Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 08 Agustus 2011

MARGINALIA ATAS “JANJI BARU” (2)


(Perjanjian Baru Versi GMIT)

SAYA sungguh sedih dan larut dalam perasaan kasihan ketika membaca JANJI BARU  (Perjanjian Baru versi GMIT). Mulai dari halaman 1, Tuhan Yesus pung Carita Bae iko Mateos yang mengisahkan tentang Tuhan Yesus pung daftar nene-moyang,  sampai halaman 908 yaitu halaman terakhir Kitab Dunya Model Baru yang ditutup dengan Yohanes pung pasán tarahir, hati saya tidak mengalami  “suka cita” dan “kedamaian”. Saya benar-benar merasa seperti berada di sebuah “dunia baru” yang sangat asing dan merisaukan, karena di dunia baru itu norma-norma kekudusan, keagungan, dan kekhidmatan telah mengalami erosi.

Di dunia baru itu saya tertegun, karena “Tuhan Allah pung Janji Baru”  yang dikumandangkan telah kehilangan “roh” , yang di kalangan jemaat GMIT di Rote Timur disebut “Dula Dale Li’u Tei”  (bahasa Rote-Ringgou), sebuah sebutan bagi “Roh Kudus”, yang mempunyai kuasa sangat luar biasa untuk menggugah dan mewarnai hati nurani manusia  berdosa, demi pertobatan dan demi memperoleh “Tesa Tei Ma Tama Dalek” (bahasa Rote-Ringgou), yang dalam bahasa Gerika disebut eirēnē,  dan dalam bahasa Ibrani disebut shalom = damai sejahtera.

Di dunia baru itu, simbol-simbol dan diksi sebagai wahana pemberitaan Injil Kristus telah banyak mengalami distorsi, sehingga menjadi semacam  parodi: semacam karya sastra yang dengan sengaja menirukan gaya atau penciptaan lain dengan maksud mencari efek kejenakaan. Saya lebih senang membaca rubrik Tapaleuk di Koran POS KUPANG, sebab di dalam rubrik itu dialek Kupang diekpresikan apa adanya  untuk mengkontekstualisasikan pesan-pesan pembangunan secara santai  namun menarik.

Menurut hemat saya, JANJI BARU (Perjanjian Baru versi GMIT) merupakan sebuah upaya kontekstualisasi Injil Yesus Kristus.  Memang, kontekstualisasi itu penting, karena ia terkait erat dengan masalah “cara mengkomunikasikan Injil”. Akan tetapi persoalan cara mengkomunikasikan Injil tidak berdiri sendiri lepas dari pengertian tentang sifat atau karakteristik Injil itu sendiri. Yang patut direnungkan sedalam-dalamnya ialah, apakah seluruh “alif-ba-ta” Injil Yesus Kristus harus dikontekstualisasikan? Apakah tidak ada “inti” atau “bagian tengah Injil Yesus Kistus” yang harus tetap dijunjung di dalam proses kontekstualisasi, demi keagungan, kekudusan, dan kekhidmatan penghayatan iman? Apakah semua “simbol” dan “diksi”  di dalam Injil Yesus Kristus yang “memperlihatkan” dan “menjamin” identitas kristiani secara universal tidak perlu dipertahankan dan/atau harus dikorbankan demi kepentingan kontekstualisasi secara harafiah?

Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pikiran saya seputar kontekstualisasi ini  membuat saya merasa tertarik terhadap pendapat dan pertimbangan Dr. A.L. Netti yang antara lain sebagai berikut: “kontekstualisasi adalah usaha untuk menerjemahkan berita Injil sedemikian rupa sehingga berita Injil dapat dipahami dan diterima oleh orang-orang yang hidup dalam konteks kebudayaan (bahasa, adat, agama) yang berbeda dari konteks pekabaran Injil sendiri. Ia (kontekstualisasi) adalah upaya penghayatan dan refleksi iman dalam suatu situasi atau lingkungan kebudayaan yang konkret. Ia adalah usaha untuk mengungkapkan iman dalam konteks tertentu, suatu usaha untuk memahami dan menghayati Injil  penyelamatan Kristus dalam kebudayaan yang konkret”  (“Ibadah, Tata Ibadah, Misi Dan Kontekstualisasi”, Berita GMIT edisi 8/Tahun 2/Februari 2004, Hlm.17).

Namun lebih lanjut Dr. A.L. Netti memberikan catatan: “Persoalan yang timbul dalam kaitan dengan berbagai upaya kontekstualisasi adalah: haruskah Injil Yesus Kristus sama sekali disesuaikan dengan kebudayaan? Haruskah Injil disesuaikan seratus persen dalam bentuk kebudayaan setempat? Haruskah Injil meresap sedalam-dalamnya ke dalam adat-istiadat, ke dalam ikatan-ikatan lama?”  Berkenaan dengan  persoalan yang diajukan dalam nada bergaya interogasi ini Dr. A. L. Netti berpendapat: “Kontekstualisasi tidak boleh membawa kita keluar dari perbudakan warisan masa lalu ke dalam perbudakan yang baru yaitu perbudakan budaya. Setiap upaya kontekstualisasi harus tetap memperhatikan iman jemaat dan tidak boleh menuntun mereka kembali ke konteks lama mereka”  (in.loc.cit).

Hampir senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dr. A. L. Netti sebagaimana dikutip di atas ini, Eka Darmaputera, Ph.D., berkata: “Menurut intuisi saya, kontekstualisasi tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa ada sesuatu yang bersifat universal. Kontekstualisasi bukanlah subyektivisme dan relativisme kultural. Teologi kontekstual adalah teologi. Itu berarti pasti ada “core” atau identitas kristiani yang berlaku secara universal. Dimana kita dapat mengatakan bahwa bila ia diubah maka seluruh identitas pun berubah pula. Ia tidak “kristen” lagi. Teologi kontekstual lalu hanya merupakan kontekstualisasi, bukan teologi. Ibarat sebuah bangunan yang sokogurunya dirubuhkan, maka yang ada kemudian adalah bangunan yang samasekali lain” (“Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam: Konteks Berteologi Di Indonesia. BPK GM 2004:13).

Ternyata apa yang dicatat oleh Dr.A.L. Netti dan Eka Darmaputera, Ph.D., sebagaimana dikutip di atas ini telah menjadi sebuah realitas dalam JANJI BARU (Perjanjian Baru versi GMIT) dalam dialek Kupang. Dengan kehadiran JANJI BARU , kita dituntun kembali ke konteks lama kita  untuk hidup, berpikir, dan mengejawantahkan pikiran dan perasaan sesuai karakteristik  dialek Kupang yang bersifat manasuka (sesuka hati)..

Karakteristik dialek Kupang ini tidak mempertimbangkan simbol dan diksi yang menjamin identitas kristiani di dalam Injil Yesus Kristus. Selain itu, nilai-nilai kekudusan, keagungan, dan kekhidmatan  bersifat relatif; tidak memerlukan sifat taat asas di dalam pemilihan serta pemakaian kata-kata dan ungkapan-ungkapan di dalam mengekspresikan gagasan.  Inilah yang dikontekstualisasikan kepada kita melalui JANJI BARU, sehingga “teologi kontekstual—seperti kata Eka Darmaputera—hanya merupakan kontekstualisasi, bukan teologi”. Akibatnya, suka atau tidak suka, Kitab JANJI BARU tidak lebih daripada sebuah buku ceritera tentang Tuhan Allah Pung Janji Baru dalam dialek Kupang, yang nilai-nilai kekudusan, keagungan, dan kekhidmatannya telah mengalami erosi. Bahkan bukan saja itu, melainkan pada banyak bagian dalam JANJI BARU,  isi “kerugma”  pun turut mengalami erosi dan distorsi. Perhatikanlah beberapa contoh yang saya turunkan di bawah ini.

1. Roh Kudus

Dalam JANJI BARU (JB), kata “kudus” dan “suci” telah mengalami “erosi”. Sebagai gantinya, kata “barisi” yang dipergunakan. Kata “barisi” berasal dari kata bahasa Indonesia, “bersih” , namun sebagai akibat dari proses pijinisasi yang mempengaruhi pelafalan dan penulisan kata, maka “bersih” dilafalkan dan ditulis “barisi”. Dengan demikian maka Roh Kudus berubah menjadi Roh Barisi. Dalam Yohanis 1:32-33 tertulis: “Ais, Beta pung Roh turun datang tenga di Dia. Itu Orang tu, yang nanti bawa Beta pung Roh Barisi”; dan dalam Yohanes 14:26  tertulis: “Ma lama-lama, Beta pung Bapa mau kirim datang satu Pambina, andia Dia pung Roh Barisi.”  (juga dalam Yohanis 1:32-33, dyl.). Kata “Penghibur” yang ditujukan kepada  Roh Kudus dalam terjemahan bahasa Indonesia (LAI) diganti pula dengan kata “Pambina”.

Tidak diketahui, apa alasan teologis yang dipakai oleh Tim Penerjemah untuk mengganti kata Roh Kudus dengan Roh Barisi, dan kata Penghibur diganti dengan  kata Pambina.  Kata Gerika, hagios, yang dalam bahasa Inggris berarti “set apart by (or for) the God, holy, sacred, memiliki arti/makna yang benar-benar “kudus”, “suci” dan rasa kata yang jauh lebih dalam dan lebih meresap jika dibandingkan dengan kata “barisi”. Sehingga apabila kata “kudus” dan “suci” dibuang dan/atau digantikan dengan kata “barisi”, harus ada alasan teologis yang kuat dan niscaya harus alkitabiah.

Selain itu, kata “pembina” yang dipakai untuk menggantikan kata “penghibur” jelas-jelas salah. Kata Gerika, parakletos, berarti: penolong (helper), penghibur (consoler), perantara (an intercessor); jadi, bukan pembina seperti yang diterjemahkan oleh Tim Penerjemah JB. Pertanyaan yang muncul ialah, mengapa kata “penghibur” , atau  “penolong” tidak dipakai dan dilafalkan sesuai dialek Kupang, “panghibur”, atau kata “penolong” dipakai dan dilafalkan “panolong”?  Apakah kata “penghibur” dan “penolong” sangat asing bagi orang Kupang?

Pada konteks lain di dalam JB, penyebutan Roh Kudus dengan Roh Barisi disebut/ditulis pula dengan Roh yang Barisi (Mateos 1:18;Yohanis 20:22; Utusan dong pung Carita 1:5; 10:44). Namun pada Kisah 10:45 (LAI) yang berbunyi: “bahwa karunia Roh Kudus di curahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga,” di dalam JB bukannya disebut Roh Barisi atau Roh yang Barisi, melainkan Tuhan pung Roh; padahal dalam teks Gerika, kata Roh Kudus tertulis dalam bahasa Gerika to pneuma to hagion (ayat 44) yang artinya Roh Kudus, dan tou hagion pneumatos (ayat 45) yang juga berarti Roh Kudus. Selain itu, dalam Yohanes 14:17 (LAI) sebutan Roh Kebenaran yang ditujukan terhadap Roh Kudus, dihilangkan oleh Tim Penerjemah dalam JB. Memang, secara praktis Roh Kudus bersinonim dengan Roh Allah dan Roh Tuhan. Namun demikian di dalam pemakaiannya,  sebutan-sebutan ini tetap terikat sesuai dengan konteks, sehingga setiap penerjemah yang baik harus bersikap taat asas.

Memperhatikan penjelasan di atas ini, maka apakah yang dapat kita catat?   Tampaknya Tim Penerjemah tidak berpijak pada alasan teologis-alkitabiah di dalam melakukan pekerjaan penerjemahan Tuhan Allah Pung Janji Baru. Tim Penerjemah hanya asal menerjemahkan, atau lebih tepat: Tim Penerjemah hanya melakukan parafrase isi Perjanjian Baru yang sudah ada ke dalam dialek Kupang, di mana telah dilakukan pijinisasi:  “Smana-knino’”  (Bahasa Orang Meto) diterjemahkan ke dalam dialek Kupang dengan “Roh Barisi” untuk menggusur sebutan “Roh Kudus” dari isi Injil Perjanjian Baru. Dalam bahasa orang Rote-Ringgou dikenal pula kata “Somane-makamoi” yang artinya “Roh barisi”. Tetapi kata ini jarang dipakai untuk menyebutkan “Roh Kudus”, karena kata “somane” juga berarti “jiwa” makhluk hidup yang fana. Itulah sebabnya para penatua dan utusan Injil di Rote-Ringgou memakai kata/ungkapan “Dula Dale Li’u Tei”  untuk menyebutkan  “Roh Kudus”.

Dengan disingkirkannya kata kudus dan juga suci, maka di dalam Kitab JANJI BARU semua simbol dan diksi bermakna “kudus/suci” berubah menjadi simbol dan diksi bermakna “barisi”. Bahkan keagungan dan kekhidmatan pun menjadi pudar. Kota Suci menjadi Kota Barisi (Mateos 4:5),  Kitab Suci menjadi Tulisan Barisi (1 Petrus 2:6), Yang Kudus dari Allah menjadi Tuhan pung Orang Barisi (Markus 1:24). Tetapi anehnya, untuk menjelaskan hal-hal yang bertalian dengan roh-roh jahat, misalnya dalam Markus 5:9, Tim Penerjemah tetap mempergunakan kata legion, bahkan menambahkan lagi satu kata, yakni batalyon, untuk menjelaskan banyaknya roh-roh jahat yang dimaksudkan.

2. Bos

Dalam JANJI BARU, kata “Bos” dipakai sebagai kata sapaan terhadap Yesus (Mateos 8:21,25; Yohanis 13:13, dyb.) dan kata “Bos Besar”  dipakai sebagai kata sapaan terhadap Allah (Lukas 10:21). Kata Bos dipakai sebagai kata sapaan untuk menggantikan kata Tu(h)an, yang diterjemahkan dari kata Gerika kurios.

Kritik terhadap penggunaan kata Bos buat Yesus dan Allah telah dikemukakan pula oleh Mesakh A.P. Dethan dalam opininya berjudul “Alkitab Perjanjian Baru Dalam Bahasa Kupang” (Timex, 7 September 2007). Namun di sini saya ingin memberikan beberapa catatan tambahan. Kata bos diserap dari kata bahasa Inggris “boss”, berasal dari kata bahasa Belanda (New York Dutch) “baas”, artinya kepala, atasan, majikan; mandor, kepala tukang, ‘werekbas’. Pada zaman penjajahan Belanda, kata baas yang berarti mandor,kepala tukang, ‘werekbas’  sudah terserap ke dalam dialek Kupang.

Kata bos  yang terserap dari bahasa Inggris, mulai populer dalam dialek Kupang sekitar tahun 1970-an. Anak-anak muda Kupang yang pergi ke Jawa, membawa serta subutan bos yang telah akrab dalam dunia pergaulan mereka, ketika mereka kembali ke Kupang. Pada waktu itu, kata bos berkonotasi negatif, sehingga pernah terjadi seorang buruh pantai di dipukul oleh salah seorang ajudan Gubernur, lantaran buruh itu menyebut Gubernur  dengan sebutan bos.  Dalam konteks tertentu, sebutan bos berkonotasi positif, misalnya sebutan yang ditujukan kepada orang yang memimpin atau mengepalai satu grup perusahaan yang besar, atau orang yang berkuasa membayar upah pekerja pada suatu perusahaan, atau terhadap orang kaya dan berduit. Namun di luar konteks itu, sebutan bos berkonotasi negatif, karena sebutan bos lazim dikaitkan dengan seorang pemimpin di dunia geng dan mafia.

Yang menjadi pertanyaan ialah, mengapa Tim Penerjemah JB tidak konsisten memakai kata Tuhan  sebagai sebutan untuk Yesus, padahal  dalam JB terdapat begitu banyak judul perikop yang Tim Penerjemah tetap menyebut Yesus dengan sebutan Tuhan antara lain: “Yohanis sarani sang Tuhan Yesus” (judul perikop Matius 3:13-16); “Setan dong pung bos goda sang Tuhan Yesus” (judul perikop Matius 4:1-11); “Tuhan Yesus mulai ajar di Galilea” (judul perikop Matius 4:12-17), dan masih banyak lagi yang dapat disebutkan. Inipun menunjukkan bahwa Tim Penerjemah JB tidak memiliki landasan teologis yang jelas di dalam berteologi kontekstual. Dan satu hal yang sangat menyedihkan ialah ternyata menyangkut dialek Kupang—sehubungan dengan pemakaian kata bos—kita   masih ‘dijajah’  dan didikte oleh pakar asing.

3. Pemakaian kata “bua” dan “boa”

Kata buah (bahasa Indonesia) bukan dilafalkan bua dalam dialek Kupang, melainkan boa. Kata boa memiliki makna tautan yang lain. Karena itu Tim Perjemah seharusnya menentukan sikap secara konsisten, apakah kata bua atau boa yang dipakai di dalam terjemahan JB.  Ternyata Tim Penerjemah tidak memiliki kepekaan, sehingga tidak menetapkan kata mana—“bua” atau “boa”—sebagai  kata yang harus dipakai secara tetap di dalam JB dialek Kupang sebagai ganti kata “buah”. Kedua kata ini, yaitu “bua” dan “boa” dipakai secara bersamaan di dalam suatu perikop bahkan di dalam satu ayat untuk menyatakan arti yang sama, yaitu “buah”.  Contohnya dapat kita baca dalam Yohanis 15: “sama ke tukang kabón potong buang samua cabang yang sonde baboa dong”, dan “sama ke tukang kabón gunting kasi pende satu cabang ko dia pung bua batamba banya. Kedua frasa ini terdapat dalam satu ayat, yaitu ayat 2.. Pada frasa kedua, kata bua yang dipakai oleh Tim Penerjemah, sebab kalau kata boa yang dipakai (yaitu, dia pung boa), niscaya akan menyarankan makna tautan yang lain. Perhatikan pula  Mateos 3:8: “sama ke pohon yang kasi kaluar bua yang bae”; Mateos 3:10: “samua pohon yang pung bua sonde bae”. Kalau kata bua pada frasa ini diganti dengan kata boa niscaya akan menyarankan makna tautan yang lain.

Contoh lain, misalnya Markus 11:12-14, yang judul perikopnya berbunyi, “Tuhan Yesus parenta satu pohon ko dia sonde bisa baboa lai”. Dialek Kupang, “baboa”, merupakan pijinisasi dari “berbuah” (bahasa Indonesia). Dengan demikian, “boa” merupakan pijinisasi dari “buah”. Dalam Markus 11:12-14 terdapat frasa-frasa yang berbunyi sebagai berikut: “Orang biasa makan dia pung bua”; “ko mau lia ada bua ko sonde”; “Ko memang bukan dia pung musim baboa na”; “Tagal lu sonde kasi lu pung bua sang Beta”; “lu sonde bisa kasi lu pung bua sang orang laen lai”. Sesuai dengan kaidah pijinisasi menurut dialek Kupang yang diterapkan oleh Tim Penerjemah JB, yaitu “baboa” = “berbuah”, maka niscaya “boa” = “buah”. Dan ini dipergunakan oleh tim penerjemah Janji Baru dalam Yakobus 3:12 yang berbunyi: “Conto laen lai: sonde mungkin pohon siri baboa poteka. Deng sonde mungkin jagong kasi kaluar boa anggor, to? Te pohon baboa iko dia pung macam.”

Apabila kita konsisten memakai dialek Kupang sebagaimana dijelaskan di sini, dan sesuai pula dengan Kamus Pengantar Bahasa Kupang  (Artha Wacana Press 2003) yang tidak mencatat entri bua, kecuali boa, maka frasa-frasa yang terdapat dalam Markus 11:12-14 sebagaimana dikutip di atas harus diterjemahkan begini: “Orang biasa makan dia pung boa”; “ko mau lia ada boa ko sonde”; “Tagal lu sonde kasi lu pung boa sang Beta”; “lu sonde bisa kasi lu pung boa sang orang orang laen lai.” Terjemahan ini niscaya akan benar-benar menggelikan hati, karena bagi orang Kupang, kata “boa” menyarankan makna tautan yang lain, sehingga nilai-nilai kekudusan dan khidmat menjadi bahan tertawaan belaka. Contoh ini sengaja saya tampilkan untuk menunjukkan karakteristik dialek Kupang yang bersifat manasuka—sebagaimana telah saya katakan di atas—sekaligus  mencerminkan prinsip kerja tim penerjemah dalam penerjemahan Janji Baru.


4. Perubahan yang mubazir

Ditilik dari latar belakang sejarah masuknya agama Kristen di Kupang dan perkembangan dialek Kupang sebagai jenis kreol bahasa Melayu-Indonesia  yang berhubungan dengan kata-kata yang berasal dari bahasa Alkitab, maka kata-kata seperti: Roh Kudus, Rohulkudus, Roh Suci; Tuhan, yang dilafalkan dengan ‘Tuan’ atau ‘Tuang’ pada konteks tertentu; malaikat, yang dilafalkan ‘malekat’; firman, yang dilafalkan ‘ferman’; Alkitab, Elkitab, Kitab Kudus, atau Kitab’elkudus; Taurat, yang dilafalkan ‘Torat’; Hukum Taurat, yang dilafalkan ‘Hukum Torat’; Bait Suci; Kristus, yang dilafalkan ‘Keristus’; Juruselamat, yang dilafalkan ‘Juruslamat’ dan ‘Jurusalamat’, Almasih, Almaseh, Masehi; hidup yang kekal, yang dilafalkan ‘idop yang kakal’; Jemaat, yang dilafalkan Juma’at, Jumat, dan Jum’at; Penatua; Penilik, diaken, koster; Penghentar Juma’at; nabi; imam; murid Yesus; iblis, setan; Perjamuan Kudus, Perjamuan Suci, Perjamuan Asa; baptis, sarani, sebenarnya sudah lazim dipakai dalam dialek Kupang.

Karena itu sangat mubazir jika Tim Penerjemah JB menggantikan kata kudus, suci dengan kata barisi; menggantikan sebutan Tuhan yang ditujukan kepada Yesus dan Allah dengan Bos dan Bos Besar; menggantikan malaikat dengan Tuhan Allah pung ana bua; menggantikan firman dengan Tuhan Allah pung Kata-kata; menggantikan Kitab Suci dengan Tulisan Barisi; menggantikan Hukum Taurat dengan Tuhan Allah pung Atoran; menggantikan Bait Suci dengan Ruma Sambayang Pusat;  menggantikan nabi dengan Tuhan Allah pung jubir; menggantikan imam dengan Kapala Agama; menggantikan murid-murid Yesus dengan Tuhan Yesus pung ana bua dong; menggantikan hidup yang kekal dengan idop yang batul yang sode tau putus-putus; dan menyebut Iblis dengan setan dong pung bos.  

Semua kata/ungkapan yang digusur oleh Tim Penerjemah JB itu telah menjadi semacam ‘identitas kristiani’ yang telah dikenal sejak berabad-abad di dalam ibadah jemaat. Kata-kata/ungkapan yang digusur itu memiliki makna spiritual yang lebih dalam daripada kata-kata/ungkapan yang dipakai oleh Tim Penerjemah. Termasuk kata-kata: gorden (Ibrani 9:3,4), risiko (Roma 1:25), masala (Roma 7:4), saraka (Titus 1:12), karitik (Titus 2:8), dukacita (Matius 5:4), fanatik (Utusan dong pung Carita 14:4), isprei (Utusan dong pung Carita 10:16), baroit (Dunya Model Baru 21:2). Sungguh aneh, jika kata-kata/ungkapan yang telah akrab dan mendarah-daging dalam ibadah jemaat dan dialek Kupang sejak berabad-abad lalu itu dihilangkan, lalu digantikan dengan kata-kata/ungkapan baru yang berkonotasi jenaka.***










Tidak ada komentar:

Posting Komentar