Exeter Academy, dan lulus pada tahun 1982. Selanjutnya, Dan Brown pergi ke Spanyol dan mendaftar di Amherst College, karena hasrat untuk melihat dunia lebih luas. Di Amherst College, ia terus mengembangkan sisi manusia-Renaissance-nya dengan mengikuti dua mata kuliah pokok, yakni bahasa Inggris dan Spanyol.
Ketika tinggal satu tahun lagi di Spanyol untuk belajar di Universitas Seville, Dan Brown memutuskan untuk mengambil mata kuliah Sejarah Seni. Di sinilah benih awal ide novel The Da Vinci Code ditanamkan oleh salah seorang dosennya.

            Setelah tamat dari Amherst College, Dan Brown magang bekerja. Tujuannya untuk pindah ke Los Angeles terwujud pada tahun 1991. Di Los Angeles ia menempati sebuah apartemen di Franklin Regency di Hollywood. Dia bekerja di Baverly Hills Preparatory School sebagai guru bahasa Spanyol.

            Dan Brown kemudian pindah lagi ke California dan mulai menghabiskan waktunya di Akademi Pencipta Lagu Nasional (National Academy of Songwriters). Ia juga menghabiskan waktu satu tahun di Hollywood, kemudian kembali ke New Hampshire. Riwayat hidup Dan Brown secara lebih luas dapat dibaca dalam buku karya Lisa Rogak, yang telah disebutkan di awal tulisan ini. Cuma, ada satu hal menarik yang akan saya uraikan di bawah ini.

            Di atas telah disebutkan bahwa benih awal ide novel The Da Vinci Code telah ditanamkan oleh salah seorang dosen, ketika Dan Brown belajar Sejarah Seni di Universitas Seville. Ceritanya begini.

            Suatu hari di dalam kelas, dosen itu berbicara tentang seni Leonardo da Vinci, lengkap dengan  slide show. Dosen itu mulai menunjukkan berbagai anomaly, pesan tersembunyi, dan lelucon yang dimasukkan Da Vinci ke dalam lukisan-lukisan, patung-patung, dan gambar-gambarnya. Dosen itu memulai dengan menunjukkan sebuah slide tentang The Last Supper dan secara iseng kemudian berkata di depan kelas penuh mahasiswa yang setengah mengantuk bahwa sosok yang duduk di sebelah kanan Yesus dalam lukisan itu bukanlah Yohanes, sebagaimana umumnya yang disampaikan secara turun-temurun selama berabad-abad. Sosok itu sebenarnya seorang perempuan, Maria Magdalena. Dosen itu kemudian menunjukkan beberapa rahasia lainnya dalam lukisan itu, termasuk fakta bahwa tidak ada cawan anggur di mana pun dalam gambar itu (Ibid, Hlm.20).

            Sang dosen sejarah seni dengan cerita isengnya tentang lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci sebagaimana dikutip di atas inilah yang merupakan sebuah katalisator bagi imajinasi Dan Brown, sehingga lahirlah sebuah fiksi (cerita rekaan, khayalan) dalam bentuk novel, The Da Vinci Code, yang mengisahkan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena.

            Benarkah Yesus kawin atau menikah dengan Maria Magdalena? Benarkah asumsi Dan Brown, bahwa selibat bukan praktik yang bernuansa Yahudi, karena itu, sebagai orang Yahudi, Yesus pasti kawin atau menikah? (baca, tulisan Yakub Tri Handoko, “Dekodenisasi ‘The Da Vinci Code’” 3. Timex, Rabu, 26 Juni 2006, di bawah judul kecil ‘Apakah Yesus menikah?). Untuk menyanggah asumsi Dan Brown yang saya parafrasekan dalam bentuk interogasi ini, Yakub Tri Handoko berupaya habis-habisan mulai dari praktik hidup sekelompok orang Yahudi yang dikenal sebagai masyarakat Qumran dan kaum Essenes, naskah Laut Mati, dan kitab sejarah Josephus yang menegaskan bahwa dua kelompok tersebut menganut gaya hidup selibat, di mana Yesus sendiri mengakui keistimewaan gaya hidup selibat dalam kaitannya dengan fokus untuk Kerajaan Allah (Matius 19:10-12). Kemudian, untuk menjelaskan bahwa Yesus tidak kawin atau menikah, Yakub Tri Handoko berupaya mendalami Injil Lukas 8:1-3; Matius 27:55-56; Markus 15:40-41; Yohanes 19:25; Matius 27:61; Yohanes 20:11-16; 1 Korintus 9:4-6; Yohanes 19:26-27; dan sebagainya. Tidak kalah sengitnya, ‘Om Pandita banyak tahu’ juga habis-habisan mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya dalam berapologia, untuk meyakinkan ‘Ama tukang batanya’, bahwa Yesus tidak kawin atau menikah seperti yang diasumsikan oleh Dan Brown. ‘Om Pandita banyak tahu’ memulai penjelasan dari jurus: “Tidak ada satu naskah pada jaman para Rasul dan bapa-bapa gereja yang mencatat bahwa Yesus pernah kawin.” Selain itu, ‘Om Pandita banyak tahu’ mengeluarkan jurus-jurus ayat Injil mulai dari Markus 16:9; Lukas 8:1-3; Matius 27:55-56; Markus 15:40, dan 1 Korintus 9:5. Dan untuk lebih meyakinkan ‘Ama tukang batanya’, maka ‘Om Pandita banyak tahu’ mengeluarkan jurus-jurus pamungkas dari otak Dennis Fisher dan Profesor Darryl Bock (Baca, Esra Alfred Soru. “The Da Vinci Code” 3. Timex, Rabu, 21 Juni 2006).

            Ketika membaca argumentasi Yakub Tri Handoko yang memunculkan Matius 19:10-12, saya melihat bahwa Rektor Sekolah Teologia Injili Abdi Allah dari Pacet-Jatim itu baru menunjuk salah satu landasan argumentasi dalam menyanggah asumsi Dan Brown, bahwa selibat bukanlah praktik yang bernuansa Yahudi. Landasan lain, yang ternyata tidak dilihat oleh Yakub Tri Handoko, terdapat dalam Lukas 20:35: “tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan dikawinkan”. Selibat yang dimaksudkan dalam Matius 19:12c ialah selibat lantaran “seorang laki-laki membuat dirinya menjadi sida-sida karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Untuk memahami kalimat yang berada di antara tanda petik (“….”) di atas ini, saya persilakan Yakub Tri Handoko dan ‘Om Pandita banyak tahu’ memperhatikan Matius 19:12c menurut Perjanjian Baru Bahasa Gerika, khususnya frasa yang berbunyi: eunouchoi hoitines eunouchisan heautous. Terjemahan berterima untuk teks Gerika ini saya persilakan baca terjemahan Inggris RSV: “eunuchs who have made themselves eunuchs”. Berkenaan dengan cara atau gaya hidup selibat seperti ini, maka pada akhir ayat 12 Yesus berkata: “Siapa yang mengerti hendaklah ia mengerti.” Sedangkan selibat yang dimaksudkan dalam Lukas 20:35 ialah selibat (agamos) khususnya di bawah ikrar, sumpah, atau janji setia demi maksud tertentu. Menurut Lukas 20:35, mereka yang “tidak kawin maupun dikawinkan” (Gerika, oute gamousin oute gamizontai) itu adalah mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati. Rasul Paulus menjalani gaya hidup selibat seperti ini, demi tugas-tugas kerasulan. Karena itu Rasul Paulus berkata, “Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya” (1 Korintus 7:32).

            Lantas, apakah Yesus juga menjalani hidup selibat? Selibat menurut versi yang mana? Menurut versi yang Yesus sebut dalam Matius 19:12 lantaran eunouchizo (I make into a eunuch, emasculate, castrate)? Atau menurut versi yang Yesus sebut dalam Lukas 20:35 yaitu agamos (unmarried, not married), yang dalam teks Gerika dikatakan oute gamousin oute gamizontai (neither marry nor are given in marriage)?

 Yakub Tri Handoko – yang pada tulisan bagian pertamanya (Timex, Senin, 26 Juni 2006) mengatakan bahwa tulisannya merupakan apologia dari sudut pandang kaum Injili terhadap DVC – sama sekali tidak menjelaskan gaya hidup selibat yang saya kemukakan di atas ini. Oleh karena itu, di dalam benak, saya bertanya-tanya: “Apakah tulisan Yakub Tri Handoko yang dimuat secara berseri di Harian Pagi Timor Express (Senin, 26 Juni – Rabu, 28 Juni 2006) itu merupakan suatu apologia dari sudut pandang kaum Injili yang bernas. Begitu pula dengan ‘Om Pandita banyak tahu’ ternyata tidak berbicara sedikit pun mengenai gaya hidup selibat yang Yesus kemukakan dalam Matius 19:12 dan Lukas 20:35.

Ternyata kedua orang pendeta Injili ini terjebak dalam plot yang dirancang oleh Dan Brown, sehingga keduanya mati-matian mencari bukti pada ayat-ayat Injil yang memberi petunjuk bahwa Yesus tidak kawin atau menikah dengan Maria Magdalena. Dengan merujuk 1 Korintus 9:5, Yakub Tri Handoko berkata: “Seandainya Yesus memang menikah dengan Maria Magdalena dan mereka sering bepergian bersama, maka Paulus pasti akan menyebutkan hal itu sebagai dasar argumen yang lebih kuat untuk menegaskan pendapatnya” (Timex, Rabu, 28 Juni 2006). Dan ‘Om Pandita banyak tahu’ berkata kepada ‘Ama tukang batanya’: “Memang Alkitab tidak secara eksplisit mengatakan bahwa Yesus tidak kawin tetapi ada ayat Alkitab yang dapat diacu sebagai bukti tidak langsung bahwa Yesus tidak kawin. Coba Ama baca 1 Kor 9:5: ‘Tidakkah kami mempunyai hak untuk membawa seorang isteri Kristen, dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain dan saudara-saudara Tuhan dan Kefas?’ Perhatikan baik-baik Ama. Paulus sementara membicarakan hak untuk membawa seorang isteri dalam pejalanan, dan ia mengacu pada rasul-rasul yang lain, saudara-saudara Tuhan dan Kefas. Jelas berarti bahwa rasul yang lain, saudara Tuhan dan juga Kefas mempunyai isteri. Seandainya Yesus memang kawin maka pasti nama Yesus juga disinggung Paulus. Kenyataannya tidak kan? Ini adalah bukti tidak langsung bahwa Yesus tidak pernah kawin” (Timex, Rabu, 21 Juni 2006).

            Ah, sayang, betapa kerdilnya wawasan mereka yang mengaku dirinya kaum Injili di dalam berapologia menghadapi Dan Brown. Sebenarnya, untuk memperoleh petunjuk apakah Yesus menjalani hidup selibat atau tidak, kita sudah bisa memperolehnya dalam teks Lukas 20:34 yang berbunyi: “Jawab Yesus kepada mereka: ‘Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan’”. Setelah ayat ini, barulah Yesus berkata lebih lanjut: “tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang akan datang itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan dikawinkan” (ayat 35). Memperhatikan Lukas 20:34, kita bertanya, “Apakah Yesus dari dunia ini, dan tergolong pada orang-orang dari dunia ini?” Apabila jawabannya, “Ya”, maka Yesus sebagai orang Yahudi, orang dari Nazaret itu, niscaya dapat kawin dan dikawinkan. Tetapi apabila kita memperhatikan pula Lukas 20:35, maka kita dapat berkata, “Yesus, karena karya mesiani yang diemban-Nya, niscaya terhisab kepada mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, sehingga Yesus tidak kawin dan dikawinkan”.

            Untuk memperoleh petunjuk yang jelas tentang siapa sesungguhnya Yesus dan dari manakah Yesus, kita dapat menemukannya dalam Yohanes 8:23 yang berbunyi: “Lalu Ia berkata kepada mereka: ‘Kamu berasal dari bawah, Aku berasal dari atas; kamu dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini.” Dalam Yohanes 3:31, Yohanes pembaptis bersaksi tentang Yesus: “Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya; Siapa yang datang dari sorga adalah di atas semuanya.” Rasul Paulus bersaksi tentang Yesus (sebagai ‘manusia kedua’) sebagai berikut: “Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari sorga” (1 Korintus 15:47). Di dalam Yohanes 3:13, Yesus sendiri bersaksi tentang diri-Nya: “Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga, selain dari pada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak Manusia.” Selain itu, perhatikan pula ‘teologia Yohanes tentang Yesus dalam Injil Yohanes 1:1-3 dan ayat 14: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”

            Jikalau demikian, “Yesus tidak kawin dan dikawinkan, karena Yesus bukan dari dunia ini”. Jikalau demikian, “Yesus tidak kawin dan dikawinkan, karena Yesus datang dari atas, dari sorga”. Ya, jikalau demikian, “Yesus tidak kawin dan dikawinkan, karena Yesus yang datang dari atas, dari sorga, adalah di atas semuanya”. Dengan demikian, Yesus tidak terikat pada gaya hidup selibat yang Ia katakan kepada murid-murid-Nya dalam Matius 19:12 dan Lukas 20:35, karena selibasi (“celibacy”) yang Yesus jalani selama hidup-Nya di dunia ditentukan oleh kodrat keilahian-Nya, demi mendatangkan pemerintahan Allah yang menyelamatkan di atas bumi.

            Berdasarkan tinjauan di atas ini, kita tidak perlu tergoda dengan asumsi Dan Brown bahwa Yesus kawin atau menikah dengan Maria Magdalena. Sebab, sebenarnya asumsi itu adalah fiksi yang dikembangkan dari cerita iseng dosennya tentang lukisan The Last Supper, sebagaimana telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini. Lalu, bagaimanakah pula dengan injil Filipus, yang dijadikan pula sebagai petunjuk bahwa Maria Magdalena adalah isteri Yesus?

            Yakub Tri Handoko menyebutkan teks injil Filipus 63:32-64:10. Bagian yang paling kontroversial terdapat dalam pasal 63:33-36 “dan teman/isteri dari (…) Maria Magdalena. (… mengasihi) dia lebih dari pada (semua) murid dan (terbiasa) mencium dia (sering) pada (…)nya”. Para sarjana mencoba merekonstruksi seluruh teks ini sebagai berikut: “dan teman (isteri) dari Juru Selamat Maria Magdalena mengasihi dia lebih daripada semua murid yang lain dan terbiasa mencium dia sering pada mulutnya”. Rekonstruksi seperti ini dianggap menyiratkan bahwa Maria Magdalena adalah isteri Yesus (baca, paparan Yakub Tri Handoko selengkapnya dalam Timex, Selasa, 27 Juni 2006). Selanjutnya, berkenaan dengan kata Gerika, koinonos, Yakub Tri Handoko mengatakan: “Kata ‘koinonos’ bisa berarti teman atau isteri. Berdasarkan pemakaian kata ini dalam literatur Yunani, ‘koinonos’ sebaiknya dipahami sebagai teman. Seandainya yang dimaksud adalah ‘isteri’, maka penulis injil Filipus pasti akan memakai kata yang lebih umum, yaitu ‘gunh’ [sich]” (Ibid.).

            Sebelum meninjau lebih mendalam fragmen teks injil Filipus yang kontroversial sebagaimana dikutip di atas, ada baiknya arti kata Gerika, koinonos, diperjelas. Koinonos bisa berarti “teman, kawan, rekan, mitra, sekutu”. Arti kata koinonos yang disebutkan ini belum mencerminkan makna sesungguhnya yang tersirat dalam kata Gerika koinonos. Karena itu, koinonos harus dipahami dalam penjelasan sebagai berikut: (1) koinonos artinya teman, kawan, rekan, mitra, sekutu, (salah seorang) yang ikut atau turut serta dalam (perjalanan, pelayanan) dengan orang lain; (2) koinonos artinya teman, kawan, rekan, mitra, sekutu (salah seorang) yang berpartisipasi dalam (pelayanan, penderitaan, pengorbanan, perjuangan) dengan orang lain. Koinonos dalam arti seperti inilah yang Rasul Paulus pergunakan dalam 2 Korintus 8:23: eite huper Titou, koinonos emos kai eis humas sunergos (Titus adalah temanku yang bekerja bersama-sama dengan aku untuk kamu) (terjemahan LAI).

Selain itu, koinonos juga berarti “tunangan, suami atau isteri, seorang yang telah menikah”. Namun arti seperti ini jarang ditemukan dalam literatur. Koinonos dalam arti yang dijelaskan pada butir (1) dan (2) di atas inilah yang tersirat dalam kata koinonos pada fragmen teks injil Filipus, sebab Maria Magdalena adalah salah satu dari antara perempuan-perempuan yang turut serta atau berpartisipasi dalam perjalanan dan pelayanan Yesus beserta murid-murid-Nya (Lukas 8:1-3). Berkenaan dengan ini, saya perlu memberikan koreksi atas kesalahan yang dibuat oleh Yakub Tri Handoko yang menuliskan kata Gerika, ‘gunh’, yang benar ialah ‘gune’.

            Untuk meninjau fragmen teks injil Filipus yang kontroversial itu, saya tidak mengikuti terjemahan yang dikutip oleh Yakub Tri Habdoko, melainkan saya mengutip terjemahan yang terdapat dalam buku Menjawab The Da Vinci Code, oleh Ben Witherington III, sebagai berikut: “Dan teman Sang (…) Maria Magdalena. (… mencintai)-nya lebih daripada cinta-Nya kepada (seluruh) murid-Nya (dan sering) menciumnya di (…)”. Perlu dijelaskan di sini bahwa fragmen teks ini rusak dan bagian-bagian yang ditempatkan di dalam tanda kurung, mencerminkan kesenjangan-kesenjangan di dalam manuskrip, di mana para cendekiawan telah menyisipkan bermacam-macam perkiraan (Ibid. Cetakan kedua, Juni 2006:41). Dalam injil Maria, berulang kali Yesus disebut “Sang Penyelamat” (Ibid. Hlm. 38,39). Memperhatikan hal ini, maka fragmen teks injil Filipus yang kontroversial itu dapat direkonstruksi sebagai berikut: “Dan teman Sang (Penyelamat) Maria Magdalena. (Sang Penyelamat mencintai)nya lebih daripada cinta-Nya kepada (seluruh) murid-Nya (dan sering) menciumnya di (…)”. Di dalam injil Maria juga terdapat frase: “(… mencintai)-nya lebih daripada cinta-Nya kepada (seluruh) murid-Nya (dan sering) menciumnya di (…)”. Frase ini pun dapat direkonstruksi menjadi: “(Sang Penyelamat mencintai)-nya lebih daripada cinta-Nya kepada (seluruh) murid-Nya (dan sering) menciumnya di (…)”. Kesenjangan terdapat pada ungkapan, “menciumnya di (…)”, yang menurut Ben Witherington III dapat diisi dengan kata dalam bahasa Koptik yang artinya kepala atau tangan atau pipi atau mulut (Ibid. Hlm.42).

            Apakah fragmen teks injil Filipus dan injil Maria yang dikutip dan direkonstruksi di atas ini memberi petunjuk atau kesan bahwa Maria Magdalena adalah isteri Yesus? Menurut Dan Brown, “ya”, karena Dan Brown ingin mengukuhkan asumsinya yang didasarkan pada lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci. Tetapi menurut saya, “Tidak”. Apabila kita pertimbangkan baik-baik fragmen teks injil Maria dan injil Filipus yang direkonstruksi di atas, kita hanya memperoleh petunjuk atau kesan bahwa Yesus lebih mencintai Maria Magdalena daripada murid-murid-Nya yang lain.

            Penonjolan figur Maria Magdalena (perempuan) dalam injil Filipus dan injil Maria sebagai ‘teman’ Sang Penyelamat (Yesus), yang lebih dicintai oleh Yesus daripada murid-murid-Nya yang lain, menyiratkan “citra perempuan yang menjadi korban paham misogini diangkat dan dipulihkan di dalam kasih Yesus sebagai Sang Penyelamat”. Di dalam injil Maria terdapat sebuah teks yang berbunyi sebagai berikut: “Tetapi Andreas menjawab dan berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Katakan apa yang (ingin) kalian katakan tentang apa yang dia (Maria) katakan. Aku, paling tidak, tidak percaya bahwa Sang Penyelamat mengatakan hal ini. Oleh karena pengajaran-pengajaran ini tentulah merupakan gagasan-gagasan yang aneh’. Petrus menjawab dan berkata perihal yang sama. Dia bertanya kepada mereka mengenai Sang Penyelamat: ‘Apakah Sang Penyelamat betul-betul berbicara dengan seorang perempuan tanpa sepengetahuan kita (dan) dengan sembunyi-sembunyi? Apakah kita akan berpaling kepadanya (Maria) dan semua mendengarkannya? Apakah Dia lebih menyukai (Maria) daripada kita?’ Lalu Maria menangis dan berkata kepada Petrus, ‘Saudaraku, Petrus, bagaimana menurutmu? Apakah engkau berpendapat aku memikirkan perihal diriku di dalam hatiku, ataukah aku berdusta tentang Sang Penyelamat?’ Lewi menjawab dan berkata kepada Petrus, ‘Petrus, engkau selalu tidak sabaran. Tetapi jika Sang Penyelamat menganggapnya berharga, siapakah engkau ini sehingga berani menolaknya? Pastilah Sang Penyelamat mengenalnya dengan baik. Karena itulah Dia mencintainya lebih daripada kita. Baiklah kita malu dan mengenakan manusia sempurna dan mengejarnya bagi diri kita sendiri sebagaimana diperintahkan-Nya, dan mengabarkan injil, tidak membangun peraturan baru atau hukum lainnya di luar apa yang telah dikatakan oleh Sang Penyelamat” (Ibid. Hlm. 38, 39).

            Teks yang dikutip di atas ini menggambarkan empat citra: (1) citra Andreas, yang mewakili konsepsi kaum laki-laki yang meremehkan peranan kaum perempuan; (2) citra Petrus, yang mewakili konsepsi kaum laki-laki yang mendominasi kaum perempuan, bahkan lebih ekstrem lagi yaitu menggambarkan kebencian kaum laki-laki terhadap kaum perempuan (misogini); (3) citra Maria, yang mewakili kaum perempuan yang diremehkan, direndahkan, dan dibenci oleh kaum laki-laki; (4) citra Lewi, yang mewakili konsepsi kaum laki-laki yang memiliki keinsafan akan otoritas Yesus sebagai Sang Penyelamat di dalam tindakan penyelamatan dan pemulihan harkat manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Hal ini, dalam injil Maria, jelas terlihat dalam ucapan Yesus kepada murid-murid-Nya yang lain, ketika mereka bertanya kepada Yesus: “Mengapa Engkau mengasihinya lebih dari kami semua?” Sang Penyelamat menjawab dan berkata kepada mereka, “Mengapa Aku tidak mengasihi kalian seperti mengasihinya? Ketika seorang buta dan seorang yang melek bersama-sama di dalam kegelapan, mereka tidak berbeda. Ketika terang muncul, maka orang yang melek melihatnya, dan dia yang buta akan tetap tinggal di dalam kegelapan” (Ibid. Hlm. 108).

            Citra Petrus yang secara ekstrem menggambarkan kebencian kaum laki-laki terhadap kaum perempuan sebagaimana dikemukakan pada butir (2) di atas, dapat kita lihat pula dalam injil Tomas, ucapan nomor 114. Dalam teks ini pula tersirat konsepsi penyelamatan Sang Penyelamat terhadap kaum perempuan menurut Gnostisisme. Perhatikan injil Tomas ucapan nomor 114 yang berbunyi: “Simon Petrus berkata (kepada para murid), ‘Buatlah Maria pergi meninggalkan kita karena wanita tidak layak untuk hidup’. Yesus berkata, ‘Dengar, Aku akan membimbing dia untuk membuatnya menjadi pria sehingga dia juga boleh menjadi suatu roh yang hidup yang menyerupai kalian, para pria. Karena setiap wanita yang menjadikan dirinya pria akan masuk Kerajaan Surga’” (Ibid. Hlm. 129).

            Berdasarkan kutipan-kutipan dari injil Maria dan injil Tomas di atas ini terlihat secara jelas bahwa Maria Magdalema bukan istri Yesus, atau Yesus tidak kawin dengan Maria Magdalena. Sebab jikalau benar Maria Magdalena adalah istri Yesus, maka murid-murid yang lain sudah tentu tidak akan mempersoalkan mengapa Yesus lebih mengasihi Maria Magdalena. Dan Petrus pun sudah tentu tidak akan menganjurkan kepada Yesus menyingkirkan Maria Magdalena dari rombongan murid-murid Yesus.

            Mengakhiri tulisan ini, sekali lagi saya tegaskan bahwa semua paparan di atas jelas-jelas dimaksudkan untuk menunjukkan secara komprehensif bahwa Maria Magdalena, dalam injil-injil Gnostik, bukan isteri Yesus, sebagaimana diasumsikan oleh Dan Brown yang hanya memfokuskan perhatiannya secara terbatas pada fragmen teks injil Filipus 63:32-36. Mudah-mudahan tulisan ini dapat merangsang Yakub Tri Handoko dan ‘Om Pandita banyak tahu’ untuk berapologia secara bertanggung jawab atas nama kaum Injili, yang, katanya, ‘cuci’ Dan Brown sampai dia rusak (Timex, Rabu, 21 Juni 2006).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar