Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 08 Agustus 2011

Percaya Pada Allah Dalam Konteks NTT


Catatan Pendahuluan 

JUDUL tulisan ini saya angkat dari judul tulisan Dr. Eben Nuban Timo yang dimuat di SKH POS KUPANG edisi tahun lalu, Sabtu 23 Oktober 2004. Opini yang dirajut oleh Dr. Eben Nuban Timo dalam tulisannya yang berjudul “Percaya pada Allah dalam konteks NTT” itu boleh dibilang sebuah eksposisi tentang hasil pergumulan beberapa teolog Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengenai iman dan keyakinan, yang dirumuskan sendiri dengan realitas pribumi di mana GMIT hadir.
                                                                                                                       
Eksposisi tentang “percaya pada Allah dalam konteks NTT” melalui media cetak umum POS KUPANG pada tahun 2004 yang lalu itu tentu dimaksudkan agar masyarakat luas dapat mengetahui bahwa “setelah lima puluh tahun lebih GMIT melayani dalam konteks NTT, GMIT sudah berani mengaku imannya kepada Tuhan yang satu dan tidak berubah, tetapi dalam bahasa, metafora dan ungkapan-ungkapan yang akrab dengan kondisi manusianya karena digali dari konteks hidup, budaya dan pengharapan orang-orang di mana gereja ada. GMIT tidak lagi sekadar mengaku imannya kepada Tuhan menurut apa kata orang, tetapi menurut kata hatinya sendiri berdasarkan pengalaman dan pergumulan konteksnya yang konkret”. Demikianlah sekelumit alasan, atau kata-kata pertanggungjawaban yang Dr. Eben Nuban Timo kemukakan dalam bagian pendahuluan tulisannya itu.   
                                                                                                                                               
Pergumulan beberapa teolog GMIT yang tergabung dalam panitia materi tentang “percaya pada Allah dalam konteks NTT” yang hasilnya dirumuskan dalam “Pengakuan Iman GMIT” itu patut mendapat apresiasi. Ia merupakan sebuah upaya dalam menjawab harapan yang pernah dikemukakan oleh H. Kreamer pada tahun 1934 ketika Hogere Theologische School didirikan di Bandung, “bahwa gereja-gereja di Indonesia wajib mempunyai tekanan yang otentik—bukan dari tangan kedua—mengenai iman dan keyakinan yang dirumuskan sendiri dengan realitas pribumi pada setiap waktu” (Imam Santoso. “Berteologia Dalam Konteks Indonesia”, Buletin Akademi Leimena, Jakarta vol.3/Th.I,1997:74). Namun demikian ada pertanyaan yang patut direnungkan : Apakah pergumulan beberapa teolog GMIT yang tergabung dalam panitia materi tentang “percaya pada Allah dalam konteks NTT “, yang hasilnya dirumuskan dalam “Pengakuan Iman GMIT” itu memang aktual dan relevan bagi GMIT di abad ke-21 ini? Untuk merenungkan/menjawab pertanyaan ini, kita harus memperhatikan secara saksama latar belakang pemikiran yang dikemukakan oleh Dr. Eben Nuban Timo tentang “perlunya GMIT menyusun pengakuan iman“. Untuk itu saya akan mencoba membuat beberapa catatan renungan menurut latar yang ditetapkan oleh Dr. Eben Nuban Timo.

1.      Dasar Historis

Dr. Eben Nuban Timo berkata : “Isi dan rumusan PIR (Pengakuan Iman Rasuli) dan Nicea-Konstantinopel sangat dikondisikan oleh kondisi religius dan politik yang dihadapi jemaat mula-mula. Kondisi religius dan politik yang kita hadapi saat ini sudah mengalami perubahan. Konteks kita tidak lagi mempersoalkan siapa Yesus Kristus dan dari mana Dia datang. Pertanyaan yang hangat dan sering mengganggu komunitas Kristen masa kini di Indonesia dan juga NTT adalah : mengapa banyak orang Kristen yang terlibat dalam kasus korupsi, kejahatan dan ketidakadilan? Apakah ada sesuatu dalam Injil yang dapat kita angkat untuk menjadi pegangan bagi orang percaya masa kini agar terhindar dari kejahatan-kejahatan sosial saat ini? Selain itu, saat ini kita juga berhadapan dengan pertanyaan mengenai karunia-karunia Roh, hubungan gereja dan agama-agama dalam masyarakat pluralis. Harus ada sesuatu dalam pengakuan iman  yang memberi tempat bagi perenungan akan soal-soal ini. Merumuskan sebuah pengakuan iman yang baru karena itu merupakan bagian dari pertanggungjawaban iman orang Kristen dalam konteks historis yang baru dan terus berubah. Singkat kata, kita tidak dapat mengulang begitu saja jawaban yang sudah diberikan kemarin untuk pertanyaan hari ini. Karl Barth berkata : kita tidak dipanggil untuk mengulang apa kata para nabi dan rasul. Kita dipanggil untuk percaya pada Allah di masa kini berdasarkan apa kata para nabi dan rasul. Secara historis, merumuskan sebuah pengakuan iman yang baru merupakan tanggung-jawab yang tidak bisa diabaikan”. Demikianlah alasan/pandangan Dr. Eben Nuban Timo tentang perlunya GMIT menyusun sebuah pengakuan iman yang baru.
                                                                                                                                               
Benar, kondisi religius dan politik yang kita (GMIT) hadapi saat ini sudah mengalami perubahan, tidak sama dengan kondisi religius dan politik yang dihadapi jemaat mula-mula. Namun demikian, Pengakuan Iman Rasuli sebagai sebuah ringkasan pasal-pasal kepercayaan gereja yang secara lengkap dirumuskan pada kira-kira abad kedua itu, tetap aktual dan relevan sepanjang abad.  Inti kepercayaan gereja sesuai kesaksian Perjanjian Baru sudah lengkap tersirat dalam Pengakuan Iman Rasuli maupun Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel. Unsur-unsur apakah yang masih kurang pada inti Pengakuan Iman Rasuli, sehingga ia dianggap tidak cocok lagi dengan kondisi religius dan politik yang dihadapi GMIT saat ini? Tidak ada!
                                                                                                                                               
Alasan GMIT menyusun sebuah pengakuan iman yang baru sebagai upaya untuk menanggulangi masalah “mengapa banyak orang Kristen terlibat dalam kasus korupsi, kejahatan dan ketidakadilan pada masa kini, serta masalah yang berkaitan dengan karunia-karunia Roh, hubungan gereja dan agama-agama lain dalam masyarakat pluralis”, menurut pertimbangan saya bukan merupakan alasan yang tepat. Penanggulangan masalah-masalah tersebut bukan terletak pada “rumusan Pengakuan Iman Rasuli” maupun “rumusan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel”, melainkan terletak pada “pembinaan iman jemaat (warga gereja)”. Dengan demikian, untuk menanggulangi masalah “mengapa banyak orang Kristen terlibat dalam kasus korupsi, kejahatan, ketidakadilan dan lain sebagainya itu”, GMIT bukannya harus menyusun sebuah pengakuan iman yang baru, melainkan GMIT harus mengintensifkan tugas pembinaan iman warganya secara terencana dan terarah. Wadah-wadah pembinaan yang ada seperti khotbah, katekisasi, pelayanan KA/KR, pemuda, wanita, kaum bapak, kelompok doa, paduan suara/vocal grup, keluarga sebagai wadah primer, perlu dimantapkan sebaik-baiknya bagi pembinaan iman. Selain itu, pendidikan teologi kaum awam juga merupakan wadah pembinaan iman yang terarah dan terencana. Wadah-wadah pembinaan iman inilah yang merupakan tempat yang paling cocok untuk merenungkan dan menggumuli masalah-masalah yang disebutkan di atas.
                                                                                                                                               
Berdasarkan apa yang dikatakan di atas ini maka pernyataan Dr. Eben Nuban Timo yang berbunyi, “Merumuskan sebuah pengakuan iman yang baru karena itu merupakan bagian dari pertanggungjawaban iman orang Kristen dalam konteks historis yang baru dan terus berubah”, bagi saya seyogyanya berbunyi, “Memantapkan pembinaan iman jemaat (warga gereja) merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab pelayanan GMIT bagi pendewasaan iman warganya dalam konteks historis yang baru dan terus berubah”.
                                                                                                                                               
Dalam surat 2 Petrus 1:5-7 dikatakan : Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang.” Apa yang disebutkan dalam surat Petrus sebagaimana dikutip di atas ini tidak ditentukan oleh sebuah rumusan pengakuan iman yang baru—apakah pengakuan iman itu berstruktur unitaris, binitaris, trinitaris, atau multitaris—melainkan ditentukan oleh upaya pemantapan pembinaan iman jemaat (warga gereja). Dan ini merupakan tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan.

2.      Dasar Kultur-Antropologis

Berkenaan dengan dasar kultur-antropologis, Dr. Eben Nuban Timo memberikan beberapa catatan sebagai berikut : “Orang Kristen dalam jemaat mula-mula memiliki gambaran tentang Allah sebagaimana dituangkan kepada kita dalam konsep pengakuan iman rangkap tiga yang muncul dalam PIR, PINK dan PIA. Mengapa rangkap tiga? H Ten Napel menjelaskan hal itu dengan sangat baik. Menurut dia, bagi orang-orang di benua Eropa dan yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani, bilangan tiga adalah simbol kesempurnaan dan keutuhan. Pengakuan iman kepada Allah disusun dalam kerangka berpikir rangkap tiga untuk menonjolkan karakter kesempurnaan dan keutuhan dalam Allah. Ini bertentangan dengan pola pikir orang-orang dalam budaya yang berbeda. Bagi orang NTT bilangan tiga dianggap sebagai angka yang berisiko. Jika orang NTT diajak foto bertiga ada ketakutan bahwa salah seorang di antara mereka akan terkena bencana. Memberikan oleh-oleh kepada rekan sekerja dengan jumlah di bawah tiga dianggap tidak sopan. Angka yang menunjuk pada kesempurnaan dan kepenuhan dalam budaya NTT adalah angka 4 ke atas. Jumlah ideal bibit yang harus ditanam dalam lubang adalah empat. Tiang-tiang utama yang menopang berdirinya sebuah rumah berjumlah empat buah. Memberitakan Allah dalam kerangka berpikir rangkap tiga dalam konteks budaya dan masyarakat yang demikian akan memberikan kesan bahwa ada sesuatu yang kurang dalam diri Allah. Kalau apa yang H M Kuiter katakan benar maka kita mau tidak mau harus merumuskan kembali paham kita tentang Allah dalam kerangka berpikir rangkap tiga yang kita terima dari masyarakat Atlantik Utara, jika kita ingin memberitakan Allah secara komunikatif dan efektik kepada masyarakat suku-suku di NTT. Inilah juga soal yang ikut digumuli dalam konsep pengakuan iman GMIT. Dalam pengakuan iman itu kita merumuskan pengakuan iman kita dalam kerangka berpikir rangkap empat : pernyataan iman kepada Allah, pernyataan iman tentang Alkitab, pernyataan iman tentang gereja, pernyataan iman tentang dunia”.
                                                                                                                                               
Demikianlah alasan/pandangan Dr. Eben Nuban Timo tentang rumusan pengakuan iman dalam kerangka berpikir rangkap tiga, dan pengakuan iman dalam kerangka berpikir rangkap empat menurut dasar kultur-antropologis orang NTT. Berkenaan dengan alasan atau pandangan di atas ini, saya ingin memberikan beberapa catatan.
                                                                                                                                               
Pertama, apabila alasan/pandangan Dr. Eben Nuban Timo tentang rumusan pengakuan iman kepada Allah yang disusun dalam kerangka berpikir rangkap tiga bertentangan dengan pola pikir orang-orang dalam budaya berbeda, dalam hal ini orang NTT karena bagi orang NTT bilangan tiga dianggap sebagai angka berisiko dan tidak sopan, maka implikasinya : doktrin Trinitas dan/atau kepercayaan kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) juga bertentangan dengan pola pikir masyarakat suku-suku di NTT, karena doktrin Trinitas dan/atau kepercayaan pada Allah Tritunggal itu lahir dari pemahaman tentang Allah dalam kerangka berpikir rangkap tiga.
                                                                                                                                               
Kedua, bilangan tiga dianggap sebagai angka yang berisiko dan jika orang NTT diajak foto bertiga ada ketakutan bahwa salah seorang dari mereka akan terkena bencana, adalah anggapan dan ketakutan yang berkembang dari cerita takhayul. Sejak kapan orang NTT mulai mengenal budaya berfoto? Apakah berfoto merupakan praktik budaya asli orang NTT sejak jaman para leluhur? Tentu tidak! Dengan demikian anggapan foto bertiga mengandung risiko karena ada ketakutan salah seorang akan terkena musibah itu tertular ke dalam benak orang NTT pada waktu-waktu belakangan, ketika budaya berfoto mulai dikenal oleh orang NTT. Cerita awalnya begini : kalau foto bertiga, biasanya orang takut berada pada posisi kedua atau posisi tengah karena ada anggapan bahwa orang yang berada pada posisi tersebutlah yang akan mengalami bencana (mati muda atau mati terlebih dahulu). Ini anggapan takhayul, sehingga apakah pantas anggapan ini dijadikan landasan argumentasi untuk menolak pemahaman tentang Allah, atau pengakuan iman kepada Allah yang disusun dalam kerangka berpikir rangkap tiga?

Memberikan oleh-oleh kepada rekan sekerja dengan jumlah di bawah tiga yang dianggap tidak sopan, juga berkembang dari praktik senda-gurau dalam dunia pergaulan di kalangan tertentu yang sudah sangat karib dan permisif terhadap lelucon yang bersifat porno. Di Timor misalnya, pinang melambangkan perempuan dan sirih melambangkan laki-laki. Dari makna simbol inilah kemudian muncul praktik senda-gurau pemberian oleh-oleh berupa pinang dan sirih yang berkonotasi tertentu. Praktik senda-gurau seperti ini dianggap sebagai lelucon dan “bumbu penyedap pergaulan” di kalangan anggota kelompok yang sudah sangat karib. Tetapi praktik senda-gurau seperti ini jika dilakukan terhadap orang lain niscaya akan menimbulkan masalah karena tersirat unsur ketidaksopanan. Yang menjadi pertanyaan ialah : apakah pantas praktik pemberian oleh-oleh seperti ini diangkat menjadi landasan argumentasi untuk menolak pemahaman tentang Allah, atau pengakuan iman kepada Allah yang disusun dalam kerangka berpikir rangkap tiga?
                                                                                                                                               
Ketiga, apakah benar angka 4 menunjuk pada kesempurnaan dan kepenuhan dalam budaya orang NTT? Di Sumba Timur, angka 4 menunjuk pada penyelenggaraan masalah-masalah sosial. Angka 8 menunjuk pada kesempurnaan, kegenapan/kepenuhan.  Di Rote, angka 3 menyatakan kesempurnaan, dan angka 9 juga menyatakan kelengkapan dan kesempurnaan. Di Belu (Wehali), angka 4 yang direpresentasikan oleh 4 tiang sudut rumah adat menyimbolkan kekuatan dan pemeliharaan kekuasaan. Empat tiang sudut melambangkan empat hamlet yang menjadi pendukung terkuat dan benteng pertahanan Wehali yaitu Kateri, Umakatahan, Kletek dan Fahiluka.

Empat tiang ume kbubu (rumah bundar) orang Meto harus dipahami dari “cosmic-idea” leluhur orang Meto. Leluhur orang Meto memandang dunia ini dapat habis dibagi atas 2 hal yang bertentangan : jantan-betina, timur-barat, langit-bumi, dll. Mereka memandang dunia dari ufuk Timur ke Barat. Timur namanya neonsaet, barat namanya neontes. Utara dan Selatan tidak mempunyai nama. Ufuk Timur dilihat berwarna terang, bercahaya, menyala (pinan, npin). Sebaliknya ufuk Barat berwarna gelap, hitam (misokan, metan). Karena itu, yang menghadapi ufuk Timur haruslah jantan yang bersifat mempertahankan, menyerang, menjelajah dan menaklukkan. Sedangkan yang menghadapi ufuk Barat yang tentram dan aman adalah si betina yang bersifat merawat, melindungi, merangkul, memelihara. Tetapi dua saja yaitu jantan dan betina yang menghadapi Timur dan Barat tidaklah cukup. Jantan dan betina harus mempunyai pembantu untuk mengisi Utara dan Selatan. Maka terbentuklah persekutuan empat yang saling menopang dalam menghadapi alam nyata dan alam gaib maupun dalam menghadapi musuh. Persekutuan empat ini direpresentasikan pada empat tiang induk (ni ainaf) ume kbubu.
                                                                                                                                               
Jumlah benih (4 butir) yang ditanam dalam lubang juga berdasarkan “cosmic idea” leluhur orang Meto sebagaimana diuraikan di atas. Empat benih yang ditanam dalam satu lubang itu saling menopang, saling melindungi, saling memelihara. Jikalau daya tumbuh satu benih gagal, maka masih ada tiga benih yang bertumbuh. Jika terdapat dua benih yang gagal bertumbuh/memberi hasil, masih terdapat dua benih lagi yang bertumbuh dan memberi hasil. Inilah kearifan leluhur orang Meto dalam bertanam jagung dan kacang-kacangan. Kearifan yang lahir dari “cosmic idea” yang dianut.
                                                                                                                                               
Keempat, apakah orang NTT tidak mengenal pemahaman rangkap tiga dalam budayanya? Uraian berikut ini dapat memberikan petunjuk.
(a) Dalam sistem pemerintahan suku Marobo, dikenal kekuasaan yang dilaksanakan oleh tiga pemimpin rumah inti Lolo Ubun, Dasi Ubun dan Bere Ubun yang pendirinya adalah tiga bersaudara Lolo Mau, Dasi Mau dan Bere Mau dari garis keturunan Dato Telu. Di setiap pemimpin rumah inti ada kepala suku laki-laki dan kepala suku perempuan yang disebut “tiga kepala suku laki-laki – tiga kepala suku perempuan” yang memerintah Marobo. Di Belu juga dikenal penyelenggara rumah inti yang disebut “ferik tolu katuas tolu” (tiga orang tua perempuan – tiga orang tua laki-laki).

(b) Orang Manggarai memiliki tiga nilai dasar yang direpresentasikan pada rumah adat mereka yang berbentuk kerucut dengan patung kepala manusia yang diberi bertanduk kerbau pada puncak kerucut rumah; kemudian sekeliling tanduk kerbau terdapat jeruji yang dihubungkan dengan rotan; dan di atasnya diletakkan periuk tanah. Secara keseluruhan, bangunan rumah adat orang Manggarai yang diuraikan di atas ini menyimbolkan tiga prinsip atau tiga nilai dasar orang Manggarai yakni “kerja keras, gotong royong dan percaya kepada Yang Mahakuasa”. Tanduk kerbau menyimbolkan kerja keras, jeriji yang dihubungkan dengan rotan menyimbolkan gotong royong, dan periuk tanah menyimbolkan kepercayaan kepada Yang Mahakuasa.

(c) Orang Ngada, menurut kepercayaan asli, mengenal wujud tertinggi atau dewa tertinggi yang disebut Gaedewa yang menguasai langit dan bumi, atas dan bawah. Dewa tertinggi ini juga menjelma sebagai Riga Telu atau “satu yang tiga”. Riga artinya “cabang dari yang asalnya satu” dan Telu artinya “tiga”. Ungkapan lainnya adalah Saga Telu. Saga artinya “jalan yang bercabang dari satu”. Dengan demikian, Riga Telu artinya “cabang tiga dari yang asalnya satu”. Dan Saga Telu artinya “jalan yang bercabang tiga dari asalnya satu”. Tiga dari satu ini melukiskan sesuatu yang sangat dasariah pada dewa Gaedewa. Dewa pertama disebut dewa Tego (dewa pencipta yang menyertai manusia di dunia serta dapat menguatkan dan melindungi manusia). Dewa Pamameze (dewa penyambut yang agung sebagai pencipta, yang berdiam di langit yang tinggi menanti manusia). Dewa yang ketiga disebut dewa Pali Pate (dewa pencipta yang menghukum manusia yang hidup menurut hawa nafsu melawan kehendak dewa).

(d) Leluhur orang Rote percaya adanya penguasa tertinggi di alam raya ini yang disebut Manetolain atau Lamatuak yang diakui sebagai Teluk Ama (tiga bapak) yaitu Mana Adu (Manadu) artinya pencipta, Mana Fe (Manfe) artinya pemberi berkat/rejeki, Mana Sula (Mansula) artinya penyelenggara, pengatur kehidupan manusia.            
                                                                                                                                               
Berdasarkan keseluruhan uraian bagian keempat di atas kita memperoleh petunjuk bahwa orang NTT mengenal pemahaman rangkap tiga dalam budayanya. Pemahaman rangkap tiga yang diuraikan pada butir (a) dapat disebut sebagai ketritunggalan dalam sistem pemerintahan/penyelenggaraan kekuasaan. Yang diuraikan pada butir (b) dapat disebut trilogi pandangan hidup. Dan yang disebut pada butir (c) dan (d) adalah tritunggal dalam kepercayaan pada wujud tertinggi yang menguasai langit dan bumi.
                                                                                                                                               
Dengan uraian ini, saya ingin mengatakan bahwa pandangan Dr. Eben Nuban Timo yang berbunyi :  “ .... pengakuan iman rangkap tiga yang muncul dalam PIR, PINK dan PIA....bertentangan dengan pola pikir orang-orang dalam budaya yang berbeda..., dalam konteks ini, “masyarakat suku-suku di NTT...,”, adalah pandangan yang tidak sesuai dengan dasar kultur antropologis masyarakat suku-suku di NTT.

3.      Dasar Kristologis

Berkenaan dengan dasar kristologis, Dr. Eben Nuban Timo berkata : “Dalam percakapan Kristen tentang Yesus Kristus ada dua hal yang harus diperhatikan secara seimbang : siapa Yesus Kristus dan apa pekerjaan-Nya. Dalam PIR, PINK dan PIA, tekanan sangat besar diberikan untuk menjawab pertanyaan siapa Yesus Kristus. Tentu saja hal ini penting. Tetapi jika kita perhatikan secara saksama profil Yesus Kristus yang muncul di sana adalah Yesus sebagai korban kekerasan. Aspek penderitaan Yesus Kristus untuk keselamatan manusia ditekankan dengan sangat kuat. Padahal kita tahu bahwa Yesus datang bukan hanya untuk menderita. Penderitaan dan kesengsaraan yang Ia alami hanyalah satu babak saja dalam misi yang Dia bawa. Hal menonjol lain yang dilaporkan kitab-kitab Injil mengenai Yesus adalah pengajaran-Nya kepada manusia. Pengajaran itu Ia tunjukkan melalui contoh hidup. Yesus memanggil manusia untuk hidup dalam persekutuan yang saling menghormati dan mengasihi, bersikap ramah terhadap sesama dan terhadap alam. Ia meminta kepada mereka yang kuat dan berkuasa untuk melayani dan membawa kelepasan kepada mereka yang tertindas dan berada dalam kemiskinan. Aspek yang satu ini tidak banyak mendapat perhatian dalam PIR, PINK dan PIA. Padahal ini justru yang menjadi pergumulan riil orang percaya di Indonesia secara khusus di NTT. Kristologi yang muncul dalam tiga pengakuaan iman oikumenis hanya mengacu pada siapa Yesus Kristus. Pekerjaan dan pengajaran Yesus Kristus kurang mendapatkan tekanan. Tekanan yang hanya diberikan kepada siapa Yesus memang penting. Tetapi ini dapat membuat orang percaya mengagumi Yesus. Penyembahan kepada Yesus dianggap sebagai suatu hal yang terpisah dari kenyataan hidup sehari-hari. Inilah yang perlu kita hindari dalam hidup kita....”

Berkenaan dengan pandangan yang dikutip di atas ini, saya ingin memberikan beberapa catatan.
                                                                                                                                               
Pertama, Pengakuan Iman Rasuli merupakan rumusan inti kepercayaan gereja Kristen. Inti kepercayaan gereja Kristen yang dirumuskan dalam Pengakuan Iman Rasuli itu ialah : (a) berkenaan dengan Allah Bapa; (b) berkenaan dengan Anak-Nya Yesus Kristus dan juga mencakup penderitaan-Nya demi penyelamatan manusia; (c) berkenaan dengan Roh Kudus dan mencakup gereja serta rangkaiannya (Karl Barth. The Faith of the Church, 1964:34,46). Dengan demikian, Pengakuan Iman Rasuli bukan sebuah percakapan tentang Yesus Kristus, bukan sebuah risalah tentang Yesus Kristus, di mana di dalamnya harus dimasukkan uraian tentang contoh hidup, pekerjaan dan pengajaran Yesus.
                                                                                                                                               
Kedua, menurut pertimbangan saya, sangat keliru apabila dikatakan bahwa “Penderitaan dan kesengsaraan yang Yesus  alami hanyalah satu babak saja dalam misi yang Yesus bawa”. Karl Barth berkata : “The Son of God, become man in his unity with man, could do nothing else than suffer in the situation of man. God and man meet. This necessarily means conflict. From the beginning we see in the history of Jesus that he is a stranger among men, is disregarded and despised, and that men are hostile to him.This hostility unceasingly grows worse until the cross. From the very beginning Jesus is suffering. The stable, Herod’s persecution, the flight into Egypt are its signs. We now see that Christ’s incarnation was the beginning of his suffering” (Ibid, hal. 75,76). Anak Allah menjadi manusia, dan dalam kesatuan-Nya dengan manusia tidak dapat berbuat lain selain menderita dalam keadaan sebagai manusia. Allah dan manusia berjumpa. Ini tentunya berarti konflik. Dari awal kita melihat dalam sejarah Yesus bahwa Ia adalah seorang asing di antara manusia, tidak dipedulikan dan dibenci, dan manusia memusuhi-Nya. Permusuhan ini tidak berakhir dan berkembang lebih buruk hingga salib. Sejak awal Yesus ada dalam penderitaan. Kandang, penganiayaan Herodes, penyingkiran ke Mesir adalah tanda-tandanya. Kita sekarang menyadari bahwa inkarnasi Kristus adalah awal penderitaan-Nya.
                                                                                                                                               
Dengan demikian, aspek penderitaan Yesus Kristus untuk keselamatan manusia yang dirumuskan dalam Pengakuan Iman Rasuli adalah wajar. Yang menjadi pertanyaan ialah : perlukah contoh hidup, pekerjaan dan pengajaran Yesus Kristus dirumuskan pula dalam pengakuan iman agar jemaat tergugah untuk menaati ajaran-ajaran Yesus sebagaimana mereka ucapkan dalam pengakuan iman? Menurut pertimbangan saya, tidak perlu, bahkan berlebih-lebihan. Pengakuan iman bukan ayat-ayat mantera yang serta-merta merubah perilaku seseorang. Pengakuan iman hanyalah ikrar kepercayaan kepada Allah, sebuah rumusan teologis gereja tentang Allah yang diimani. Ada yang berstruktur unitaris : “Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa”. Ada yang berstruktur binitaris : “hanya satu Allah saja yaitu Bapa, yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup”. Ada yang berstruktur trinitaris : “dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”, atau “kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian”. Dan ada yang multitaris sebagaimana nyata dalam Efs 4:4-6 :  satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua”.

Berdasarkan pertimbangan di atas ini, rumusan pengakuan iman yang GMIT pergunakan selama ini yaitu Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel tetap up to date. Yang perlu diperhatikan oleh GMIT adalah mengintensifkan tugas pembinaan iman warga gereja secara terencana dan terarah, seperti yang telah saya singgung di bagian awal tulisan ini. Melalui wadah-wadah pembinaan iman jemaat yang ada seperti khotbah, katekisasi, pelayanan KA/KR, pemuda, wanita, kaum bapak, kelompok doa, paduan suara/vocal grup, keluarga sebagai wadah primer pembinaan iman, contoh hidup, pekerjaan dan pengajaran Yesus dapat disaksikan dan diberitakan kepada warga gereja secara lebih mendalam. Melalui wadah-wadah pembinaan iman ini masalah dekadensi moral, masalah sosial kemasyarakatan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, masalah ketidakadilan dan lain-lain sebagainya dapat disoroti dalam terang Firman Allah. Melalui wadah-wadah ini warga gereja dibekali untuk hidup di tengah-tengah dunia kehidupan praktis, di manapun mereka ada dan berkarya, sebagai pengikut Kristus yang setia (A.G. Hadzarmawit Netti. Kristen Dalam Sastra Indonesia. BPK Gunung Mulia Jakarta 1977:16-19).

4.      Pengakuan Iman GMIT

Pengakuan Iman GMIT yang diturunkan oleh Dr. Eben Nuban Timo dalam opini berjudul “Percaya pada Allah dalam konteks NTT” (Pos Kupang, Sabtu, 23 Oktober 2004) terdiri atas 6 pasal yaitu : pernyataan percaya kepada Allah, percaya kepada Yesus Kristus, percaya kepada Roh Kudus; pengakuan bahwa Alkitab adalah Firman Allah, pengakuan bahwa gereja adalah rumah Allah, pengakuan bahwa baptisan dan perjamuan memeteraikan orang yang dibaptis sebagai milik Allah dan perjamuan adalah wujud persaudaraan jemaat dalam Kristus. Dengan demikian, pengakuan iman GMIT yang Dr. Eben Nuban Timo perkenalkan kepada masyarakat luas melalui Harian Umum Pos Kupang itu adalah pengakuan iman yang disusun dalam kerangka berpikir rangkap enam. Sedangkan menurut Dr. Eben Nuban Timo, rumusan pengakuan iman GMIT yang diperekanalkan di Harian Umum Pos Kupang itu adalah rumusan pengakuan iman yang disusun dalam kerangka berpikir rangkap empat : pernyataan iman kepada Allah, pernyataan iman tentang Alkitab, pernyataan iman tentang gereja, pernyataan iman tentang dunia.
                                                                                                                                               
Dalam Liturgi Ibadah hari Reformasi dan HUT GMIT 31 Oktober 2004 tahun lalu, pengakuan Iman GMIT mengalami beberapa perubahan/perbaikan sehingga terdiri atas tujuh pasal yaitu : pernyataan percaya pada Allah, percaya pada Yesus Kristus, percaya pada Roh Kudus; pengakuan bahwa Alkitab adalah Firman Allah, pengakuan bahwa gereja adalah rumah Allah, pengakuan bahwa dunia merupakan ladang kerja Allah, pengakuan bahwa baptisan memeteraikan orang yang dibaptis sebagai milik Allah dan perjamuan adalah wujud persaudaraan jemaat dalam Kristus. Dengan demikian, pengakuan iman GMIT yang diuji coba pertama kali pada ibadah hari Reformasi dan HUT GMIT tahun 2004 itu adalah pengakuan iman yang disusun dalam kerangka berpikir rangkap tujuh. Berkenaan dengan pengakuan iman GMIT ini saya ingin memberikan beberapa catatan.
                                                                                                                                               
Pertama, “Kami percaya pada Allah yang oleh Yesus disapa sebagai Bapa”. Begitulah bunyi larik pertama pernyataan percaya pada Allah dalam pengakuan iman GMIT. Pemakaian keterangan similatif, sebagai, sebaiknya dihilangkan. Keterangan similatif dipakai untuk menjelaskan kemiripan, kesetaraan antara suatu hal atau obyek dengan hal atau obyek yang lain. Apabila “Yesus menyapa Allah sebagai Bapa”, maka pernyataan ini memberi petunjuk bahwa “Allah bukan Bapa Yesus”. “Allah hanya disimilikan dengan seorang oknum bapa, sehingga Allah disapa oleh Yesus sebagai Bapa”. Ini bertentangan dengan Injil. Di dalam Injil, Yesus tidak menyebut Allah sebagai Bapa-Nya, melainkan Yesus menyebut Allah (adalah) Bapa-Nya (Mat 11:25-27; Mark 14:36), karena Yesus adalah Anak Allah (Mark 1:1; Mat 3:17; Yoh 14:17). Dan oleh karena Yesus menyebut Allah (adalah) Bapa-Nya, maka kita yang percaya kepada Yesus menjadi anak-anak Allah, sehingga kita pun dapat menyebut Allah Bapa kita (Roma 8:15; Gal 4:6; Mat 6:9; 7:11).
                                                                                                                                               
Sebutan “Bapa” yang ditujukan kepada Allah bukan dalam arti yang tepat, ayah seperti dalam Mat 2:22, atau arti tepat, bapa, seperti dalam Yoh 8:41; bukan juga dalam arti, bapa, yang ditujukan kepada leluhur laki-laki seperti dalam Mat 3:9; Yoh 8:39; melainkan sebutan “Bapa” yang ditujukan kepada Allah pencipta mengandung arti khusus, yaitu : “Bapa, yang daripada-Nya semua turunan yang ada di dalam surga dan di atas bumi menerima nama-Nya” (Efs 3:14-15); “Bapa, yang memuliakan Yesus, tentang siapa kamu berkata; Dia adalah Allah kami” (Yoh 8:24); “Bapa, yang lebih besar dari siapa pun” (Yoh 10:29); “Bapa di sorga, yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan selama-lamanya” (Mat 6:9-13). Dengan demikian, rumusan Pengakuan Iman Rasuli yang berbunyi, “Aku percaya kepada Allah Bapa yang Mahakuasa, khalik langit dan bumi” sangat tepat, baik dan benar jika dibandingkan dengan rumusan pengakuan iman GMIT yang berbunyi, “kami percaya pada Allah yang oleh Yesus disapa sebagai Bapa”. 
                                                                                                                                               
Kedua, “Ia memelihara kami seperti seorang ibu”. Larik kedua penyataan percaya pada Allah ini pun menimbulkan pertanyaan : siapa yang diibaratkan dengan seorang ibu? Apakah Ia (Allah) yang diibaratkan/ditamsilkan dengan seorang ibu? Ataukah kami (jemaat) yang diibaratkan dengan seorang ibu. Perlu dicatat pula di sini bahwa preposisi seperti, sama halnya dengan sebagai, adalah keterangan similatif sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama di atas. Memperhatikan struktur kalimat, “Ia memelihara kami seperti seorang ibu”, maka yang ditamsilkan seperti seorang ibu itu adalah kami (jemaat), bukan Ia (Allah). Padahal, kalau saya tidak salah tebak, penyusun rumusan pengakuan iman GMIT bermaksud mengibaratkan/menamsilkan Ia (Allah) seperti seorang ibu. Apabila ini yang dimaksudkan oleh penyusun rumusan pengakuan iman GMIT, maka struktur kalimatnya harus berbunyi : “Ia memelihara kami seperti seorang ibu memelihara anak-anaknya”. Struktur kalimat seperti ini disebut struktur kalimat bermajas simili. Perhatikan lagi contoh pernyataan berikut ini : “Berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya”. (Mat 23:37; Luk 13:34). Dalam pernyataan ini, “tokoh Aku yang rindu mengumpulkan anak-anakmu” disimilikan, ditamsilkan, diibaratkan dengan “induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya”. Tetapi apabila pernyataan berbunyi: “Berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu sama seperti induk ayam”, maka keterangan similatif dalam pernyataan ini menyarankan arti : “anak-anakmu” yang ditamsilkan dengan “induk ayam”. Berdasarkan tinjauan singkat ini maka rumusan pernyataan percaya pada Allah dalam pengakuan iman GMIT yang berbunyi “Ia memelihara kami seperti seorang ibu”, adalah rumusan pernyataan percaya yang rancu.
                                                                                                                                               
Ketiga, dalam pengakuan iman GMIT, khususnya pasal pernyataan percaya pada Yesus Kristus, tidak terdapat satu larik pun yang berisi pernyataan percaya bahwa “Yesus adalah Anak Allah”. Padahal menurut kodratnya, Yesus adalah satu-satunya yang disebut “Kudus, Anak Allah yang Mahatinggi”. (Luk 1:32), “Anak Allah” (Markus 1:1; Lukas 1:35), “Anak Tunggal Bapa” (Yoh. 1:14), “Anak Tunggal Allah” (Yoh. 3:18). Selain itu, dalam pengakuan iman GMIT tidak disebutkan pula “peranan Roh Kudus” dan “anak dara Maria” berkenaan dengan kelahiran Yesus. Tidak diketahui latar belakang pemikiran teologis penyusun pengakuan iman GMIT memandang “tidak berguna” (useless) peranan Roh Kudus dan anak dara Maria, sehingga Roh Kudus dan anak dara Maria dikucilkan dalam rumusan percaya yang bertalian dengan kelahiran Yesus. Padahal ke-Allah-an Yesus -- sebagaimana dirumuskan oleh penyusun Pengakuan Iman GMIT--“Ia adalah Allah di antara kami” dan “Ia benar-benar Allah dan benar-benar manusia” adalah mustahil tanpa peranan Roh Kudus yang turun atas perawan Maria (Lukas 1:34-35). Kelahiran Yesus, Anak Allah, yang disaksikan dalam Injil bukan kelahiran dari seorang perempuan tanpa nama atau perempuan yang nama dan identitasnya tidak jelas. Tidak. Yesus lahir dari kandungan seorang perempuan yang memiliki nama dan identitas yang jelas, di mana peranan Roh Kudus dan naungan kuasa Allah yang menentukan. Ya, karena peranan Roh Kudus yang turun atas diri perawan Maria dan karena naungan kuasa Allah yang Mahatinggi atas diri perawan Maria, maka Firman yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah (Yoh.1:1), menjadi manusia dan diam di antara kita (Yoh 1:14). Ini merupakan salah satu landasan argumentasi teologis yang kuat untuk membenarkan rumusan pengakuan percaya pada Yesus dalam pengakuan iman GMIT yang berbunyi: “Ia adalah Allah di antara kami/Ia benar-benar Allah dan benar-benar manusia”. Namun rupanya penyusun pengakuan iman GMIT memandang peranan Roh Kudus dan anak dara Maria tidak berguna dalam pengakuan percaya terhadap misteri inkarnasi Yesus Kristus. Dan ini menurut pertimbangan saya merupakan suatu cacat. Itulah sebabnya betapa tetap indah dan bernasnya rumusan pengakuan iman Rasuli dan pengakuan iman Nicea-Konstantinopel, jika dibandingkan dengan rumusan pengakuan iman GMIT.
                                                                                                                                               
Keempat, dalam pengakuan iman GMIT, pasal pengakuan tentang gereja dirumuskan sebagai berikut : “Kami mengaku bahwa gereja adalah rumah Allah/ Ia terbuka kepada dunia, kepada alam semesta,/ kepada sesama orang percaya, dan kepada masa depan./ Setiap warga gereja adalah saudara dan saudari/ Yesus Kristus adalah Tiang Induk dalam rumah itu. “ Ada beberapa catatan yang ingin saya berikan berkenaan dengan pengakuan gereja ini. (a) Gereja adalah kumpulan orang-orang percaya yang telah ditentukan oleh Allah bagi keselamatan kekal. Gereja dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Yesus Kristus sebagai batu penjuru. (Efs. 2 :20). Di dalam Dia (Yesus Kristus) tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan (Efs. 2 :21). Di dalam Dia (Yesus Kristus) kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh (Efs. 2:22). Berdasarkan Efesus 2 :20-22 dan juga 1 Kor. 3 :16-17 dan 2 Kor. 6 :16, sangat tepat dan benar jika gereja dimetaforakan dengan rumah Allah (Bait Allah, tempat kediaman Allah), sebagaimana dirumuskan dalam pengakuan iman GMIT “Kami mengaku bahwa gereja adalah rumah Allah”. Selain itu, adalah tepat dan benar jika Yesus Kristus dimetaforakan dengan batu penjuru. (b) Tetapi ternyata penyusun pengakuan iman GMIT memetaforakan Yesus Kristus dengan Tiang Induk. Tepatkah jika Yesus Kristus dimetaforakan dengan Tiang Induk? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu meninjau terlebih dahulu latar belakang pertimbangan teologis yang telah dikembangkan oleh para teolog GMIT sejak beberapa tahun yang lalu.
                                                                                                                                               
Berdasarkan keputusan Sidang Sinode GMIT XXVIII di Kupang (1995) maka sejak itu GMIT menggantikan logo stempel GMIT yang lama dengan logo baru. Konfigurasi yang ada pada stempel GMIT tersebut juga sarat makna. Lingkaran bulat telur dengan posisi tegak lurus; di bagian dalam lingkaran terdapat sebuah bangunan dengan salib di atasnya yang melambangkan GMIT sebagai rumah atau bangunan Allah. Bangunan tersebut ditopang oleh sebuah tiang induk (ni ainaf) yang melambangkan Kristus sebagai tiang induk dan dasar kebenaran. Dasar teologis penempatan tiang induk (ni ainaf) pada stempel GMIT sebagai simbol Kristus ialah 1 Tim 3:15, yang berbunyi Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran”.
                                                                                                                                               
Terhadap bagian Alkitab di atas, ada beberapa catatan teologis yang diberikan oleh Dr. B. Fobia.  Dikatakan bahwa menurut 1 Kor 3:11, dasar yang esensial adalah Kristus. Kristuslah yang mempersatukan bagian-bagian yang terpisah menjadi suatu persekutuan. Di dalam Efs 2:20 dikatakan bahwa : “jemaat dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus sebagai batu penjuru”. Maksudnya, Injil Kristus yang diberitakan oleh para rasul dan pemberitaan para nabi adalah dasar yang di atasnya orang-orang percaya dibangun menjadi satu rumah rohani. Di dalam bagian Alkitab ini Kristus disebut sebagai batu penjuru, yaitu batu yang ditempatkan paling sudut untuk mengikat batu-batu yang lain di dalam susunan satu bangunan. Batu yang padanya keteguhan terletak (Dr. B. Fobia, “Yesus Kristus Tiang Induk Rumah Allah”, ceramah pada Sidang Sinode GMIT XXVIII, Kupang 1995; dalam Ibadah Dan Misi (Disertasi) Dr. A. L. Netti. STT Jakarta 1998: 327-329 dyb).
                                                                                                                                               
Selanjutnya dikatakan bahwa dalam budaya kita (NTT) tiang induk lebih menonjol daripada batu penjuru. Di dalam ayat yang disebutkan di atas (1 Tim 3:15), fungsi tiang induk dikenakan pada keluarga Allah, yaitu jemaat. Dengan jelas jemaat disebut tiang penopang dan dasar kebenaran. Yang dimaksudkan di sini adalah tentang panggilan jemaat untuk menjadi tiang induk atau tiang penopang dan dasar kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah kehendak Allah, termasuk kehendak-Nya untuk menyelamatkan dunia. Jemaat mesti mengungkapkan kebenaran itu melalui penataan diri dan pelaksanaan pelayanannya, termasuk penataan diri dan penataan fungsi masing-masing anggota. Dalam arti itulah ia disebut tiang induk dan dasar kebenaran. Jemaat harus tetap berdiri teguh sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran.
                                                                                                                                               
Dalam hubungan dengan Kristus, tentu tidak tepat kalau jemaat dipandang sebagai tiang induk dan dasar kebenaran. Boleh saja kita mengatakan bahwa jemaat adalah tiang induk dan dasar kebenaran di dalam melayani Kristus sebagai tiang induk dan dasar kebenaran yang sejati. Dalam ungkapan suku-suku di Timor dapat dikatakan bahwa jemaat adalah tiang-tiang kecil yang tidak dapat berperan di luar ikatan yang hidup dengan Kristus sebagai tiang induk dan dasar kebenaran. Demikianlah pandangan Dr. B. Fobia, sebagaimana disentil oleh Dr. A.L. Netti dalam disertasinya (Ibid, hal,330).
                                                                                                                                               
Menurut Dr. A.L. Netti, upaya kontekstualisasi yang dilakukan oleh gereja mempunyai kaitan erat dengan misi yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Penjelasan teologis tentang simbol Yesus sebagai “tiang induk rumah Allah”, mengungkapkan dengan jelas arti gereja sebagai misi Allah dalam konteks daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekalipun demikian setiap upaya kontekstualisasi harus dipikirkan secara berhati-hati sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Penyebutan Kristus sebagai “tiang induk rumah Allah” yang dikaitkan dengan ni ainaf atau tiang induk dalam ume atau “rumah adat” Atoin Meto”  haruslah dipikirkan secara baik agar secara teologis dapat pula dipertanggungjawabkan. Maksudnya agar tidak disalah-pahami oleh jemaat dan anggota-anggota jemaat. Sebab ni ainaf atau tiang induk sebagaimana dijelaskan pada bagian lain karya tulis ini, bukanlah satu-satunya tiang penopang dalam ume Atoin Meto. Benar bahwa tiang induk atau ni ainaf memainkan peranan yang sangat penting dan menjadi pusat atau tempat di mana segala kegiatan ritual dilakukan, tetapi di samping tiang induk atau ni ainaf itu, masih terdapat tiang penopang atau tiang penyangga lain.
                                                                                                                                               
Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa ketika sebuah tiang induk atau ni ainaf dipancangkan, di dasarnya diberi alas perak atau emas sebagai penopang utama (dituturkan oleh B. Nitti, Th. Obhetan dan G. Tameno dalam penelitian di Amarasi). Hal ini membutuhkan penjelasan teologis yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebab bila tidak demikian, penggunaan tiang induk yang dikaitkan ni ainaf dalam rumah adat Atoin Meto sebagai simbol Kristus, dapat disalah-pahami oleh jemaat dan anggota-anggota jemaat. Setiap upaya kontekstualisasi hendaknya tidak sampai mengaburkan sikap dasar pengakuan iman jemaat dan anggota-anggota jemaat, bahwa “tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus” (1 Kor 3:11).  Yesus Kristuslah penopang, dasar kekuatan dan hidup gereja atau jemaat. Bila gereja atau jemaat disebut “tiang penopang”, hal itu karena misi yang dipercayakan kepadanya. Bukan karena Kristus tidak cukup kuat sehingga membutuhkan gereja atau jemaat sebagai tiang-tiang penopang kecil. Begitulah pandangan/telaah kritis Dr. A.L. Netti (Ibid, hal. 333-336), atas konsep tiang induk yang diangkat oleh GMIT menjadi ungkapan metafora untuk Yesus Kristus.
                                                                                                                                               
Menurut pertimbangan saya, pandangan/telaah kritis Dr. A.L. Netti tentang penggunaan ungkapan metafora tiang induk untuk Yesus Kristus sebagaimana dikutip di atas ini memang benar, dan seyogyanya dipertimbangkan secara serius oleh GMIT. Dan berkenaan dengan tiang induk yang dimetaforakan untuk Yesus Kristus dalam rumusan pengakuan iman GMIT, ada beberapa catatan yang ingin saya kemukakan.

(a) Pada rumah adat (ume) Atoin Meto terdapat empat tiang induk (ni ainaf). Tiang induk dekat pintu pada sisi kiri yang dipancangkan pertama disebut ni ainaf nakan (tiang induk kepala), atau ni le’u (tiang keramat). Apabila tiang induk ini yang dimetaforakan untuk Yesus Kristus, maka tiga tiang induk lainnya dimetaforakan untuk siapa? Atau, apakah keempat tiang induk pada ume Atoin Meto itu seluruhnya dimetaforakan untuk Yesus Kristus? Apabila jawaban atas kedua pertanyaan ini, “ya”, maka dapatkah penyusun Pengakuan Iman GMIT memberikan penjelasan teologis yang dapat dipertanggungjawabkan? Selain itu, dahulu kala, ni ainaf nakan (tiang induk kepala) atau ni le’u (tiang keramat) itu dipancangkan di atas sebuah batu datar yang disebut faut oklamnes yang menyimbolkan batu altar untuk berkomunikasi/berdoa kepada para leluhur. Pertanyaannya : Jika tiang induk dimetaforakan untuk Yesus Kristus, maka faut oklamnes dimetaforakan untuk siapa lagi yang di atasnya Yesus Kristus sebagai tiang induk rumah Allah bertumpu? 

(b) Pada rumah adat Welahi terdapat empat tiang sudut yang melambangkan empat hamlet : Kateri, Umakatahan, Kletek dan Fahiluka. Kateri dan Umakatahan dilambangkan sebagai tiang betina sedangkan Kletek dan Fahiluka dilambangkan sebagai tiang jantan. Apabila Yesus Kristus dimetaforakan dengan tiang induk, maka tiang induk atau tiang sudut manakah yang tepat dimetaforakan untuk Yesus Kristus, dan tiang induk atau tiang sudut yang lainnya dimetaforakan untuk siapa? Selain itu, dalam konstruksi rumah adat Wehali terdapat dua tiang agung yang disebut kakuluk rae dan kakuluk lor.  Kakuluk rae disebut kakuluk feto (tiang agung betina) dan kakuluk lor disebut kakuluk mane (tiang agung jantan). Apabila Yesus Kristus dimetaforakan dengan kakuluk lor yang disebut kakuluk mane, lalu siapakah lagi yang dimetaforakan dengan kakuluk rae yang disebut kakuluk feto? Dan apakah dapat diberikan penjelasan teologis yang dapat dipertanggungjawabkan? Argumentasi yang sama dapat diajukan pula untuk rumah adat Rote, Sabu, Sumba, Flores dan Alor dalam mempersoalkan ungkapan metafora untuk Yesus Kristus yang diangkat dari tiang induk atau tiang sudut rumah adat.

(c) Selanjutnya, apabila kita membenarkan anggapan beberapa teolog GMIT yang mengatakan bahwa dalam budaya kita (NTT) konsep tiang induk lebih menonjol daripada batu penjuru, maka niscaya sejumlah ayat Alkitab yang di dalamnya terdapat ungkapan batu dan batu penjuru yang dimetaforakan untuk Yesus Kristus harus dibaca tiang dan tiang induk. Dengan demikian, 1 Pet 2:6-7 harus dibaca begini : Sebab ada tertulis dalam Kitab Suci: "Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah tiang yang terpilih, sebuah tiang induk  yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan." (ayat 6). “Karena itu bagi kamu, yang percaya, ia mahal, tetapi bagi mereka yang tidak percaya: "Tiang yang telah dibuang oleh tukang-tukang bangunan, telah menjadi tiang induk, juga telah menjadi tiang sentuhan dan suatu tiang sandungan." (ayat 7). Begitu pula Efs 2:20 tentunya harus dibaca : yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai tiang induk.” Apabila Efs 2:20 dibaca seperti ini sesuai dengan konsep tiang induk yang dianut oleh GMIT, maka ini berarti GMIT telah mengalihkan Yesus Kristus sebagai batu penjuru (Efs 2:20) yang adalah dasar esensial gereja (1 Kor 3:11), lalu menempatkan para rasul dan para nabi sebagai dasar utama yang di atasnya GMIT menempatkan Yesus Kristus sebagai tiang induk untuk menopang bangunan rumah Allah yaitu gereja.

Catatan akhir

Sesungguhnya masih terdapat banyak hal yang dapat diangkat dari opini Dr. Eben Nuban Timo berjudul “Percaya pada Allah dalam konteks NTT” untuk didiskusikan. Namun mengingat jangan sampai tulisan ini terlampau panjang dan membosankan, saya terpaksa membatasi perhatian saya pada beberapa pokok yang telah dibahas dalam beberapa seri tulisan ini. Dan untuk mengakhiri tulisan ini, saya tertarik untuk mengutip pandangan Dr. A.L. Netti tentang kontekstualisasi sebagai berikut :
                                                                                                                                               
“Kontektualisasi adalah suatu keharusan. Banyak nilai-nilai berharga dalam kebudayaan kita. Tetapi kontekstualisasi di bidang liturgi, misalnya, tidak boleh membawa kita keluar dari perbudakan warisan masa lalu ke dalam perbudakan yang baru yaitu perbudakan budaya. Setiap upaya kontekstualisasi harus tetap memperhatikan iman jemaat dan tidak boleh menuntun mereka kembali ke konteks lama mereka. Karena itu, saya ingin tegaskan di sini, bahwa kita tidak mungkin menciptakan suatu liturgi atau tata ibadah yang murni pribumi demi dan atas nama kontekstualisasi. Teologis, hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan” (Dr. A.L. Netti. “Ibadah, Tata Ibadah, Misi dan Kontekstualisasi”. Berita GMIT edisi 8/tahun 2/Februari 2004:17).
                                                                                                                                               
Mudah-mudahan peringatan Dr. A.L. Netti sebagaimana dikutip di atas ini dapat menggugah kesadaran dan tanggung jawab kita sebagai warga GMIT di dalam mengembangkan teologi kontekstual, semisal “Percaya pada Allah dalam konteks NTT”. Mengapa? Karena kita (GMIT) tidak berada sendirian di sebuah pulau terpencil di samudera luas, di mana kita (GMIT) hidup dari diri sendiri dan untuk diri sendiri. Tidak. Kita (GMIT) berada dan dikelilingi oleh beraneka persekutuan/kelompok sebagai tetangga. Karena itu, apa yang kita (GMIT) buat dengan teologi kontekstual, harus dapat dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya demi kemuliaan Kristus.***
                                                                                                                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar