Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 08 Agustus 2011

LEONARDO DA VINCI (2)


PADA tanggal 19 Juni 2006 yang lalu, saya membaca sebuah percakapan jenaka: “Dialog santai Ama tukang batanya & Om Pandita banyak tahu” yang termuat di Harian Pagi Timor Express. Salah satu bagian dari percakapan jenaka tersebut sebagai berikut.

            “Ama: Satu pertanyaan lagi om Pandita. Kenapa itu buku diberi judul ‘The Da Vinci Code’? yang beta dengar dari orang-orang dalam bahasa Indonesia berarti ‘Kode Da Vinci’. Beta tahu ada banyak kode di jalan menuju pelabuhan Tenau tapi belum pernah dengar kode yang bernama Da Vinci. Selain itu setahu beta ‘Da Vinci’ itu nama toko dan merk sandal. Jangan marah ho om Pandita. Namanya juga orang kampung.”
“Pandita: Ama, kode yang dimaksud di situ bukan kera/monyet. Kode itu berarti ‘sandi’ atau tanda atau pesan rahasia. Sedangkan ‘Da Vinci’ juga bukan nama toko/merk sandal. Itu adalah nama orang yang lengkapnya bernama Leonardo Da Vinci, seorang seniman zaman Renaissance. Jadi ‘The Da Vinci Code’ atau ‘Kode Da Vinci’ adalah suatu simbol/gambar rahasia dari Leonardo Da Vinci.”
“Ama: Oh, jadi Da Vinci itu Leonardo pung fam.?”
            “Pandita: Ho, Ama ator sa…” (Esra Alfred Soru, The Da Vinci Code 1., Timex, Senin, 19 Juni 2006).

            Memang, banyak orang, sama seperti tokoh ‘Ama tukang batanya & Om Pandita banyak tahu’ dalam percakapan jenaka sebagaimana dikutip di atas yang beranggapan bahwa ‘da Vinci’ adalah fam (nama marga) dari Leonardo. Untuk itu, epitetion ‘da Vinci’ yang disandang oleh Leonardo, perlu saya jelaskan agar ‘Ama tukang batanya & Om Pandita banyak tahu’ maklum.

            Pada tulisan bagian pertama telah dipaparkan bahwa Leonardo lahir di Vinci dekat Florence. Vinci bukan fam (nama marga), melainkan nama tempat kelahiran Leonardo. Kata ‘da’ dalam bahasa setempat (di Italia), sama dengan kata depan ‘de’ dalam bahasa Prancis, yang artinya ‘dari’. Dengan demikian, Leonardo da Vinci artinya Leonardo dari Vinci. Nama ini memiliki latar belakang kisah. Hary S. Lucas secara halus mengatakan bahwa ayah Leonardo seorang notaris dan ibunya seorang wanita sederhana berprofesi sebagai pelayan (The Renaissance And The Reformation, 1960:298). Tetapi Keith Wilkes secara terang-terangan mengatakan bahwa Leonardo adalah anak tidak sah dari seorang pengacara dari Firenze (Florence) dengan seorang gadis petani (Agama Dan Ilmu Pengetahuan, 1982:28). Latar belakang kelahiran Leonardo seperti inilah yang menyebabkan Leonardo tidak menyandang fam (nama marga) ayahnya. Pada zaman Renaissance, karena kegeniusan Leonardo dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketenarannya sebagai seorang seniman terkemuka, maka Leonardo yang lahir di Vinci dekat Florence itu menjadi kesohor dengan nama Leonardo da Vinci. Epitetion ‘da Vinci’ disandangkan di belakang nama Leonardo, agar Leonardo da Vinci dapat dibedakan orang dari Leonardo Bruni (1370-1444), seorang ahli bahasa Latin dan pengetahuan Latin klasik, ahli bahasa Gerika dan ahli sejarah filsafat klasik, yang walaupun hidup sebelum Leonardo da Vinci lahir, namun tetap kesohor pada zaman Renaissance. Mudah-mudahan penjelasan singkat ini bermanfaat bagi ‘Ama tukang batanya & Om Pandita banyak tahu’.

            Percakapan jenaka antara ‘Ama tukang batanya & Om Pandita banyak tahu’ mengenai nama Leonardo da Vinci itu terkait dengan novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Kepada ‘Ama tukang batanya’ yang tidak tahu apakah The Da Vinci Code itu ‘makanan, obat-obatan, bisnis, atau apa’, ‘Om Pandita banyak tahu’ memberikan penjelasan: “The Da Vinci Code itu bukan makanan, bukan juga obat-obatan, bukan juga sebuah bisnis. Itu adalah judul sebuah buku/novel… Buku ini mengisahkan bahwa ternyata Leonardo da Vinci, orang yang melukis gambar Yesus adalah salah satu anggota dari kelompok ‘Priory of Sion’ (Biarawan Sion) yang bertugas menyimpan rahasia perkawinan Yesus itu. Meskipun demikian, Leonardo da Vinci telah memberikan kode-kode rahasia atau pesan rahasia dalam setiap gambarnya (terutama ‘Last Supper’ atau perjamuan terakhir Yesus dan murid-murid-Nya dan juga gambar Mona Lisa) sebagai petunjuk terhadap rahasia itu. Dari kode-kode Da Vinci inilah teka-teki yang ditinggalkan Jaques Sauniere terungkap.”

            Yakub Tri Handoko, dengan merujuk pada Cracking Da Vinci’s Code karya James Garlow dan Peter Jones, mengatakan bahwa ‘Priory of Sion’ memang pernah ada, tetapi bukan seperti yang digambarkan dalam The Da Vinci Code. Tidak ada rahasia besar yang diteruskan oleh organisasi ini. Dengan demikian, keterangan tentang keanggotaan Leonardo da Vinci dalam organisasi ini juga fiktif, sehingga yang namanya ‘Da Vinci Code’ juga tidak pernah ada. Sebelumnya dikatakan bahwa ‘Priory of Sion’ adalah sebuah kelompok sosial kecil yang bertujuan untuk mengusahakan perumahan yang murah di negara Prancis (Baca: Yakub Tri Handoko, Th. M., “Dekodenisasi ‘The Da Vinci Code’” 2. Timor Express, Selasa, 27 Juni 2006).

            Pernyataan di atas ini bisa menimbulkan perdebatan, dan tidak kuat dijadikan sebagai alasan untuk menyanggah ‘Da Vinci Code’. Pertama, ‘Priory of Sion’ adalah sebuah konven biarawan dan/atau biarawati yang hidup terpisah dalam suatu biara, yang mengkhususkan diri untuk beribadah/mengabdi pada Tuhan (dalam denominasi Kristen). Dengan demikian, tidak benar, jika konven ini dikatakan sebuah kelompok social kecil yang bertujuan mengusahakan perumahan yang murah. Kedua, Yakub Tri Handoko, sesuai sumber yang dirujuk, mengatakan bahwa ‘Priory of Sion’ didirikan pada tahun 1954 dan dibubarkan pada tahun 1957. Sedangkan dalam The Da Vinci Code, ‘Priory of Sion’ dihubungkan dengan Leonardo da Vinci, di mana dikatakan bahwa Leonardo da Vinci pernah menjadi anggotanya. Dengan demikian, untuk menyimpulkan bahwa apa yang dijelaskan oleh Dan Brown dalam The Da Vinci Code itu benar atau tidak, maka datanya harus kita cari pada sumber sejarah antara tahun 1452 sampai tahun 1519, yaitu masa Leonardo da Vinci hidup dan berkarya sesuai kegeniusannya. Data tentang Leonardo da Vinci telah saya paparkan pada tulisan bagian pertama. Karena itu, di bawah ini saya hanya akan memberikan ringkasannya.

1.      Pada tahun 1480, dalam usia 28 tahun, Leonardo da Vinci meninggalkan Florence dan pergi ke Milan. Di Milan, Leonardo da Vinci bekerja sebagai konsultan di mahkamah Milan, di samping sebagai seniman, sampai prajurit-prajurit raja Prancis, Louis XII menyerang dan menduduki Milan pada tahun 1499. Karena adipati Milan menyingkir ke pengasingan, maka Leonardo da Vinci kembali ke Florence.

2.      Pada tahun 1502, sebagai seorang insinyur militer, Leonardo da Vinci membantu Cesare Borgia dalam perang melawan pangeran-pangeran Romagna.

3.      Mulai tahun 1515, Leonardo da Vinci menghabiskan hari-hari hidupnya di mahkamah raja Francis I di Prancis sebagai konsultan, di samping sebagai seniman. Beberapa tahun kemudian, Leonardo da Vinci pergi ke Amboise atas undangan raja.

4.      Pada tahun 1519, Leonardo da Vinci meninggal dunia di Amboise (The Renaissance And The Reformation, 1960:270, 271, 298-301, 362).

5.      Leonardo da Vinci adalah seorang seniman, ilmuwan, mekanik, dan arsitek (Agama Dan Ilmu Pengetahuan, 1982:28).

6.      Dalam buku Renaissance dan Reformasi, tidak terdapat data tentang ‘Priory of Sion’. Berdasarkan data yang dikemukakan di atas ini, maka dapat dikatakan secara tegas bahwa: (1) Leonardo da Vinci bukan seorang seorang biarawan dan tidak pernah menjadi anggota konven biarawan, karena biarawan adalah orang yang mengkhususkan hidupnya untuk beribadah/ mengabdi pada Tuhan. (2) Kisah tentang ‘Priory of Sion’ dan Leonardo da Vinci sebagai anggota ‘Priory of Sion’ adalah fiksi seorang Dan Brown.

Lantas, bagaimanakah dengan ‘Da Vinci Code’ atau ‘Kode Da Vinci’, yang menurut Dan Brown tersirat dalam lukisan Mona Lisa dan The Last Supper? Ternyata ‘Om Pandita banyak tahu’ dan Yakub Tri Handoko terseret dalam plot yang dirancang oleh Dan Brown, dan rupanya hanya memantulkan kembali informasi dan tanggapan orang lain misalnya James Garlow dan Peter Jones, Richard Abanes, atau barangkali Darrell L. Bock yang menyanggah Dan Brown. ‘Om Pandita banyak tahu’ dan Yakub Tri Handoko asal bicara dan tafsir-tafsiran.

Menurut Leonardo da Vinci, “keindahan ideal menyatu dengan sosok kewanitaan.” Karena itu, di dalam lukisan, Leonardo da Vinci menampilkan sosok laki-laki tertentu dengan kelembutan kecantikan wanita. Ini dapat dilihat dalam lukisan The Last Supper, di mana Yohanes, seorang di antara murid yang dikasihi Yesus, yang duduk di samping kanan Yesus, ditampilkan dengan kelembutan kecantikan seorang wanita. Dalam lukisan The Last Supper yang asli, karya Leonardo da Vinci, Filipus yang berada pada urutan ketiga di samping kiri Yesus juga ditampilkan dengan kelembutan kecantikan wanita (Lihat lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci, dalam buku The Renaissance And The Reformation, 1960:261).

Berkenaan dengan teknik, Leonardo da Vinci sangat terampil melukis dengan teknik memendekkan garis-garis lukisan, yang dipadukan dengan keahlian Leonardo da Vinci sebagai seorang master psikologi yang benar-benar mendalami ‘mood’. Perpaduan antara konsepsi tentang keindahan dan teknik yang disebutkan ini tersirat dalam lukisan Mona Lisa. Selain dari pada teknik ini, Leonardo da Vinci sangat piawai pula dalam mengerjakan lukisan dengan teknik-teknik: pengungkapan penelitian yang cermat atas bentuk obyek yang dilukis, penataan obyek lukisan dalam bentuk triangle (segitiga), dan teknik chiaroscuro (penataan cahaya dan bayangan) yang sangat terampil. Kombinasi antara konsepsi tentang keindahan dan teknik-teknik melukis yang disebutkan di atas ini tersirat dalam lukisan The Last Supper (Ibid, Hlm. 299, 307).

Berdasarkan konsepsi tentang keindahan dan teknik-teknik melukis yang disebutkan di atas inilah, Leonardo da Vinci – sesuai “sense of mystery” dan “religious experience” yang bergetar di dalam dirinya – melukiskan momen-momen tertentu pada saat Yesus makan malam terakhir bersama murid-murid-Nya. Adapun momen-momen tertentu yang dilukiskan oleh Leonrdo da Vinci dalam lukisannya The Last Supper itu adalah: momen-momen yang dikisahkan dalam Injil Matius 26:21, 22, 25; Markus 14:18, 19; Yohanes 13:21, dan ayat 24 yang dihubungkan dengan murid yang disebutkan dalam ayat 23, yang dalam lukisan ditampilkan dengan kelembutan kecantikan wanita. Mengenai keterangan gambar/lukisan The Last Supper, telah dipaparkan dalam tulisan bagian pertama, yang saya sadur dari buku The Renaissance And The Reformation, edisi kedua, 1960, yang ditulis oleh Henry S. Lucas, Profesor Emeritus Sejarah Eropa pada Universitas Washington. Pembaca saya persilahkan untuk mencermati keterangan gambar/lukisan dalam kaitannya dengan momen-momen yang dikisahkan dalam Injil, sebagaimana disebutkan di atas. Dengan demikian, lukisan The Last Supper itu bukan lukisan yang berhubungan dengan momen-momen yang tertulis dalam Injil Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:14-38; Yohanes 13:25-30.

Memperhatikan uraian-uraian di atas ini, maka saya ingin mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut.

(1)   Dalam lukisan Mona Lisa tidak terdapat kode rahasia apa pun juga, seperti yang dibayangkan oleh Dan Brown bahwa “ada perpaduan (kesejajaran) antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan sebuah anagram yang merujuk pada dewa-dewa kesuburan Mesir kuno yang bernama dewa Amon dan dewi Isis, yang dalam piktograf disebut L’ISA” (Yakub Tri Handoko, “Dekodenisasi ‘The Da Vinci Code’” 2. Timex, Selasa, 27 Juni 2006). Pernyataan Dan Brown sebagaimana dikutip oleh  Yakub Tri Handoko, yang saya pungut lagi di atas ini adalah pernyataan fiksi (rekaan, khayal). Sebab yang menjadi subyek dari lukisan Mona Lisa, atau La Gioconda itu adalah seorang perempuan muda bernama Francesco Giocondo, isteri seorang penduduk asli Neapolitan. Leonardo sangat terkesan dan terpesona dengan kecantikan wajah perempuan tersebut, serta sifatnya yang menawan hati. Leonardo kemudian mengamat-amati wajah perempuan itu secara saksama, lalu melukiskannya di atas kanvas (The Renaissance, ditto, Hlm.301). Demikian pula pernyataan Dan Brown yang ‘Om Pandita banyak tahu’ katakan, “Gambar lain dari Leonardo da Vinci adalah Mona Lisa, di mana wajah orang yang digambarkan di sana hampir tidaklah jelas, apakah wajah laki-laki ataukah wajah perempuan. Hal ini dianggap sebagai lambang penyatuan suci lelaki dan perempuan seperti, Yesus dan Maria Magdalena”, adalah pernyataan fiksi (rekaan, khayal).
Selain itu, masih terkait dengan lukisan Mona Lisa, Yakub Tri Handoko berkata, “Da Vinci tidak pernah memberi nama lukisannya. Tidak heran, beragam orang menyebut lukisan ‘Mona Lisa’ dengan beragam nama. Sebutan ‘Mona Lisa’ sendiri baru muncul dalam buku karangan Giorgio Vasari tahun 1550 yang berjudul The Lives of the Artist. Jadi, nama ‘Mona Lisa’ baru ada sekitar 30 tahun setelah kematian Da Vinci” (Yakub Tri Handoko, ditto.). Pernyataan Yakub Tri Handoko bahwa Leonardo da Vinci tidak pernah memberi nama lukisannya, adalah pernyataan yang tidak benar. Sebab Leonardo da Vinci sendirilah yang memberi nama lukisannya Mona Lisa, yang berarti “pribadi yang berbudi luhur, berhati mulia”, karena Leonardo da Vinci melukis seorang perempuan muda yang cantik dan memiliki sifat yang menawan hati, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Nama lain dari lukisan Mona Lisa adalah La Gioconda, karena nama dari perempuan cantik yang memiliki sifat yang menawan hati itu adalah Francesco Giocondo. Dan apabila beragam orang menyebut lukisan Mona Lisa dengan beragam nama seperti kata Yakub Tri Handoko, hal itu disebabkan oleh karena salah silih. Seperti dalam sumber rujukan lain menyebut lukisan Mona Lisa dengan nama  Lisa Gerazdhini del Giocono (Timex, Kamis, 8 Juni 2006), yang sebetulnya Mona Lisa atau La Gioconda. Dengan demikian, tidaklah benar apabila dikatakan bahwa sebutan ‘Mona Lisa’ untuk lukisan yang dikerjakan oleh Leonardo da Vinci sekitar tahun 1503, 1504 itu baru muncul dalam buku Giorgio Vasari (1550) yang berjudul The Lives of the Artist, seperti kata Yakub Tri Handoko. Selain itu, benarkah Giorgio Vasari (1550) merupakan tokoh yang menonjol pada jaman Renaissance, ataukah hanya sebuah fiksi dan/atau pemberian nama yang salah? Sesuai data kepustakaan yang saya miliki, antara tahun 1502 sampai tahun 1550, tidak terdapat nama Giorgio Vasari, yang tercatat sebagai pelukis maupun penulis, selain Giorgione yang terkenal sebagai seorang pelukis yang berasal dari Venesia. Giorgione adalah pelukis pertama dari Venesia yang sangat fanatik menganut paham humanisme. Ia meninggal pada tahun 1510 (The Renaissance, ditto, hlm.310).

(2)   Dalam lukisan The Last Supper tidak tersirat kode rahasia seperti rekaan Dan Brown, yang dicelotehkan oleh ‘Om Pandita banyak tahu’, bahwa “dalam gambar perjamuan terakhir, orang yang berada di tangan kanan Yesus bukanlah Yohanes tetapi Maria Magdalena yang adalah isteri Yesus. Ini bisa dibuktikan dengan warna pakaian yang dikenakan Yesus dan Maria Magdalena. Yesus memakai jubah merah dengan selendang biru sedangkan Maria Magdalena memakai jubah biru dan selendang merah. Ini adalah lambang ikatan perkawinan. Jadi gambar Da Vinci dianggap memberikan petunjuk pada rahasia perkawinan Yesus itu” (Esra Alfred Soru, ditto; Yakub Tri Handoko, ditto).

Dapat dijelaskan di sini bahwa seniman-seniman lukis zaman Renaissance tetap mengikuti konvensi-konvensi seni Gotik yang menggunakan banyak simbol di dalam menggambarkan orang-orang kudus semenjak awal perkembangan gereja (Ibid, Hlm.189). Yesus tidak pernah dilukiskan duduk bersanding (side by side) dengan Maria Magdalena. Yesus biasanya dilukiskan duduk bersanding dengan Yakobus dan Yohanes, anak Zebedeus. Sedangkan Maria Magdalena dilukiskan dalam tiga penampilan: pertama, jika Maria Magdalena seorang diri yang dilukis, maka ia dilukis dalam penampilan seorang wanita berambut panjang terurai dan membawa botol minyak pengurapan; kedua, ketika Yesus menampakkan diri kepada Maria Magdalena, ia dilukiskan dalam keadaan berlutut/sujud, rambut terurai dan kusut/lusuh; ketiga, ketika jenazah Yesus diturunkan dari kayu salib untuk dikapani, Maria Magdalena dilukiskan duduk sambil memegang telapak kaki Yesus. Dalam lukisan The Last Supper, Leonardo da Vinci melukiskan Yohanes duduk di samping kanan Yesus, dan Yakobus duduk di samping kiri Yesus, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Mengenai pakaian Yesus yang dikatakan berjubah merah dan berselendang biru, serta Maria Magdalena yang dikatakan berjubah biru dan berselendang merah sebagai lambang ikatan perkawinan itu, adalah merupakan fiksi (rekaan, khayalan) seorang Dan Brown. Sebab, warna asli jubah dan selendang Yesus dan murid-murid-Nya yang dilukiskan oleh Leonardo da Vinci dalam lukisan The Last Supper sudah pudar/luntur beberapa waktu kemudian, setelah Leonardo da Vinci meninggal dunia. Ketika pelukis lain merenovasi lukisan The Last Supper, satu generasi kemudian setelah Leonardo da Vinci meninggal, barulah jubah dan selendang Yesus dan murid-murid-Nya diwarnai. Dengan sendirinya, warna yang diberikan tidak sesuai lagi dengan warna aslinya (Ibid, Hlm.300). Di sini, perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa yang duduk di samping kanan Yesus itu bukan Maria Magdalena (sebagaimana direka-reka oleh Dan Brown), melainkan Yohanes, murid yang dikasihi Yesus, yang Leonardo da Vinci tampilkan dalam lukisan dengan kelembutan kecantikan seorang wanita, sesuai dengan konsepsi keindahan yang dianutnya.

Tentang figur Yohanes yang tampak feminin, Yakub Tri Handoko berkata: “hal ini harus dipahami dalam konteks Renaissance. Orang-orang pada zaman itu terbiasa menggambarkan figur ‘murid yang ideal’ dengan wajah yang tampak sangat muda, rambut yang panjang dan wajah yang bersih dari kumis dan jenggot. Gambaran ini berguna untuk menunjukkan bahwa seorang murid masih belum berpengalaman dan perlu terus bersama dengan gurunya. Tak heran, wajah Yohanes dalam beberapa lukisan jaman Renaissance juga memiliki penampilan yang hampir sama dengan yang ada di lukisan The Last Supper. Gambaran tentang murid yang ideal untuk Yohanes sangat sesuai dengan karakter Yohanes di Injil Yohanes. Ia disebut dengan ‘murid yang dikasihi Tuhan’ dan paling cepat memahami sesuatu (Yoh 20:2, 4, 8; 21:7, 20)” (Yakub Tri Handoko, op.cit.2.). Sedangkan ‘Om Pandita banyak tahu’ mengatakan: “…Da Vinci adalah seniman zaman Renassance. Pada zaman itu para seniman biasanya melukis wajah orang yang masih muda dengan gambaran yang mulus seperti wajah seorang perempuan. Nah, hal yang sama juga dilakukan Da Vinci ketika menggambar wajah Yohanes karena ia adalah murid yang termuda dari Yesus. Itulah sebabnya wajah di samping kanan Yesus itu mirip perempuan. Jadi itu bukan Maria Magdalena. Dan Brown ini ternyata bukan hanya buta sejarah tetapi juga buta seni sekaligus ahli mendongeng” (Esra Alfred Soru. “The Da Vinci Code” 3. Timex, Rabu, 21 Juni 2006).

Pernyataan Yakub Tri Handoko dan ‘Pandita banyak tahu’ sebagaimana dikutip di atas ini tidak benar, dan ini menunjukkan bahwa keduanya tidak membaca, atau barangkali tidak memiliki buku The Renaissance And The Reformation, sehingga keduanya tidak mengetahui secara persis konsepsi tentang keindahan dalam kesenian yang dianut oleh Leonardo da Vinci. Apa lagi kalau berbicara mengenai konsepsi tentang seni yang dianut oleh Mantegna, Pietro Perugino, Fra Angelica, Luca Signorelli, dan Michelangelo Buonarroti. Sekadar informasi untuk dimaklumi Yakub Tri Handoko dan ‘Om Pandita banyak tahu’, di sini saya kemukakan konsepsi tentang seni yang dianut oleh Michelangelo Buonarroti. Bagi Michelangelo Buonarroti, “Siang adalah figur laki-laki. Dari balik pundaknya, wajah ancamannya menatap dengan seram. Matahari terbenam adalah figur laki-laki perkasa yang mulai tenggelam dalam beban kesukaran-kesukaran kemanusiaan yang mengelilinginya. Subuh, fajar, dini hari, adalah figur perempuan yang sedang berpaling dan mengangkat kepalanya, seakan-akan beberapa panggilan yang menyedihkan telah menyentuh kelemahannya dalam tidur tanpa mimpi, dan memanggilnya untuk terus menderita. Malam adalah figur perempuan yang penuh penyesalan dan kesedihan, terpikat sama sekali dalam kekelaman bayang-bayang maut, sehingga untuk meluputkan diri dari kelesuan abadi tampaknya mustahil” (Ibid. Hlm.305). Berdasarkan konsepsi tentang seni inilah, Michelangelo Bounarroti tidak sama, atau berbeda dari Leonardo da Vinci yang yakin bahwa “keindahan ideal berhubungan atau menyatu dengan figur perempuan, sehingga ia menggambar atau melukis figur laki-laki dalam tampilan kelembutan perangai dan kecantikan perempuan” (Ibid. Hlm.299). Pada zaman Renaissance, banyak seniman yang mengikuti konsepsi tentang seni yang dianut oleh Michelangelo Bounarroti maupun Leonardo da Vinci, Fra Angelica, dan lain-lain.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar