Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 22 Agustus 2011

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN (1)


Mitra Sepadan
ALLAH menjadikan manusia itu laki-laki dan perempuan (Kejadian 1:27). Penjadian manusia atas laki-laki dan perempuan dikisahkan secara khas dalam Kejadian 2:7,18,21-25. Berkenaan dengan penjadian manusia perempuan, Allah berkata: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (2:18). Manusia laki-laki mesti ada ’penolong yang sepadan’ dengan dia. Hal ini dipertimbangkan oleh Allah sebagai sesuatu yang niscaya (2:18,20). Atas dasar itulah manusia perempuan dijadikan dari salah satu rusuk manusia laki-laki (2:21,22). ‘Penolong yang sepadan’ inilah yang dinamai ‘perempuan’, sebab ia diambil dari laki-laki (2:23).

Perempuan adalah ‘penolong yang sepadan’ (Ibrani, Ezer kenegdo) bagi laki-laki’. Penolong dalam hal ini bukan berarti pembantu yang diperlakukan semaunya laki-laki, melainkan penolong dalam arti: ‘oknum/pribadi yang turut menyokong atau menyebabkan berhasilnya sesuatu…’ (one who contributes towards the success of…); atau penolong dalam arti ‘oknum/pribadi yang memberi makna untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu…’ (one who gives means for doing anything…), dan oknum yang  melengkapi kekurangan dari orang yang ditolongnya.

‘Sepadan’ dalam hal ini tidak berarti ‘cocok benar’ atau ‘persis benar’, sehingga perempuan itu dianggap cocok benar atau persis seperti laki-laki. Tidak. Yang ‘sepadan’ di sini berarti yang sudah selayaknya, yang sudah sepantasnya, yang sudah sepatutnya’ baik dalam keadaan menurut kodratnya, maupun dalam kemampuan-kemampuan insani dan kemungkinan-kemungkinan yang berkenaan dengan kemanusiaannya. ‘Sepadan’ dalam arti ‘adanya persesuaian dan kesesuaian dalam bentuk, rupa dan jenis yang tidak bertentangan’, oleh karena laki-laki dan perempuan adalah pasangan dari satu spesies yaitu makhuk hidup yang disebut manusia.

Ya, itulah perluasan medan makna ungkapan ‘penolong yang sepadan’ (ezer kenegdo) yang disandangkan kepada perempuan. Tanpa penolong yang sepadan yang dinamai perempuan, laki-laki saja dipandang ‘tidak baik’ (2:18). Tidak baik, karena mandat Allah yang tersirat dalam Kejadian 1:26-28 tidak dapat direalitaskan secara lengkap hanya oleh laki-laki sendiri. Ucapan laki-laki yang berbunyi, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku…” (2:23), sesungguhnya secara eksplisit menunjuk kepada makna presensi perempuan sebagai bagian (oknum) yang tidak terpisahkan dari laki-laki. Dengan demikian laki-laki dan perempuan adalah dua aspek dari manusia yang sama. Masing-masing memiliki potensi, identitas dan sifat sendiri-sendiri. Allah menjadikan keduanya bukan untuk bersandungan, melainkan untuk bersandingan dalam mengemban amanat Allah (Kejadian 1:26-28). Dengan demikian laki-laki dan perempuan adalah mitra sejajar, setara, sepadan.


Rusaknya Mitra Sepadan
Dalam kitab Kejadian pasal tiga dapat kita baca mengenai kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Dari kisah tersebut saya ingin mencatat dua hal sebagai petunjuk rusaknya kemitraan yang sepadan antara laki-laki dan perempuan.

Pertama, Laki-laki dan perempuan tidak lagi kompak, lantaran rusaknya integritas (keterpaduan, kejujuran dan ketulusan hati) mereka. Di antara mereka terjadi saling mempersalahkan, saling melemparkan tanggung jawab dalam rangka pembelaan dan pembenaran diri sendiri (pasal 3:12-13). Ini memberi petunjuk bahwa kemitraan laki-laki dan perempuan yang sepadan dan harmonis sebelum kejatuhan menjadi disharmonis setelah kejatuhan.

Kedua, Akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka Allah menempatkan perempuan di bawah dominasi laki-laki. Perempuan dalam statusnya sebagai isteri ditentukan pasrah dalam masalah seksual terhadap suaminya dengan tidak mencemaskan segala susah payah dan kesakitan pada waktu mengandung dan melahirkan anak (pasal 3:16). Dan laki-laki selaku pencari nafkah akan bersusah payah mencari rezeki dan akan menghadapi berbagai tantangan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya (ayat 17-19).

Dari kisah tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa sebagaimana terbaca dalam kitab Kejadian tiga inilah kemudian berkembang paham dan tafsiran ‘dominasi laki-laki atas perempuan’ dalam sejarah kehidupan umat manusia. Laki-laki memposisikan dirinya sebagai penguasa dan perempuan diposisikan sebagai pihak yang dikuasai. Laki-laki menganggap dirinya sebagai yang terkuat dan perempuan sebagai insan yang lemah. Laki-laki dianggap sebagai pihak yang harus dilayani, dipuaskan dan dihibur oleh perempuan; sebaliknya perempuan selaku pihak yang dianggap harus melayani, memuaskan dan menghibur laki-laki dan sebagainya. Tidak dapat disangkal bahwa paham dan tafsiran sebagaimana disebutkan di atas ini telah mentradisi atau mengadat dalam perkembangan peradaban/kebudayaan umat manusia dari masa ke masa; bahkan paham dan tafsiran tersebut telah mendogma dalam sejarah perkembangan teologi.

Dalam tradisi/adat perkawinan bangsa Yahudi, suami menduduki posisi sebagai penguasa, kepala, pemimpin, atau tuan. Suami adalah ba’al  (pemilik dan tuan) yang menguasai dan memimpin isterinya dan seluruh keluarga. Suami berkewajiban untuk menafkahi isterinya dan seluruh keluarganya. Kedudukan isteri adalah terutama sebagai insan seksual. Kewajibannya adalah untuk memperbanyak keturunan suaminya. Oleh karena posisi laki-laki sangat dimuliakan/diutamakan dalam tradisi/adat bangsa Yahudi, maka poligami merupakan ciri khas perkawinan di kalangan masyarakat Yahudi (Alan Richardson, 1962:76-77; 138-139).

Dalam masyarakat Yahudi, perkawinan diatur dan diselenggarakan secara legal formal menurut ketentuan tradisi/adat yang berlaku, jadi tidak berdasarkan upacara keagamaan. Hal ini dapat kita baca di dalam kitab Perjanjian Lama. Namun demikian perlu dicatat dan dibarisbawahi di sini bahwa Perjanjian Lama sekali-kali tidak membuat tradisi/adat perkawinan bangsa Yahudi itu menjadi pokok pemberitaannya. Bukan tradisi/adat bangsa Yahudi itu yang hendak dibesar-besarkan di dalam Perjanjian Lama, melainkan ‘perbuatan-perbuatan Allah’ di tengah-tengah umat yang mempunyai tradisi/adat itu sebagai latar belakangnya. Jadi, pola perkawinan menurut tradisi/adat bangsa Yahudi itu bukan pola perkawinan yang tidak memiliki cacat-cela, melainkan pola perkawinan yang memiliki berbagai cacat-cela sebagai akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa sehingga merusakkan kemitraan yang sepadan antara laki-laki dan perempuan.

Para pembaca kitab Perjanjian Lama sering kurang kritis mencermati dan membedakan ‘apa rencana/maksud Allah’ di balik tradisi/adat bangsa Yahudi. Akibatnya, tradisi/adat bangsa Yahudi dianggap sebagai ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan rencana/maksud Allah.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar