Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 04 Agustus 2011

EKONOMI KERAKYATAN

(Sebuah percakapan dengan Drs. H. E. Lay via telepon)

ADA pengamat yang berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan bukan suatu sistem ekonomi yang merupakan bagian dari mainstream economics. Dikatakan pula bahwa ide ekonomi kerakyatan memang khas Indonesia, merupakan bagian dari pemikiran politik ekonomi Moh. Hatta; jadi bukan pemikiran ekonomi murni sebagaimana layaknya pemikiran ekonomi dalam mainstream economics. Basis pemikiran ekonomi kerakyatan berasal dari gagasan Moh. Hatta tentang “demokrasi ekonomi”. Ketika Sukarno lebih menonjolkan demokrasi politik, Hatta tergerak untuk memberi keseimbangan dengan menampilkan gagasan demokrasi ekonomi, yaitu suatu praktik ekonomi yang memberi tempat pada aspek pemerataan. Gagasan utamanya adalah membangun ekonomi berdasarkan kekuatan rakyat dan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya…” (Frits O. Fanggidae. “Jangan Terkecoh Ekonomi Neolib dan Kerakyatan”, Timor Express, Senin, 1 Juni 2009, hlm.4).

Selain pendapat di atas, ada pula elite partai yang mengatakan bahwa “ekonomi kerakyatan yang saat ini banyak dibicarakan oleh Prabowo Subianto, lebih termotivasi oleh posisinya sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Dan itu belum cukup menjadi representasi atas keadaan ekonomi kerakyatan secara menyeluruh. Dikatakan bahwa ekonomi kerakyatan yang diusung Prabowo tersebut baru sebatas teori, implementasinya sangat diragukan karena belum tentu senafas dengan Pasal 33 UUD 1945” (Roy BB Janis. Baca: “Visi Ekonomi Capres Tak Sesuai UUD 1945”. Timor Express, Kamis, 4 Juni 2009, hlm.5).

Benarkah kedua pendapat tersebut di atas ini? Untuk memastikan bahwa kedua pendapat di atas ini benar atau tidak benar, saya ajak pembaca untuk mencermati sejarah masa lampau—bilamana, di mana, dan siapakah yang menggagas konsep “ekonomi kerakyatan”  bagi bangsa Indonesia, sebagaimana semangatnya tersirat dalam Pasal 33 UUD 1945.

Pertama, di Pangalengan, suatu tempat pegunungan di bagian selatan kota Bandung,  pada bulan Maret 1933 Soekarno menulis sebuah risalah berjudul “Mentjapai Indonesia Merdeka”. Di dalam risalah itu Soekarno mengungkapkan cita-cita perjuangannya demi mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan berkenaan dengan konsep demokrasi Soekarno berkata: “Demokrasi kita haruslah demokrasi baru, demokrasi sejati, demokrasi yang sebenar-benarnya pemerintahan rakyat…, di dalam urusan politik dan urusan ekonomi.  Demokrasi politik dan ekonomi inilah satu-satunya demokrasi yang boleh dituliskan di atas bendera partai. Dengan demokrasi politik dan ekonomi itu, maka nanti Marhaen bisa mendirikan ‘staat’ Indonesia yang tulen ‘staat’-nya rakyat; suatu ‘staat’  yang segala urusannya politik dan ekonomi adalah oleh rakyat, dengan rakyat, bagi rakyat” (Ibid, hlm.80, disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan). Dan berkenaan dengan “demokrasi ekonomi”, pada halaman 79 Soekarno menyebut  “kerakyatan-ekonomi”, yang kemudian popular dengan sebutan “ekonomi kerakyatan”.

Kedua, Pada “Permusjawaratan Pamong Pradja R.I. di Solo, tanggal 7 Februari 1946” Mohammad Hatta berkata: “Di sebelah demokrasi politik yang telah dicapai, mestilah diadakan demokrasi ekonomi, supaya rakyat memperoleh kenikmatan dari pada kerja bersama dalam penghasilan masyarakat. Demokrasi ekonomi adalah tuntutan pergaulan di masa datang… Kedaulatan Rakyat kita meliputi kedua-duanya: demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dengan mudah kita dapat mengemukakannya, oleh karena masyarakat kita tidak mengandung penyakit individualisme. Pada dasarnya masyarakat Indonesia masih bersendi kepada kolektivisme…. Segala usaha yang berat, yang tak terpikul oleh tenaga orang-seorang menjadi usaha bersama, dikerjakan menurut dasar tolong-menolong. Dengan ini nyatalah, bahwa kedaulatan rakyat yang kita ciptakan sebagai sendi Negara Republik Indonesia mengandung di dalamnya cita-cita demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.”  (Kumpulan Karangan IV, 1954:217). Dan berkenaan dengan Pasal 33 ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, Mohammad Hatta mengatakan bahwa perekonomian yang dilaksanakan di Indonesia bukanlah perekonomian kapitalis, melainkan perekonomian  “kooperasi, karena inilah yang sesuai dengan asas kekeluargaan…Ini tidak berarti bahwa semua badan dagang  yang tidak bercorak kooperasi harus diberantas, melainkan semangat kapitalisnya yang harus diberantas…” (Ibid, hlm.235).

Ketiga, Pada tahun 1983, ketika mencermati sejarah ekonomi nasional Indonesia sebagai sejarah tanpa perubahan, Profesor Sarbini Sumawinata menekankan kembali konsep “ekonomi kerakyatan”. Sarbini mengatakan bahwa cita-cita ekonomi kerakyatan mempunyai akar sejarah yang dalam dan kuat dalam Pasal 33 UUD 1945. Dikatakannya bahwa ekonomi kerakyatan bisa menjadi landasan ekonomi nasional. Menurut Sarbini, ekonomi kerakyatan mengandung tiga unsur: 1. populis; 2. berkeadilan sosial; dan 3. demokratis. Populis artinya perhatian yang dominan diarahkan untuk memberantas kemiskinan rakyat banyak. Investasi segala sumber daya dan tenaga dicurahkan untuk membangun rakyat guna mencapai tingkat kemakmuran dan kesejahteraan yang adil dan merata. Populisme adalah merupakan penolakan sekaligus sebagai pembedaan terhadap elitisme. Artinya, pembangunan yang populis itu tidak dan/atau bukan elitis. Sebaliknya, kalau kerakyatan itu memang tidak hanya populis saja tetapi dia juga mengandung demokrasi dan mengandung keadilan sosial (“Sejarah Ekonomi Kita Sejarah Tanpa Perubahan”. PRISMA. LP3ES, Agustus 1983:50-58).

Berdasarkan tiga cuplikan pandangan di atas ini maka ekonomi kerakyatan yang dikemukakan dan/atau diusung oleh pasangan capres-cawapres Mega-Prabowo dan JK-Wiranto adalah konsep demokrasi ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah diamandemen).  Konsep ekonomi kerakyatan dalam demokrasi ekonomi nasional ini tidak ada ruang bagi: 1. sistem “free-fight-liberalism” maupun “neoliberalism” yang sebenarnya adalah sistem individualistis kapitalisme; 2. sistem “etatisme”  dimana Negara menguasai dan mendominasi seluruh bidang ekonomi, seperti misalnya komunisme; 3. sistem monopoli yang merugikan rakyat/masyarakat (Sarbini, Ibid.).
Dalam tujuan mencapai kemakmuran berdasarkan konsep ekonomi kerakyatan, pemerintah harus menyelenggarakan lebih dahulu kepentingan rakyat yang terpenting, yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, Kepentingan yang lima ini adalah sangat penting bagi manusia dan bangsa yang beradab. Karena itu, yang harus mulai dikembangkan adalah pola pikir dan cara kerja induktif, yakni bekerja secara empirik, dimulai dengan kegiatan-kegiatan konkret, dan langsung berupaya memecahkan masalah-masalah mendasar yang dihadapi oleh rakyat berkenaan dengan masalah kemiskinan, kebodohan, penyakit/kesehatan.

Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat hanya dapat dicapai dengan memperbesar produksi dan memperbanyak usaha. Apabila inisiatif swasta dan pemodal asing dapat berjasa dalam hal ini, kesempatan dapat diberikan kepadanya dalam garis-garis yang ditentukan oleh pemerintah dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang tercantum dalam UUD Pasal 33 ayat 4 dan 5. Salah satu usaha yang terpenting dalam pembangunan ekonomi negara demi kepentingan ekonomi kerakyatan  ialah mengubah dasar ekonomi eksport menjadi ekonomi nasional untuk memperbesar tenaga pembeli rakyat. Memang, eksport barang-barang penghasilan rakyat  tetap perlu dan bahkan juga harus ditingkatkan. Akan tetapi sifatnya berubah.  Eksport tidak lagi menjadi tujuan yang utama, melainkan dilakukan sebagai pembayar barang-barang import yang diperlukan untuk pembangunan. Import pun harus berubah skala prioritasnya. Import barang-barang konsumsi harus diperkecil berangsur-angsur, dan import barang-barang produksi yang berguna bagi peningkatan produksi dalam negeri harus diperbesar/ditingkatkan. Untuk pembayar import barang-barang produksi itu, pemerintah harus merencanakan berbagai produksi dan industri buat eksport, yang menghasilkan barang-barang yang mempunyai pasar yang baik di luar negeri. Alangkah baiknya sebagian dari barang-barang eksport itu terdiri dari barang-barang industri, yang terbuat dari bahan-bahan yang dihasilkan oleh tanah air kita sendiri.

Memperhatikan apa yang dikemukakan di atas ini, rupanya sudah tiba saatnya sekarang para penyelenggara negara ini insaf untuk mengelola dan mengeksploitasi sumber daya alam di negeri tercinta ini secara arif, demi membangun ekonomi kerakyatan berdasarkan jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945. Para penyelenggara negara jangan terbuai dan terbius dengan ‘ratu kecantikan’ ekonomi pasar global yang namanya neoliberalisme, sebab ia (neoliberalisme) telah mendistorsi ekonomi pasar dengan keserakahan dan hegemoni pasar sehingga hanya berorientasi kepada penguasaan modal dan aset  saja. Akibatnya, terbentuklah suatu kekuatan pasar mapan (“established market forces”) yang kini merambah di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.  Ekonomi pasar yang terdistorsi oleh pengaruh neoliberalisme ini dalam perkembangannya telah menimbulkan kesenjangan yang melebar antara negara maju dan negara-negara berkembang, dan antarlapisan masyarakat di suatu negara sebagaimana terjadi juga di Indonesia. Kelompok pengusaha/konglomerat besar, yang menguasai dan memonopoli akses ke pusat-pusat permodalan dan kekuasaan, dan bermitra dengan jaringan kekuatan pasar mapan global. Mereka mengeksploitasi berbagai sumber daya yang ada di negara berkembang, di mana hasilnya lebih banyak dinikmati oleh negara-negara maju. Sementara itu, sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang berada dalam keterbelakangan dan kemiskinan, sehingga tidak memiliki daya beli, padahal mereka sesungguhnya merupakan pasar potensial bagi industri kekuatan pasar mapan.

Krisis global yang tengah dihadapi negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia, dewasa ini adalah akibat dari kebijakan pembangunan ekonomi neoliberalisme. Kredit macet dan utang luar negeri kelompok kekuatan pasar mapan, menjadi beban yang harus ditanggung oleh seluruh rakyat. Dan ketimpangan yang ditimbulkan oleh semangat eksploitasi  kekuatan pasar mapan telah memicu konflik antara pekerja dan pengusaha. Untuk mengatasi dampak krisis global di waktu-waktu yang akan datang, pemerintah harus mampu membangun landasan ekonomi jangka panjang yaitu reorientasi birokrasi, arah industri, peran ekonomi kerakyatan, pembangunan institusi hukum,  penegakan hukum yang cepat dan adil, pemberantasan korupsi tanpa tebang pilih, serta peniadaan praktik kolusi dan nepotisme.

Konsep dan peran ekonomi kerakyatan jangan disepelekan sebagaimana tercermin dalam pernyataan Dr. James Adam: “…konsep kerakyatan juga tidak pernah membuat rakyat sejahtera sejak jaman Moh. Hatta dengan demokrasi ekonomi sampai sekarang. Paham ekonomi kerakyatan itu hanyalah satu ide atau gagasan bahwa rakyat bisa sejahtera saat itu jika kegiatan ekonomi mereka disalurkan melalui Koperasi, sebab koperasi adalah lembaga ekonomi rakyat yang kokoh. Koperasi hanya salah satu alat atau sarana saja, bukan satu-satunya untuk mencapai demokrasi ekonomi….” (“Paham Ekonomi Neolib Atau Kerakyatan”. Timor Express, Senin, 8 Juni 2009, Hlm.4). Pernyataan Dr. James Adam sebagaimana dikutip di atas ini memberi petunjuk kepada saya bahwa Dr. James Adam melangkaui karangan-karangan Drs. Mohammad Hatta seputar demokrasi ekonomi, kedaulatan rakyat di bidang ekonomi, pers Indonesia dan pembangunan ekonomi, serta ekonomi Indonesia di masa datang, dan beberapa fasal ekonomi.

Mohammad Hatta tidak pernah mengklaim bahwa rakyat bisa sejahtera jika kegiatan ekonomi mereka disalurkan melalui koperasi, melainkan koperasi merupakan semangat sekaligus wadah bagi pembangunan ekonomi kerakyatan yang perlu dihidupkan dan didukung, bukan dalam jangka waktu singkat melainkan masa berpuluh tahun. Mohammad Hatta juga tidak pernah menihilkan peranan badan-badan semisal perseroan terbatas (P.T), kongsi, firma, peranan golongan saudagar, dan lain-lain badan usaha di bidang ekonomi dan perdagangan. Menihilkan keberadaan dan peranan badan-badan usaha ini sama artinya dengan menjerat leher sendiri. Kekuasaan dan peranan pemerintah sangat penting untuk mengatur berbagai rupa, yang mengenai kedudukan dan hidup perusahaan ke dalam, di dalam pembangunan ekonomi nasional. Cara mengatur pembangunan itu dapat disesuaikan dengan keadaan. Akan tetapi tujuannya tegas: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan uraian ini nyatalah, bahwa UUD kita tidak memberi ruang untuk berkembang bagi cita-cita ekonomi liberal. Pada segala penjuru negara mempunyai tugas untuk mengatur..(baca: Kumpulan Karangan IV. 1954:235,236,dyb.).

Benar, ekonomi kerakyatan bukan merupakan bagian dari teori ekonomi, tetapi tidak dapat disangkali bahwa ekonomi kerakyatan adalah sebuah konsep yang bertumpu pada Pasal 33 UUD 1945. Sehingga apabila kita berbicara tentang ekonomi nasional, atau ekonomi negara kita, tidak lain adalah ekonomi kerakyatan: ……untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan bukannya ekonomi jalan tengah atau “mix economy concept”  yang tercerabut akarnya dari Pasal 33 UUD 1945.***



.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar