Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 04 Agustus 2011

MENELUSURI SIKLUS GELOMBANG KRISIS DARI MASA KE MASA

Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti *)

Sejarawan Filipina J. R. M. Taylor pernah memberi nasihat agar sejarah masa lalu tidak boleh diabaikan. Nasihat ini sesungguhnya mau mendorong kita untuk tetap setia mencermati sejarah masa lalu. Sebab, setelah mencermati sejarah masa lalu, akan ketahuan bahwa pengertian dan pemahaman kita tentang masa kini sebenarnya sangat terbatas dan sangat kurang. Berbagai aspek sejarah tersembunyi dari pandangan kita. Kita tidak mempunyai akses yang cukup terhadap fakta atau kebenaran sejarah masa lalu, sehingga kesadaran sejarah kita makin tipis. Akibatnya, kita kehilangan apresiasi terhadap hubungan kita dengan masa lalu yang sesungguhnya mengandung banyak hikmah yang dapat menjelaskan berbagai duduk perkara masa kini.

Gelombang krisis moneter dan ekonomi yang menjadi suatu persoalan besar yang dihadapi bangsa-bangsa di dunia dewasa ini sebagai dampak dari krisis moneter yang menggejala di Amerika sejak tahun 2007 yang lalu, dan pengaruhnya mulai terasa pada tahun 2008 hingga tahun 2009 ini, sesungguhnya bukan merupakan persoalan yang berdiri sendiri atau muncul begitu saja. Ia mempunyai pertalian vibrasi dengan krisis moneter besar yang terjadi antara tahun 1929 dan tahun 1933, dan khususnya bagi bangsa Indonesia, pertalian vibrasi krisisnya terkait erat dengan krisis yang terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge tahun 1931—1936 sebagai penguasa kolonial daerah Hindia Belanda, dan berlanjut terus pada masa pemerintahan Tjarda van Sarkenborgh Stachouwer tahun 1937—1942.

Krisis besar pada tahun 1930-an itu tidak saja terjadi dalam bidang ekonomi-moneter, tetapi terjadi pula dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Perkembangan ekonomi-moneter pada masa itu serba sulit. Politik pemerintahan de Jonge yang bersifat represif-reaksioner menyebabkan timbulnya berbagai gejolak yang sangat memprihatinkan, dan perkembangan sosial-budaya mengalami kemerosotan yang luar biasa. Tindakan penangkapan, penahanan, larangan berkumpul yang dianggap menentang pemerintah diterapkan secara ketat. Aksi-aksi demonstrasi, kerusuhan, pembakaran rumah-rumah penduduk, toko-toko, perkebunan-perkebunan, penggarongan disertai pembunuhan dan sebagainya marak di mana-mana. Itulah fenomena yang mewarnai krisis besar tahun 1930-an di daerah Hindia Belanda yang kemudian menjadi Negara Republik Indonesia.

Seorang ekonom Amerika bernama Simon Kuznetz pernah menganalisis data sejarah perkembangan krisis ekonomi-moneter negara-negara industri maju dalam kaitannya dengan krisis besar ekonomi-moneter tahun 1930-an. Simpulan analisis Kuznetz memprediksikan bahwa setiap 18—25 tahun terjadi resesi jangka panjang setelah masa pertumbuhan yang tinggi. Masa resesi jangka panjang terjadi antara tahun 1950-an dan tahun 1960-an serta tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Dengan demikian, letupan resesi  jangka panjang akan muncul lagi dalam tahun 1990-an dan tahun 2000-an. Ini berarti, resesi ekonomi-moneter yang terjadi di beberapa negara di kawasan Asia Pasifik pada tahun 1997—1998/1999 di mana bangsa Indonesia mengalami letupan vibrasi krisis dalam bidang moneter dan ekonomi, merupakan vibrasi krisis yang bersiklus dengan vibrasi krisis besar yang terjadi pada tahun 1930-an sesuai dengan analisis Simon Kuznetz. Bahkan resesi moneter yang terjadi di Amerika pada tahun 2007/2008 yang terus meruak pada tahun 2009 ini, dan mempengaruhi perkembangan ekonomi-moneter negara-negara lain termasuk Indonesia, adalah merupakan letupan resesi jangka panjang yang berada dalam matrik analisis Simon Kuznetz.

Penyempurnaan teori vibrasi Stanley de Brath yang saya lakukan pada tahun 1994 untuk menganalisis siklus krisis besar tahun 1930-an terhadap sejarah perkembangan  bangsa Indonesia menunjukkan bahwa siklus krisis besar tahun 1930-an di bidang ekonomi-moneter dan sosial politik terus berlanjut sampai tahun 1949 sebagai siklus pertama. Kemudian tahun 1950-an sebagai siklus kedua, dan tahun 1960-an sebagai siklus krisis besar ketika. Dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh vibrasi krisis besar tahun 1930-an akan muncul sebagai letupan-letupan krisis dalam tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Dan mulai tahun 1994—1999 Indonesia akan  mengalami vibrasi siklus krisis besar tahun 1930-an, baik dalam bidang ekonomi-moneter maupun dalam bidang sosial, budaya, politik, dan keamanan.

Analisis data sejarah perkembangan bangsa Indonesia berdasarkan teori vibrasi mulai tahun 1908 sebagai tahun kebangkitan nasional sampai tahun 2008, saat vibrasi sejarah kebangkitan nasional Indonesia genap berusia seratus tahun, memberi petunjuk secara kuat dan meyakinkan bahwa setiap siklus krisis besar merupakan suatu vibrasi awal bagi akan terjadinya suatu perubahan radikal/revolusioner dalam tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Krisis besar yang terjadi pada tahun 1931—1936 ternyata disusul dengan pecahnya Perang Dunia II tahun 1937 yang berakhir pada tahun 1945, di mana pada saat itu bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Siklus krisis besar tahun 1930-an yang menembus tahun 1940-an dan mencapai puncaknya pada tahun 1949 diwarnai fenomena-fenomena: menjamurnya partai politik setelah dikeluarkannya Maklumat X oleh Wakil Presiden Moh. Hatta yang berdampak pada ketidakstabilan penyelenggaraan pemerintahan negara; percobaan pengambilalihan kekuasaan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh kelompok Tan Malaka; Agresi Militer Belanda I, terjadinya disintegrasi bangsa dalam tahun 1948, Agresi Militer Belanda II sehingga kota Yogyakarta diduduki, terbentuknya Pemerintahan Darurat RI, Serangan Umum 1 Maret 1949, dan pengakuan penyerahan kedaulatan Belanda kepada RIS pada 27 Desember 1949.

Siklus krisis kedua pada tahun 1950-an diwarnai vibrasi pembubaran RIS pada tanggal 17 Agustus 1950 dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; pembentukan daerah provinsi yang mempunyai otonomi; munculnya gerakan-gerakan separatisme (NII, DI/TII, dsb.); berkembangnya demokrasi liberal yang akhirnya digeser oleh Demokrasi Terpimpin setelah dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan “kembali ke UUD 1945”. Siklus krisis ketiga tahun 1960-an diwarnai vibrasi Trikora, vibrasi Dwikora, vibrasi G-30-S/PKI, penumpasan G-30-S/PKI, vibrasi lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966; pengalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tahun 1967; penetapan Jenderal Soeharto menjadi Presiden lima tahun pada tahun 1968; dan vibrasi pencanangan tonggak pembangunan nasional pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1969.

Dalam tahun 1970-an dan tahun 1980-an siklus krisis besar tahun 1930-an muncul dalam bentuk letupan-letupan krisis ekonomi moneter secara singkat namun tajam dibarengi dengan kemelut politik secara sporadis. Letupan krisis ekonomi moneter terjadi pada tahun 1974/1975 dan tahun 1980—1983, sedangkan kemelut politik yang terjadi antara lain lahirnya massa  kritis (sekumpulan orang yang tajam dalam penilaian) menentang kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1970-an yang beroposisi terhadap pemerintah, karena melihat bahaya utama yang bakal dihadapi bangsa adalah kekuasaan pemerintah atau pemimpin yang tidak dibatasi sehingga telah menimbulkan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakan-tindakan yang represif. Kemelut politik lainnya yang terjadi misalnya Peristiwa Malari, pergolakan Timor Timur, demonstrasi mahasiswa menentang pencalonan ulang Jenderal Soeharto menjadi presiden pada tahun 1978, kasus Daud Beureueh, Kasus Tanjung Priok, Kasus Lampung, Lahirnya Kelompok Petisi 50 yang secara tegas berseberangan terhadap pemerintahan Soeharto, dan Kasus Aceh/Tragedi Talang Sari yang dipimpin oleh Warsidi pada tahun 1989.

Analisis data perkembangan sejarah Indonesia berdasarkan teori vibrasi menunjukkan bahwa vibrasi krisis besar tahun 1930-an bersiklus secara utuh antara tahun 1994—1999, bahkan letupannya menembus tahun 2000. Gejala krisis besar yang diwarnai berbagai tindak kekerasan/kebrutalan sebagaimana telah diuraikan di atas akan disusul dengan suatu perubahan radikal dalam tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Ternyata teori vibrasi ini tidak meleset, sebab dalam  tahun 1998 Jenderal Soeharto yang terpilih menjadi presiden dalam sidang umum MPR bulan Maret terpaksa lengser pada tanggal 21 Mei 1998, karena tuntutan gerakan reformasi yang merebak di tengah-tengah gelombang krisis ekonomi moneter dan krisis sosial politik yang menerpa bangsa Indonesia.

Wakil Presiden B. J. Habibie yang sebenarnya sesuai dengan konstitusi pada waktu itu harus menjalankan tugas kepresidenan sampai tahun 2003, karena tuntutan gerakan reformasi, dibatasi masa tugasnya hanya sampai tahun 1999. Sebab gerakan reformasi mendesakkan tuntutan agar pemilihan umum dan sidang umum MPR harus diadakan pada tahun 1999 guna menetapkan GBHN dan memilih presiden serta wakil presiden yang lebih demokratis. Perlu dicatat di sini bahwa dalam tulisan saya berjudul, “Menghadapi Gelombang Depresi, Bagaimana Sikap kita” (DIAN, 08 Januari 1999), sepuluh tahun yang lalu, telah saya katakan bahwa berdasarkan teori vibrasi letupan-letupan krisis masih akan muncul pada tahun 2001—2006 dan tahun 2010—2015. Sementara tahun 2007—2009 merupakan suatu kurun waktu yang memiliki vibrasi transisi yang sangat peka dan rawan.

Letupan-letupan vibrasi krisis besar yang terjadi pada tahun 1998 yang menembus tahun 2000 yang sangat memasygulkan antara lain: timbulnya pergolakan-pergolakan yang bernuansa sara, konflik Ambon, konflik Poso, teror bom terjadi di beberapa tempat di Indonesia dalam tahun 2000—2007;  Presiden Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi Presiden RI pada Sidang Umum MPR pada tahun 1999 terkena “impeachment” dan diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden oleh MPR RI pada tahun 2001, dan digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri; bencana alam dahsyat yang memasygulkan: Gempa dan Tsunami Aceh yang menginspirasikan terciptanya perdamaian antara GAM dan Pemerintah RI, sebab GAM tidak mungkin beroperasi secara efektif dan mendapatkan simpati/dukungan rakyat Aceh yang menderita karena dilanda bencana dahsyat; Gempa Nias, Semburan Lumpur Lapindo, gempa tektonik Yogyakarta-Klaten; bencana banjir, tanah longsor, badai/angin puting beliung, kapal laut tenggelam, pesawat udara jatuh, tawuran massal di berbagai daerah, semuanya tak terpisahkan dari letupan vibrasi siklus gelombang krisis yang khas dalam perkembangan eksistensi bangsa Indonesia.

Di atas telah disebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2010—2015 masih terbuka peluang munculnya letupan-letupan krisis yang dipengaruhi dan ditentukan oleh kerawanan yang tersirat dalam vibrasi tahun 2007—2009. Kerawanan utama yang tersirat dalam vibrasi tahun 2007—2009 bagi bangsa Indonesia adalah pertama, bagaimana dampak resesi ekonomi-moneter yang terjadi di Amerika mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan moneter dan perekonomian bangsa Indonesia; kedua, bagaimana pelaksanaan dan hasil pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia dalam tahun 2009 ini. Yang dimaksudkan dengan hasil pelaksanaan pemilihan umum di sini ialah: siapa dan bagaimana kualitas para anggota legislatif dan anggota dewan perwakilan daerah yang terpilih untuk masa tugas 2009—2014; serta siapa dan bagaimana kualitas kepemimpinan presiden dan wakil presiden yang terpilih untuk masa bakti lima tahun ke depan (2009—2014). Faktor kedua inilah yang menentukan letupan vibrasi krisis yang tersirat dalam kurun waktu 2010—2014. Perlu dicatat pula bahwa letupan-letupan vibrasi separatisme tetap inheren dalam vibrasi eksistensi bangsa Indonesia, dan vibrasi Gerakan Aceh Merdeka tetap ada dan akan muncul pada waktu akan datang sesuai dengan luas siklus vibrasinya.

Kalau begitu, bagaimanakah sikap kita sebagai bangsa dalam menghadapi letupan-letupan vibrasi siklus gelombang krisis pada waktu-waktu yang akan datang? Pertama, menurut “siklus Simon Kuznezt”, resep untuk meniadakan krisis resesi dan depresi tidak ada. Sebab penyebabnya inheren dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dalam semua sektor. Itulah sebabnya, dalam menghadapi gelombang krisis resesi dan depresi kita tidak boleh terlalu mengharapkan yang terbaik, melainkan kita harus bersedia menghadapi dan menerima kenyataan yang terburuk. Ini tidak berarti bahwa kita pesrah dan menyerah, tetapi sabar dan tabah dalam menghadapi dan menanggulangi kenyataan.

Kedua, menurut teori vibrasi, krisis dalam bidang apa pun di setiap sektor kehidupan inheren dengan dinamika vibrasi sejarah perkembangan bangsa, serta turut ditentukan oleh vibrasi kepemimpinan dan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan demikian, gelombang krisis dapat dikurangi atau diperkecil dengan jalan memperbaiki vibrasi kepemimpinan, sekaligus memperbaiki sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Ini berarti, kita (setiap komponen bangsa) harus memiliki kesadaran sejarah dan sanggup memungut hikmah sejarah masa lampau. Sebab dengan memiliki kesadaran sejarah dan kesanggupan memungut hikmah sejarah masa lampau, kita yang sementara dilanda gelombang krisis pada masa kini dapat menahan diri untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan para pendahulu pada masa lampau yang merangsang letupan gelombang krisis semakin besar. Selain itu, dengan kesadaran sejarah dan kesanggupan memungut hikmah sejarah, kita dapat  terhindar dari usaha-usaha spekulasi dalam memperbaiki keburukan-keburukan dengan menciptakan suatu kebijakan yang baru, yang sepintas lalu, teoritis dianggap terbaik, padahal yang sebenarnya tidak mampu menjawab masalah sehingga keadaan menjadi lebih buruk lagi.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas ini maka kata kunci bagi kita (seluruh komponen bangsa) dalam menghadapi terpaan gelombang krisis adalah kesabaran dan ketabahan. Dengan kesabaran dan ketabahan kita dapat berpikir  kritis (tajam dalam penganalisaan) dan bertindak realistis (bersifat wajar sesuai dengan kenyataan) dalam setiap upaya menanggulangi terpaan gelombang krisis. Dengan kesabaran dan ketabahan, kita dapat mencermati dan membedakan antara fakta dan bukan fakta persoalan; kita dapat menentukan langkah-langkah kebijakan pemecahan persoalan dengan bijaksana sesuai dengan urut-urutan prioritas yang tepat berdasarkan nilai urgensinya.

Dengan kesabaran dan ketabahan, kita akan lebih mudah memelihara dinamika kekompakan dan solidaritas untuk mengerjakan dua tugas sekaligus: pertama, sebagai warga negara, kita berusaha untuk mengatasi setiap gelombang krisis secara efisien; kedua, sebagai warga kerajaan Allah, kita setia bembangun kehidupan kekal dengan waktu yang fana yang sedang dilanda krisis. Berdasarkan kedua pemikiran/pertimbangan ini, marilah kita berpartisipasi secara positif, kritis, realistis, dan bertanggung jawab untuk menyukseskan pemilihan umum yang akan dilaksanakan dalam tahun 2009 ini: baik pemilihan anggota legislatif dan anggota dewan perwakilan daerah, maupun pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar